Sebuah Pledoi oleh Dian Septi Trisnanti. Dibacakan di hadapan sidang peradilan kriminalisasi 26 Aktivis, Selasa, 15 November 2016
Kepada Yang Mulia Hakim Yang Terhormat
Para Jaksa Penuntut Umum
Para Kuasa Hukum
Dan Para Hadirin Pengunjung Sidang
Berikut pledoi Saya Pribadi, Dian Septi Trisnanti
PP 78/ 2015 Tentang Pengupahan = Peneguhan Politik Upah Murah
Hari itu, Jumat, 30 Oktober 2015, saya bersama rekan – rekan buruh di KBN Cakung berangkat bersama menuju Istana Kepresidenan. Waktu itu, jarum jam menunjuk angka 10 pagi. Kami menyusuri jalan Cilincing, menuju perempatan Tanjung Priuk menyambangi buruh – buruh transportasi yang juga hendak menuju Istana. Jumlah barisan kami pun bertambah menjadi ribuan, berkendara motor dan naik belasan bus. Sambil meneriakkan “Hidup Buruh”, “Cabut PP 78/2015”, kami bersama sama menuju istana negara. Jarum jam sudah bergeser ke angka 12.30 WIB ketika kami sampai di depan istana. 7 mobil komando berderet, saling bersahutan, riuh dengan tuntutan cabut PP 78/2015.
Hari itu adalah awal bagi kami memulai persiapan Mogok Nasional untuk kali ke tiga. Mogok Nasional ini kami lakukan karena kami merasa diperlakukan tidak adil dengan adanya PP 78/2015. Berikut ini, mengapa kami menolak keras PP 78/2015 hingga sekarang:
- Formula baru penentuan upah yang membatasi kenaikan upah. Dengan rumusan pasal 44 ayat 2 PP Pengupahan, upah minimum hanya akan naik tidak lebih dari 11 persen. Ini karena persentase pertumbuhan upah hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi, tanpa mempedulikan kenaikan harga kebutuhan buruh.
- Peninjauan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) per lima tahun sekali, sebagaimana yang tercantum dalam PP 78/2015 Pasal 43 ayat (5) Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat(3) dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat(4) ditinjau dalam jangka waktu 5(lima) tahun. Artinya, KHL sebagai landasan kenaikan upah tidak berubah selama 5 tahun.
- PP 78 Berangus Hak Buruh untuk Berunding. PP 78/2015 telah melemahkan partisipasi serikat buruh dalam penentuan upah minimum. Selama ini, sesuai UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 Pasal 89, penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Serikat, pengusaha, dan pemerintah berunding bersama menentukan harga-harga kebutuhan di pasar yang jadi kebutuhan buruh. Survei dilakukan, data-data dipertarungkan.
Dulu, Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan yang terdiri dari pihak pengusaha, pemerintah dan serikat buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar.
Dengan adanya PP 78/2015 yang sudah merumuskan formula upah berdasar inflasi saja, maka peran serikat buruh dalam dewan pengupahan telah diabaikan.
Nasib buruh ditentukan angka-angka statistik yang entah dari mana juntrungnya. Upah buruh ditentukan secara tidak tepat, berdasarkan angka yang ditentukan statistik inflasi nasional dan pertumbuhan eknomi semata. PP 78 membiarkan buruh yang di perkotaan tombok ketika inflasi lebih tinggi dari angka nasional. PP 78 memukul rata kebutuhan buruh-buruh di kota dan desa, dan buruh yang mayoritas di kota, harus tombok ketika harga terus membumbung tinggi.
Angka-angka pertumbuhan ekonomi nasional juga tidak ada artinya, ketika harga beras di warung tidak terkendali.
- PP 78/2015 melanggar Undang – Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang telah menentukan mekanisme Penentuan Upah Minimum.
Dari alasan itu, kami menyimpulkan pemerintah masih setia menerapkan kebijakan politik upah murah yang memiskinkan buruh dan keluarganya. Investor diberi jaminan kepastian upah murah, sementara buruh terus dilemparkan pada resiko ketidakpastian. Pemerintah memanjakan investor sambil menginjak buruh. Belum lepas derita buruh karena pelanggaran pengusaha atas pelaksanaan UMP, kini pelanggaran paling mendasar terkait sistem pengupahan justru dilanggar oleh pemerintah sendiri.
