Search
Close this search box.

Tanpa Pengesahan RUU PKS, Buruh Perempuan Korban Makin Sulit Mendapat Keadilan

Ditundanya pengesahan RUU PKS setelah 4 tahun mangkrak di gedung Senayan membawa kekecewaan bagi banyak pihak terutama bagi para penyintas dan pembela korban. Bagi penyintas dan pembela korban, tidak disahkannya RUU PKS sama artinya dengan makin terjalnya upaya pemenuhan hak korban. Hal ini juga dialami oleh penyintas dan pembela buruh perempuan korban dalam memperjuangkan keadilan bagi korban dengan segala kompleksitas persoalan yang melingkupinya.

Jalan Terjal Pembelaan Buruh Perempuan Korban

Persoalan kekerasan seksual yang menimpa buruh perempuan tidak bisa dilepaskan dari problem keseluruhan buruh perempuan yang sarat dengan eksploitasi baik sebagai buruh maupun sebagai perempuan. Buruh perempuan tak sedikit yang memegang peran utama sebagai kepala keluarga sebagaimana buruh KBN Cakung, Jakarta Utara, yang mayoritas adalah pabrik garment. Mereka menjadi pencari nafkah utama bagi kelangsungan hidup keluarganya dan sebagian masih harus mengirimkan beberapa dari penghasilannya untuk keluarga di kampung. Untuk keberlangsungan ekonomi keluarga, buruh perempuan mesti bersusah payah mempertahankan pekerjaannya sebagai sumber mata pencaharian. Dengan sistem kerja kontrak yang sangat pendek, yaitu hanya 1 sampai 3 bulan saja, buruh perempuan beresiko kehilangan pekerjaan sewaktu – waktu, yang artinya kelangsungan hidupnya dan keluarga tidak terjamin. Situasi ini berbarengan dengan kondisi kerja yang buruk, dimulai dari ketiadaan sanitasi yang baik, tidak disediakannya air minum berkualitas, makanan yang tidak bergizi, target yang tidak masuk akal sehingga harus menahan kencing berjam – jam, makian dari pengawas, cuti haid yang dipersulit, tidak diberikannya cuti hamil melahirkan, jam kerja panjang dan tidak disediakannya mobil jemputan ketika pulang malam, dan lainnya.

Di tengah lemahnya posisi tawar buruh perempuan itulah, buruh perempuan rentan mengalami kekerasan seksual. Rendahnya jaminan keberlangsungan kerja dengan kontrak kerja pendek, membuat buruh perempuan memilih diam ketika mengalami kekerasan seksual dari atasan. Bahkan ketika kekerasan seksual terjadi secara massal oleh seorang atasan, korban memilih diam demi mempertahankan pekerjaan. Di KBN Marunda, Jakarta Utara, dalam suatu kasus, pelecehan seksual terjadi secara massal oleh atasan baik dengan rayuan, ajakan kencan maupun sentuhan dengan iming – iming menjadi buruh tetap. Cerita terkait pelecehan seksual ini terungkap ketika terjadi mogok spontan sebagai reaksi atas ditundanya upah selama 3 bulan. Kemarahan yang dipendam sekian lama, tertumpah dalam satu waktu. “Aksi diam” buruh perempuan sekian tahun dilecehkan oleh atasan merupakan bentuk ketidakberdayaan karena merasa tidak punya pilihan. Kebutuhan akan kerja demi sesuap nasi memaksa mereka untuk diam dan itu dianggap sebagai kewajaran.

Cerita kekerasan seksual lainnya terjadi di pabrik garmen, KBN Cakung, pelaku bukan hanya datang dari atasan namun juga dari rekan kerja yaitu dari bagian mekanik. Target kerja yang tinggi membuat buruh perempuan dipaksa bekerja memenuhi target meski dengan fasilitas yang tidak memadai. Dalam hal ini adalah mesin jahit yang kerap macet atau rusak. Ketika dalam kondisi rusak inilah, mekanik sangat dibutuhkan dan buruh perempuan dalam posisi tawar yang lemah sehingga terpaksa diam ketika dilecehkan. Relasi kerja yang tidak setara dan timpang ini diperkuat dengan relasi patriarkal yang terpelihara lama dalam struktur sosial masyarakat sehingga dianggap wajar dan seringkali korban dipersalahkan.

