Penulis: Ali Akbar Muhammad (buruh lepas)
Bukan hujan di bulan November tapi Piala Dunia di bulan November yang menggelitik bagi penulis. Pasalnya, persoalan Piala Dunia membanjiri media sosial. Ketika penulis membuka Facebook, Twiter, Instagram dan media sosial lainnya, hampir mayoritas kawan-kawan penulis dari aktivis sampai politisi ramai-ramai mewacanakan piala dunia. Nah untuk itu agar Piala Dunia tidak berlalu sekedar sebagai euforia, maka penulis mencoba mengajak kita semua untuk memajukan wacana sepak bola ke arah lebih ilmiah.
Sejarah Sepak Bola
Sepak bola tidak tiba-tiba menjadi olahraga paling digemari sejagad. Ini merupakan produk sejarah, sehingga ia tidak berdiri sendiri atau muncul dengan mantra. Olahraga ini sangat diminati oleh manusia di dunia, jika ditinjau dari sejarah, sejak dahulu kala. Beberapa cacatatan sejarah dari berbagai artikel menyebutkan bahwa sepak bola mulai dikenal pada 3000 tahun silam.
Salah satunya dalam sistem kebudayaan masyarakat Mesoamerika kuno oleh suku Aztec atau biasa dikenal dengan Tchatali. Masyarakat Mesoamerika memainkan sepak bola sebagai bentuk dari ritual, karena bola dianggap sebagai simbol dari kepercayaan mereka terhadap matahari.
Catatan sejarah yang ditulis oleh Fédération Internationale de Football Association (FIFA). Menunjukan bahwa sepak bola telah hadir pada Abad ke-2 dan ke-3 di daratan Asia Timur (Cina) pada massa Dinasti Han.
Masyarakat Cina menyebut olahraga ini dengan tsu chu. Kemudian pada abad ke 8 sepak bola mulai menyebar Jepang dan masyarakat Jepang memainkan sepak bola sebagai bagian dari ritual mereka.
Sepak bola sudah populer pada awal masehi. Seperti yang ditulis oleh Bill Murray seorang sejarawan asal Australia “Bahwa sepak bola sudah dimainkan sejak awal Masehi. Masyarakat pada masa Mesir kuno sudah mengenal permainan sepak bola dengan cara membawa dan menendang bola yang terbuat dari buntalan kain linen.” Artikel lain jmenyebutkan bahwa sepak bola sudah dikenal pada masa Yunani kuno. Masyarakat Yunani menyebutnya “Episcuro“. Suku Aborigin Australia, mereka menamai Marn Gook.
Sepak bola kemudian mulai menyebar ke berbagai belahan dunia, terutama ketika diperkenalkan di Inggris pada abad ke-12. Dari sinilah sepak bola sebagai sebuah olah raga mulai disukai oleh masyarakat dan mendapatkan pengakuan.
Sepak Bola Modern dan Peran Kelas Pekerja
Sepak bola sebelum terkenal seperti sekarang ini, jauh pada abad ke-18 ketika terjadi revolusi industri. Kelas pekerja memilik kontribusi besar terhadap olahraga yang sangat diminati mayoritas penduduk di dunia. Kelas pekerja menjadi pelopor membangun fondasi awal sepak bola moderen. Olahraga ini telah menjadi urat nadi atau simbol dari We Are The Working Class. Pada masa itu bukan hanya buruh industri tapi sporter, wasit dan pemain mereka semua berasal dari kelas pekerja.
Sehingga bagi kelas pekerja, sepak bola bukan persoalan permainan menendang bola. Lebih dari itu, ini merupakan bagian dari alat perjuangan sekaligus manifestasi dari sosialisme, karena apa yang mereka alami di pusat perusahaan dan lapangan hijau lahirnya kolektivitas antara kelas pekerja.
Kelas pekerja tidak hanya menjadi fondasi bagi kokohnya sepak bola moderen saat ini. Tapi lebih maju dari itu mereka berkontribusi atas pembangunan berbagai klub-klub sepak bola ternama. Hasil penulusuran penulis di berbagai artikel menunjukan sebaga berikut klub-klub sepak bola yang dibangun oleh kelas pekerja:
Pertama: Inggris, beberapa klub ternama dibentuk oleh kelas pekerja seperti Arsenal atau West Ham United didirikan oleh kelas pekerja gudang senjata di London. Dan para pemainnya terdiri dari pekerja atau pandai besi yang berkerja di perusahaan sang pendiri. Itu terlihat jelas dari logo-logo tim yang melambangkan identitas kelas pekerja. Selain itu club seperti Manchester United juga didirikan oleh kelas pekerja Lancashire and Yorkshire Railway pada 1878, dan Liverpool sebagai yang mewakili buruh kota pelabuhan.