Buruh Perempuan Makin Tertindas oleh PP78
PP 78/2015 ini begitu memukul kehidupan kaum buruh. Terlebih bagi kami, buruh perempuan, yang mayoritas, secara sistematis ditempatkan sebagai buruh tanpa keahlian sehingga dianggap sah diupah murah. Perempuan disingkirkan secara sistematis dari angkatan kerja. Catatan BPS menunjukan pada Agustus 2016 81,97 juta laki-laki diserap pasar kerja, dan hanya 50,77 juta perempuan bekerja.
Perempuan diindoktrinasi mengurus rumah. Kerja perempuan mengurus rumah menopang kerja laki-laki dianggap bukan kerja, tidak dihargai.
Ketika diizinkan bekerja, perempuan dipojokkan pada sektor-sektor dengan gaji yang rendah dengan dalih padat karya. Pemerintah dengan gemilang mempermudah penangguhan upah (pengusaha boleh membayar upah di bawah UMP). Upah yang naiknya tak seberapa, masih pula ditangguhkan, sehingga sudah pasti makin tak cukup membiayai kehidupan sehari – hari dengan kamar kontrakan sepetak, tanpa ventilasi, fasilitas air yang jauh dari kata bersih, makanan tak bergizi berupa nasi sekepal dengan beberapa helai sisiran daging. Pemerintah membatasi hidup kami di bawah garis kemiskinan, hanya boleh bertahan hidup untuk bisa bekerja esok hari, tanpa pernah memikirkan nasib anak – anak kami, keluarga kami.
Buruh perempuan dianggap buruh kelas dua. Tak jarang kami dimaki, harus bersembunyi di bawah mesin jahit, di balik tumpukan kardus – kardus mana kala buyer datang ke pabrik, agar tidak ketahuan hamil dan tak diberi cuti. Dengan memaksa kami bersembunyi, buyer tidak akan tahu bahwa ada buruh hamil yang masih bekerja meski jam kerja sudah lewat. Dari cuti hamil yang tak terberi itu, berapa upah yang sudah dirampas? Tak terhitung tuan. Dan lebih tak terhitung lagi jumlahnya, dengan semua pelanggaran yang ada. Di sanalah, kami, buruh perempuan nyaris tak dianggap sebagai manusia. Padahal hidup anak manusia, bersandar pada nafas kami, dari sejak lahir, hingga cukup sehat dan layak menjadi pekerja dan roda ekonomi yang menghasilkan berlimpah keuntungan untuk masa depan penguasa dan pengusaha. Di dalam ruang sempit kami,terbersit tanya, sebenarnya untuk siapa kami bekerja, mengapa bekerja tanpa henti tapi tak kunjung sejahtera. Ini bukan salah kami, ini bukan takdir kami. Para pemangku kuasalah yang membuat kami miskin, meski bergelimang keringat.
Janji PP78 tentang struktur dan skala upahpun hanya dusta belaka. Janji-janji manis di awang-awang. Struktur dan skala upah hanya janji bagi buruh yang pasti, bisa bekerja bertahun-tahun sebagai karyawan tetap. Bagaimana mungkin kami bisa mendapat skala upah, bila kerja dengan kontrak hanya satu bulan yang terus berulang dengan membuat lamaran baru.
Artinya, dengan status “kontrak” seumur hidup,skala upah hanya bualan belaka. Kami buruh perempuan yang mayoritas di padat karya, terutama garmen, dipanggil jika banyak pekerjaan, dibuang sesudah kering dihisap.
Kerja kami dulang laba buat mereka, tapi, buruh perempuan yang lemah tidak hanya menanggung resiko kerja, tapi dipaksa menanggung resiko ketidakstabilan ekonomi makro.
Bagaimana bisa berkarir, berharap kenaikan upah dari struktur pengupahan, jika pemerintah tidak menggubris pelanggaran kerja kontrak, membiarkan outsourcing merajalela.