Dari pengalaman di atas, tak selamanya buruh perempuan korban diam. Ada sebuah proses dimana buruh perempuan mulai berani bicara dan melakukan perlawanan. Salah satunya adalah dalam bentuk pemogokan sebagaimana yang pernah dilakukan di PT Woojen, KBN Marunda, Jakarta Utara, dengan dua tuntutan utama yaitu menolak upah di bawah UMP dan menindak pelaku kekerasan seksual yang tak lain adalah personalia perusahaan tersebut. Salah seorang korban berani bersuara hingga melaporkan ke kepolisian. Dalam proses di kepolisian inilah, berbagai tantangan menghampiri karena pihak kepolisian berulang kali menawarkan perdamaian. Ketiadaan payung hukum khusus terkait penghapusan kekerasan seksual dan sempitnya cakupan hukum yang ada terkait kekerasan seksual membuat korban semakin sulit memperoleh rasa keadilan. Tindakan kepolisian yang justru mengupayakan perdamaian didampingi tokoh masyarakat membuat korban semakin merasa tidak aman dan pihak pembela korban pun harus bekerja ekstra. Dukungan orang terdekat atau keluarga korban menjadi amunisi yang tidak kalah penting namun masih belum cukup menghadapi tembok hukum yang tidak berpihak pada korban. Berdasarkan pengalaman advokasi di atas, suami korban yang awalnya mendukung kemudian terpaksa menarik dukungan ketika ancaman datang dari kelompok preman untuk mencabut laporan.

Lemahnya penegakan hukum dari aparat hukum terjadi berulang kali dalam setiap rangkaian pembelaan terhadap korban. Mulai dari upaya menawarkan damai, hingga lontaran pertanyaan yang tidak peka terhadap korban dan cenderung mengabaikan kondisi psikologis atau trauma yang dirasakan korban. Singkat kata, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif korban saat menangani kasus kekerasan seksual. Tak jarang, keluarga korban akhirnya memutuskan menerima uang tali kasih (perdamaian) dari pelaku dengan dijembatani pihak kepolisian dan tokoh masyarakat atau perangkat desa. Hal ini sering kali diputuskan tanpa melibatkan pihak pembela korban. Dalam berbagai kasus lainnya, tak sedikit pula pihak keluarga yang tidak memberi dukungan.

Dari berbagai pengalaman di atas, beberapa hambatan yang kerap kali dihadapi di lapangan saat melakukan pembelaan yaitu: (1) Adanya relasi yang timpang dalam hubungan kerja dan patriarkal, dimana ada pihak yang punya kuasa lebih besar dan memakainya untuk melakukan penundukan kepada pihak yang lemah (korban); (2) kondisi kerja yang buruk membuat korban lebih memililh diam; (3) lemahnya penegakan hukum bagi korban; (4) ketiadaan payung hukum khusus penghapusan kekerasan seksual; dan (5) masih kentalnya budaya menyalahkan korban. Berbagai hambatan tersebut berakibat pada berulangnya kekerasan seksual, yang artinya korban semakin bertambah, pelaku tidak jera dan tidak ada perubahan perilaku atau budaya yang lebih berperspektif atau berpihak pada korban.

Tidak disahkannya RUU PKS oleh negara merupakan cerminan dari ketiadaan keberpihakan negara kepada korban dan makin mempersulit pembela korban dalam melakukan advokasi di lapangan. Tidak disahkannya RUU PKS ini juga mempersulit upaya Serikat Buruh dalam melakukan tindak pencegahan, penanganan, pemullihan hingga penghentian kasus kekerasan seksual karena tidak ada dasar hukum yang fundamental sebagai dasar ketika melakukan advokasi. Upaya penegakan hukum kemungkinan besar akan kembali menghadapi kebalnya pelaku di hadapan hukum dengan kekuasaan yang dimilikinya, ditambah kultur atau budaya hukum aparat hukum yang masih patriarkal dan kerap menyalahkan korban.

Penguatan Buruh Perempuan sebagai Penyintas dan Pembela

Menghadapi jalan panjang pembelaan buruh perempuan korban kekerasan seksual dan penghapusan kekerasan seksual, dibutuhkan nafas yang panjang. Artinya, dibutuhkan barisan buruh perempuan yang terorganisir dan makin kokoh sebagai penyintas dan pembela. Karenanya, penguatan buruh perempuan adalah utama.