Kedua: Inggris Raya, klub-klub bergengsi seperti Dortmund dan Schalke merupakan club yang didirikan oleh kelas pekerja. Serta merupakan representatif dari perjuangan kelas pekerja Inggris Raya. Ketiga: Jerman, seperti St.Pauli merupakan sebuah klub yang tidak terpisah dengan kelas pekerja. Bahkan memiliki basis suporter dari kelas buruh menerapkan demokrasi sepenuhnya dan gagasan politiknya di klub tersebut.
Bahkan dalam satu artikel di proballmastery.com menuliskan “Para pendukung St. Pauli juga selalu lantang menentang rasisme, seksisme, homofobia, dan fasisme, yang di mana bahwa faham-faham itu justru menjadi kultus di sebagian besar sepakbola Jerman penganut fasisme dan para pendukung St. Pauli menganggapnya sebagai ancaman sepakbola dunia.”
Keempat: klub-klub besar seperti Dortmund dan Schalke di Jerman, AC Milan di Italia, Atletico Madrid di Spanyol, Boca Juniors di Argentina dan Klub besar brazil Sao Palo, Corinthians dll didirikan juga oleh para buruh. Begitupun di Indonesia dalam sebuah artikel di buruh.co menuliskan, pada tahun 1927 berdiri sebuah club bernama LONA di Sumatera Barat dan tepat di pasar pariaman.
Dikabarkan juga kesebelasan tersebut adalah berisi buruh pasar pariaman dan menurut tulisan Zen Rs kesebelasan tersebut dekat dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir.
Kapitalisme Sepak Bola
Secara historis sudah sangat jelas bahwa sepak bola moderen lahir bertepatan dengan revolusi industri. Revolusi industri merupakan sejarah revolusi perkembangan umat manusia dari corak produksi feodalisme ke kapitalisme. Kapitalisme dari berbagai litertatur menujukan, sistem ini menempatkan alat produksi pada segelintir orang serta membagi umat manusia menjadi dua kelas, yaitu kelas penindas (pengusaha/penguasa) dan kelas tertidas proletariat (kaum buruh/kelas pekerja).
Kelas pekerja berpandangan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang sangat buruk, monopoli dan hanya mengejar keuntungan. Seperti sifat dasarnya yaitu akumulasi, eksploitasi dan ekspansi. Kapitalisme kini telah mengintegrasikan berbagai negara untuk menuhankan dirinya, dengan melancarakan penindasan secara masif:menindas buruh, menciptakan kelaparan, merusak linkungan, merampas tanah kaum tani, meniadakan lapangan pekerjaan bagi kaum muda, memahalkan kesehatan dan pendidikan, merusak kebuadayaan, dan memiskinkan seluruh rakyat tanpa alat produksi di dunia.
Sepak bola dalam sejarah menjadi olahraga bagi kelas pekerja kini juga diintegrasikan dalam sistem kapitalisme. Bagaimana tidak kekayaan orang-orang kaya di dunia yang didapatkan dari merampok hak-hak kelas pekerja, dipakai untuk bersaing membeli berbagai klub. Seperti yang penulis temuka dalam sebuah artikel di panditfootball.com.
“Pengusaha kaya raya dunia seperti Roman Abramovich atau Syekh Mansour adalah bagian contoh pembisnis sukses dalam ranah ini. Mereka berdua juga menyulap Chelsea dan Manchester City jadi klub hebat yang dipenuhi pemain bintang. Pebisnis lokal? Ada Erick Thohir (Inter Milan dan DC United) dan Ustadz Yusuf Mansur (Lechia Gdansk), walau keduanya hanya memegang sebagian saham klub.”
Sepak bola kini telah menjadi seperti sebuah perusahaan, itu terlihat dalam menajemen klub, adanya pemilik club hingga tukang pijat pemain. Kita tau bahwa klub-klub sepak bola juga memiliki sporter, kebanyakan berasal dari kelas pekerja yang tumpah ruah. Para sporter kini tak lagi dianggap sebagai pendukung atau bagian tak terpisahkan dari sepak bola.
Tapi dalam kapitalisasi sepak bola mereka dinilai hanya sebatas konsumen, ketika ada pertandingan, bagi pasar perusahaan-perusahaan sponsor atau sumber awal dari sebuah klub mendapatkan keuntungan (termasuk penjualan tiket dan perhotelan milik club), selain itu juga lisensi hak siar (termasuk distribusi dari partisipasi di liga dan piala domestik, serta kompetisi antarklub di tiap-tiap benua), dan sumber komersial (termasuk sponsor, penjualan merchandise dan operasi komersial lainnya).
Dari hak lisensi dan sumber komersil M Fajar Ramadhan dalam sebuah artikel di Kompasiana.com menuliskan “Dari ketiga celah pendapatan ini, terutama dari lisensi hak siar dan sumber komersial/sponsor, para pemodal dan sponsor masuk ke dalam klub sepak bola. Hasilnya, kini kita dapat melihat bagaimana kontrak dengan nominal yang fantastis terjadi di dunia sepak bola.”Sangat jelas bagaimana praketk kapitalisme dalam sepak bola itu tergam barkan dari monopoli klub-klub bermodal besar terhadap klub-klub bermodal kecil.