Di setiap jengkal pelanggaran itu, negara tidak pernah ada untuk kami. Itulah mengapa,kami setiap tahun tumpah ruah di jalan, mengawal sidang – sidang pengupahan hingga larut malam, bertempur tidak hanya dengan terik matari, namun juga berhadapan dengan laras senjata para aparat kepolisian yang mungkin berorang tua buruh, bersanak saudara buruh. Makan dari keringat buruh.
Pun demikian yang terjadi pada hari itu, Jumat, 30 Oktober 2015. Kami menyampaikan aspirasi, ditemani beberapa mobil komando yang siap memimpin kami menyampaikan aspirasi. Kami, massa aksi terpimpin, siap dipimpin, demikianlah kami selalu mempersiapkan aksi demonstrasi menuntut hak.
Di sore hari, sekitar jam empat, Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri menerima kami di Istana Presiden. Tanpa basa basi, Ia menyampaikan PP 78/2015 ditetapkan untuk mencegah PHK, mengurangi pengangguran. Sekarang, kita bisa lihat PHK tetap terjadi dimana – mana, angka pengangguran masih merangkak naik meski PP 78/ 2015 sudah disahkan. Mungkin, sang menteri tenaga kerja Hanif Dhakiri sedang mengigau kala itu.
Bagi saya, melawan PP 78/2015 adalah kebanggaan, karena berarti melawan penghancuran kehidupan buruh dan keluarga buruh. Negeri ini yang bisa “ada” dan “merdeka” karena menolak penjajahan yang menghancurkan kehidupan dan kemanusian, mestinya menghargai setiap upaya membebaskan dan memajukan manusia serta masyarakat. Setiap upaya itu, salah satunya, tentu saja dengan memberikan upah yang layak bagi buruh. Layak, yang artinya bukan sekedar untuk hidup tuan. Tapi untuk hidup yang berkualitas, penuh gairah akan kehidupan itu sendiri, berkreasi, berkarya dan itu hanya bisa bila upah kami layak.
Hingga kini, barisan menolak PP 78/2015 masih terjadi di beberapa daerah. Sebagai perempuan gerakan buruh, sekali lagi saya nyatakan bangga pada kekuatan buruh yang tak surut menyatakan sikap menolak PP 78 yang menyerang kehidupan buruh dan menguntungkan pengusaha. Apalagi kepada kawan-kawan yang menghadapi tuduhan tersangka dan menjadi terdakwa hingga saat ini
Sungguh ironis, saya dan 25 aktivis lainnya didakwa salah karena membela hak buruh. Dan, perlu rasanya saya nyatakan di sini. Saya tidak menyesal.
Saya tidak menyesal menyampaikan protes pada sang penguasa dengan berdemonstrasi. Apalagi cara selain demonstrasi? Tidak ada! pemerintah telah membuat buntu semua jalur perundingan, PP 78/2015 ini telah menghancurkan kehidupan buruh dan keluarganya. Lalu kenapa demonstrasi ini dianggap salah?
Demonstrasi dan Pemogokan adalah Pembentuk Bangsa. Bukan Kejahatan
Dalam sejarahnya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lepas dari gerakan buruh dan rakyat, yang dimulai dengan pemogokan – pemogokan dan demonstrasi – demonstrasi. Pemogokan dan demonstrasi tersebut selaras dengan upaya pembebasan kaum buruh dari sistem penjajahan kolonial dan penjajahan profit anti rakyat. Sehingga, bagi kaum buruh, menegakkan tuntutan dengan mogok adalah juga menghidupkan “roh kemerdekaan” ketika menyampaikan aspirasi kesejahteraan dan demokrasi.
Maka, upaya demonstrasi dan pemogokan menolak PP 78/2015 tahun lalu adalah upaya kami untuk merdeka sepenuh – penuhnya. Tidak ada beda dengan para pejuang kemerdekaan terdahulu yang dengan metode sama menegakkan tuntutan meraih kemerdekaan bangsa dari penjajahan kolonial. Kita tentu tahu, kemerdekaan bangsa ini bukan diperoleh dengan lobi – lobi, bukan karena negosiasi bukan pula karena kebaikan penjajah Belanda dan Jepang namun karena seluruh rakyat turun ke jalan, berdemonstrasi dan mogok.