Dimulai dengan memprioritaskan keterlibatan buruh perempuan dalam setiap agenda perjuangan Serikat Buruh, memberikan pendidikan – pendidikan kesetaraan gender bagi buruh perempuan, peningkatan kapasitas kepemimpinan buruh perempuan, menempatkan program penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja maupun di kawasan industri, membangun dan menguatkan posko pembelaan buruh perempuan, hingga menginternalisasi budaya kesetaraan dan anti kekerasan seksual di dalam organisasi. Hal ini dilakukan secara simultan beriringan dengan aktivitas advokasi atau pembelaan yang dilakukan Serikat Buruh kepada korban.

Dalam konteks penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja, Serikat Buruh menjadi tombak utama dalam mendesakkan kebijakan yang berpihak pada korban melalui Perjanjian Kerja Bersama maupun Perjanjian Bersama. Kebijakan pencegahan yang memuat sosialisasi atau edukasi terkait kekerasan seksual dan bentuk – bentuknya, bisa dilakukan dengan memasang plang area kerja bebas dari kekerasan seksual sebagaimana plang atau stiker area bebas dari asap rokok yang terpampang di tempat – tempat publik. Hal ini yang coba diperjuangkan oleh buruh perempuan di KBN Cakung, Jakarta utara yang dirumuskan dalam Konferensi Perempuan Pekerja dan akhirnya terealisasi di level kawasan industri. Pemasangan plang kawasan industri atau tempat kerja bebas dari kekerasan seksual merupakan bentuk pengakuan bahwa kekerasan seksual di tempat kerja itu ada. Bagi korban, ini merupakan hal penting mengingat dalam kultur masyarakat kekerasan seksual sering dianggap bukan persoalan, wajar, dan kerap mempersalahkan korban.

Di samping itu, mekanisme pencegahan, penanganan, pemulihan dan penghapusan kekerasan seksual hendaknya menjadi agenda perjuangan Serikat Buruh di tempat kerja yang sama pentingnya dengan agenda perjuangan normatif perburuhan. Agar agenda perjuangan penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja mendapat porsi utama, Serikat Buruh mesti memiliki sudut pandang atau perspektif perempuan dan ini mensyaratkan keterlibatan aktif buruh perempuan sebagai agen utama atau ujung tombak perjuangan penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja. Menyediakan  pos–pos pengaduan buruh perempuan yang mudah diakses baik di tempat kerja (pabrik), di kawasan industri, hingga di pemukiman buruh. Selain menjadi tempat pengaduan, pos-pos pembelaan buruh perempuan ini bisa berfungsi sebagai pusat informasi dan pengetahuan terkait hak buruh perempuan. Meluasnya akses informasi dan pengetahuan bagi buruh perempuan bisa menjadi bekal untuk semakin berani bersuara, memiliki pijakan untuk bergerak.

Kesemuanya adalah bagian dari konsolidasi kekuatan buruh perempuan supaya lebih sanggup memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual baik di tingkat terkecil hingga di level nasional, yaitu dengan mendesak pengesahan RUU PKS.

Di tengah tebalnya lapisan penindasan buruh perempuan, penguatan  buruh perempuan sebagai tenaga penggerak utama penghapusan kekerasan seksual adalah sebuah keniscayaan. Di sinilah peran Serikat Buruh sangat dibutuhkan.

 

Oleh: Dian Septi Trisnanti

Ilustrai oleh: Wahyu Aji Purwoko

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Bukan Hari Ibu Biasa

Boleh dibilang, glorifikasi terhadap peran ibu, sebagaimana ideologi “ibuisme” yang terus dikampanyekan Orde Baru melalui perayaan Hari Ibu, tak lain adalah upaya mengembalikan perempuan di ranah domestik.

Negeri Suram

Oleh: Dewi Febriani Coba lihat kami sebentar saja! Coba dengar kami sejenak! Aspirasi kami, kritik kami! Apa arti negara demokrasi? Jikalau, Suara kami tak di

Meski Diteror, KASBI Tetap Tolak RUU Cilaka

Nining Elitos: “KASBI Tetap Menolak dengan Tegas Rancangan Omnibus Law” Aksi teror terjadi di depan sekretariat Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) pada Senin