Muhali, buruh pertamina/dok marsinahfm
Oleh: Guruh
Umurnya sudah 65 tahun, namun Muhali tidak bisa pensiun sebagai kenet tanki di PT.Pertamina Patra Niaga. “Dia nyuruh pensiun tapi nggak mau ngeluarin duit,” katanya mengacu pada orang-orang kantor.
Di tengah-tengah persiapan mogok kerja Depot Plumpang Jakarta, Muhali menceritakan ia terus bekerja karena menjadi tulang punggung keluarga. Ia mengontrak di bilangan Koja, Jakarta Utara, bersama dua anak dan lima cucu. “Gaji empat juta, tiga juta buat belanja, satu buat ngontrak,” tuturnya.
Kerja, Kerja, dan Kecelakaan!
Muhali mengisahkan baru-baru ini pandangannya rusak. “Ngisi minyak di Cileungsi, mata kena solar,” kisahnya tentang peristiwa awal bulan ini. Ketika itu, ia tengah mengawasi pengisian solar agar tidak melebihi kapasitas. Namun, salah perhitungan membuatnya terguyur solar. Sejak itu, Muhali tidak lagi jelas melihat jauh.
Kecelakaan kerja ini bukan yang pertama. Pada 2015, ia menderita cedera kaki. Tidak ada jaminan kesehatan dari perusahaan. Alhasil, ia harus merogoh kocek lebih sebulan gaji untuk berobat. “Satu kali injeksi 400 ribu. Total ada 11 kali,” ceritanya.
Pria yang akrab dipanggil “ki” oleh teman-temannya itu bercerita, ia tidak pernah mendapat pelatihan soal keselamatan kerja. Padahal, bekerja mengangkut BBM adalah tugas berbahaya.
Kerja Menyabung Nyawa
Dalam setahun belakangan, ia mesti kehilangan empat rekan karena terpaksa menyupir meski kelelahan. Dua bahkan tewas terpanggang api. Desember lalu, mobil BBM yang mereka tumpangi meledak setelah jatuh di Cigudeg, Bogor. Lima bulan setelahnya, dua rekannya juga meninggal di titik yang sama.
Muhali berkisah, kerja di PT.Patra Niaga benar-benar menguras tenaga. “Saya biasa berangkat jam 5 pagi, pulang jam 8 atau 9,” terangnya. Ia terkadang tidur di Mushola sebelah Depot jika terlalu lelah untuk bersepeda pulang.
Meski lebih 12 jam, buruh yang sudah bekerja sejak 2007 ini tidak mendapatkan uang lembur. Komisariat Federasi Buruh Transpotasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) menaksir ada setidaknya Rp 160 miliar uang lembur para buruh tidak dibayarkan perusahaan.
Permasalahan kontrak menjadi banyak muara. Meski sejak 2007 bekerja di Patra Niaga, ia tidak menjadi karyawan tetap. Hal ini jelas menyalahi Undang-undang 13/2003 tentang Tenaga Kerja. Nota Pemeriksaan Sudinaker Jakarta Utara bulan lalu juga menegaskan, lebih 1000 buruh Patra Niaga itu sudah seharusnya menjadi karyawan tetap.
Kontrak memaksa Muhali mesti terus bekerja. Bahkan, izin tidak bekerja untuk mengurus meninggalnya ayah di Cirebon tidak dibenarkan perusahaan. “Dua hari tidak masuk ke Cirebon, gaji dipotong 600 ribu. Padahal, UMP masih Rp 2,2 juta,” katanya.
Bangkit Melawan
Permasalahan hubungan kerja sudah berkali-kali menjadi keluhan. Pada 2015, para awak supir tanki ini sempat mencoba membuat serikat. Namun, upaya itu gagal. Pada 2016, bersama FBTPI mereka kembali mengorganisir diri.
Anggota Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) itu melancarkan aksi mogok kerja mulai 1 November 2016. Sekitar 1.000 awak tanki itu terpaksa tidak lagi memasok BBM ke 850 pom se-Jabodetabek. Dua kali upaya perundingan dengan anak perusahaan PT.Pertamina itu tidak digubris.
Muhali menjelaskan ia merasa senang ada kawan-kawan bangkit. Ia bergabung melihat banyak teman-teman turun melawan. Ancaman PHK tidak membuat pria sepuh ini takut. “Saya mencari yang benar, kemanapun saya ikuti,” ungkapnya yakin.
Terlebih, Muhali melihat teman-temannya kompak dalam pemogokan kali ini. “Alhamdulilah saya doakan. Teman-teman banyak akan berhasil,” tegasnya.
Plumpang, 1 November 2016