Bagi kami, demonstrasi atau aksi massa adalah metode perjuangan untuk memenangkan tuntutan, yang melibatkan massa. Akan tetapi, aksi massa yang efektif adalah aksi massa yang terorganisir, dan dilakukan secara sadar. Dalam hal ini, massa sendiri pula yang memimpin aksinya dengan terlibat dalam proses persiapan aksi baik berupa membuat poster, spanduk, pembagian tugas di lapangan dan sebagainya. Dengan demikian, aksi massa yang kita mau bukan asal aksi massa tapi aksi massa yang terdidik, penuh partisipasi (keterlibatan) massa. Dia bukan kerumunan massa semata tapi kumpulan massa sadar dengan tindakan massa yang sadar pula.
Bukankah, aksi massa terorganisir macam ini sudah lebih dari seratus tahun lalu diyakini oleh pejuang kemerdekaan terdahulu, para aktivis gerakan rakyat, termasuk gerakan buruh. Pada tahun 1920 – 1923, pemogokan buruh marak terjadi dan berlangsung di berbagai tempat. Pemogokan besar terjadi pada tahun 1920 yang dilakukan oleh PFB (Personeel Fabrieks Bond), menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Pihak Belanda menuduh PFB memiliki motif politik yakni menuntut kemerdekaan dan tuntutan tetap tidak dimenangkan. Di masa krisis ekonomi, pada tahun 1921, pengusaha menurunkan tingkat upah buruhnya. Hal itu menimbulkan perlawanan buruh, saat itu, buruh pelabuhan di Surabaya melakukan aksi menuntut kenaikan upah yang sebelumnya justru diturunkan oleh pengusaha. Para buruh pelabuhan ini menolak bekerja sebelum tuntutan dikabulkan. Gelombang pemogokan buruh terus terjadi, meluas di beberapa tempat. Pada bulan Januari 1922, buruh pegadaian melakukan pemogokan. Kemudian pada tahun 1923, pemogokan buruh kereta api pun terjadi, sehingga lalu lintas Jawa terganggu sama sekali. Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan keras, dengan menangkap seluruh pemimpin pemogokan, serta melarang organisasi tersebut mengadakan pertemuan. Semua propaganda yang dilakukan aktivis buruh, dianggap sebagai tindakan kriminal.
Namun, kriminalisasi tersebut justru menyulut pemogokan-pemogokan di hampir semua intansi penting tingkat lokal. Pada bulan Agustus 1925 buruh di pelabuhan Semarang mogok menuntut kenaikan tingkat upah. Kondisi kerja dan pemukiman buruh pada masa itu amat buruk dan tidak memadai. Gubuk-gubuk yang membentuk kampung menjadi hunian sementara, dalam lingkungan yang sangat buruk — sekalipun dalam ukuran zaman itu. Berbagai laporan pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman menjadi salah satu persoalan utama, bukan hanya bagi buruh, tapi juga bagi perkembangan kota Semarang sendiri. Aksi pemogokan ini dilakukan oleh para pelaut dan buruh-buruh kapal lainnya. Di antara bidang-bidang pekerjaan yang berbeda ini, timbul semacam solidaritas. Ketika para pelaut melakukan pemogokan, tidak seorangpun di antara buruh lainnya yang datang menggantikan, sekalipun sanggup. Justru mereka memilih ikut mogok bersama. Solidaritas tidak hanya datang dari sesama buruh, namun juga dari warga sekitar.
Reaksi pemerintah Hindia Belanda kala itu, serupa dengan reaksi pemerintah jaman sekarang yaitu dengan melakukan “kriminalisasi”, “menggelandang para aktivis ke meja hijau”, tak jarang tindakan pemogokan dikecam sebagai ‘aksi komunis’. Sehingga, tiada beda rupa wajah kolonial dulu dengan wajah pemerintah jaman sekarang dan para pengusaha. Wajah para penindas.
‘Arah perjuangan kami, jelas adalah untuk mensejahterakan buruh dan merebut kemerdekaan kami sebagai manusia. Sehingga bukan hal aneh apabila serikat buruh dengan metode mogok juga memiliki motivasi politik, yaitu INGIN MERDEKA SEBAGAI BANGSA. INGIN MERDEKA SEBAGAI MANUSIA
Kini, setelah 100 tahun lebih terlewati, kondisi buruh dan rakyat belum juga sejahtera. Bedanya adalah dulu kami tertindas di bawah penjajahan Belanda dan Jepang, kini kami ditindas di bawah pemerintah sendiri. Bentuk penindasannya pun berbeda, namun sama-sama miskin. Lalu apa salahnya bila kami berdemonstrasi dan mogok ketika keringat habis diperas, martabat diinjak – injak, kemerdekaan dirampas hampir tanpa bela?
Represi Terhadap Demonstrasi Menolak PP 78/2015 = Kriminalisasi
Kami ditangkap, didakwa dengan dakwaan primair Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dan Dakwaan Subsidairnya Pasal 218 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa Penuntut Umum, gagal memberikan penjelasan dimana dan apa peran setiap orang dari kami, 26 orang dalam penyampaian pendapat di muka umum, pada 30 Oktober 2015 itu. Dakwaan ini terkesan dipaksakan kepada 26 aktivis buruh, pembela HAM dan mahasiswa.
Polisi dan jaksa menghadirkan saksi-saksi palsu. Saksi-saksi yang bahkan tidak paham berkas mereka sendiri. Saksi yang patut diduga tidak ada di lokasi. Saksi-saksi yang mencericau di persidangan tanpa jelas juntrungnya.
Polisi dan jaksa membuat akrobatik hukum untuk menangkap kami, menjungkirbalikan Perkap di atas Undang-undang. Serampangan menganggap unjuk rasa sebagai kerumunan. Kami warga negara yang protes karena kesadaran, sadar akan penindasan pemerintah yang membela modal, bukan gerombolan yang mengembik atau orang yang sekedar lalu lalang.
Upaya ini kami menyebutnya sebagai kriminalisasi, sebuah teror, menebar rasa takut pada buruh agar diam ketika diperlakukan tidak adil. Bila rakyat bisa dibungkam, maka kebijakan ekonomi politik pemerintah yang melapangkan investasi atas nama pembangunan bisa lancar berjalan. Pemerintah mencoba melanggengkan penindasan dengan pembungkaman.
Demokrasi adalah syarat bagi partisipasi rakyat untuk terlibat dalam setiap kebijakan ekonomi politik yang diambil oleh pemerintah. Kami membutuhkan ruang demokrasi agar kami bisa memutuskan hak hidup kami, tentang upah kami, tentang tanah dan air tempat kami hidup, tentang sumber nafkah kami, tempat tinggal kami. Dan ternyata itu menakutkan bagi penguasa.Maka, digunakanlah hukum untuk menghakimi kami, memasung kami. Tak jarang dengan kekekerasan. Maka, bolehlah dibilang upaya kriminalisasi ini adalah juga upaya pembrangusan serikat buruh, pembrangusan hak kami untuk menjalankan aktivitas serikat buruh. Namun, kami percaya hukum masih bisa ditegakkan karena masih ada para pembela hukum pengabdi rakyat yang mau bersusah payah membela rakyat dan kini menjadi kuasa hukum kami.
Karena demonstrasi bukan kejahatan, dan penangkapan, pemukulan yang dilakukan aparat kepolisianlah yang adalah kejahatan. Maka dengan ini,saya menyatakan saya tidak bersalah
Akhir kata, meminjam kalimat dari novel Bumi Manusia ,karya Pramoedya Ananta Toer “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
Kita punya harga diri kawan, karenanya kita punya keberanian. Terimakasih
Hidup Buruh! Hidup Rakyat! Hidup Perempuan!
Jakarta, 15 November 2016
Dengan Hormat,
Dian Septi Trisnanti