Klub-klub bermodal besar bisa dengan bebas membeli pemain-pemain berkualitas, tapi tidak dengan klub-klub bermodal kecil. Sehingga kemenangan-kemenangan pertandingan selalu saja dijuarai oleh klub-klub bermodal besar. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh sebuah artikel di matabanua.com
“ Implikasi lain dari adanya praktik industri kapitalisme yang sangat besar ini dalam dunia sepak bola adalah terjadinya ketimpangan kualitas antar pelbagai klub sepak bola. Klub-klub elit akan terus sukses memenangkan setiap kompetisi yang mereka ikuti sedangkan klub kecil hanya dapat bertengger di papan tengah hingga di papan bawah klasemen.”
Kapitalisme sepak bola hanya menjadikan pemain sebagai komoditas yang diperjual-belikan. Klub-klub besar tidak peduli dengan kehidupan pemain, mereka harapkan dari para pemain adalah terus membuat prestasi, agar semakin melahirkan fanatisme bagi sporter agar tiket dan Merchandise bisa laku terjual dan terus mendapatkan modal dari berbabgai sponsor. Situasi ini dipaparkan dalam sebuah artikel panditfootball.com
“Pada dasarnya, klub tidak ingin ambil pusing pada karier seorang pemain sepenuhnya. Andai dalam top form boleh saja pemain di-anak-emas-kan. Jika mental sedang menurun, mau tidak mau mereka harus persiapkan Plan B: pindah. Adaptasi dengan lingkungan baru dengan karier yang masih abu-abu. Tekanan fans hingga risiko cedera dapat dengan mudah merusak psikis pemain.Kadang kala, situasi keuangan klub yang sedang merana membuat mereka harus merelakan pemain-pemain andalannya pergi. Yang paling kejam pada pemain, tentu saat rasisme terus didendangkan hampir di setiap pertandingan sepakbola di dunia. Ini semakin mencerminkan kalau hal yang berbau kapitalis itu keji. Tidak manusiawi.”
Sepak Bola Indonesia adalah studi kasus paling kongkrit bagaimana kapitalisme sepak bola telah menciptakan malapetka Kanjuruhan. Ratusan sporter yang berasal dari kelas pekerja (rakyat miskin) harus mati tertembak gas air mata polisi dan pukulan tentara. Kematian ratusan sporter itu tak sedikitpun diperdulikan oleh kapitalisme sepak bola. Mereka dengan perangkat buzernya terus memainkan blak propaganda bahwa itu karena fanatisme buta dari sporter. Padahal fanatisme itu lahir karena kapitalisme. Mereka bahkan membela mati-matian brutalisasi aparat polisi dan tentara.
Bagaimana tidak ini merupakan ulah para kapitalis, kapasitas stadion hanya 38 ribu tetapi tiket yang terjual sebanyak 42 ribu. Selain itu pertarungan antara (Persebaya/Arema), yang mempunyai tensi tinggi ini seharusnya tidak disiarkan malam hari dipakasakn siar. Hanya untuk meraup untung yang besar dari iklan. Demikianlah demi untuk keuntungan kapitalisme tak peduli dengan ratusan nyawa yang mati. Bahkan PSSI dalam riset ICW terbukti sebagai lembaga yang sangat korup.
Perlu digarisbawahi mereka yang paling ditindas dari kapitalisme sepak bola adalah kelas pekerja. Kenapa demikian? Kenyataan menunjukan, industri sepak bola bukan hanya digerakan oleh kelas buruh dari sisi penonton dan pemain, namun juga seluruh peralatannya. Bola, sepatu, merchandise, stadion, dll yang digunakan dalam pertandingan kelas dunia ternyata diproduksi oleh kelas pekerja/buruh/proletariat
Piala Dunia Qatar dan Penindasan Terhadap Buruh
Anugrah Mappagala Seorang buruh harian lepas menulis dalam sebuah artikel “Olahraga yang dulunya menjadi ranah kelas pekerja diubah secara sistematis menjadi sebuah bisnis tanpa memedulikan penggemar yang membentuk tradisi hebat sepak bola itu sendiri.”
Sejak awal penetapan Qatar sebagai tuan rumah sudah bermasalah. Dalam sebuah artikel di vice.com menyebutkan “Pemilihan Qatar sendiri terbukti diwarnai suap. Adanya sogokan memengaruhi komite FIFA untuk memilih negara di Timur Tengah itu jadi tuan rumah Piala Dunia 2022, setidaknya merujuk laporan Kejaksaan Agung Amerika Serikat, yang menangani kasus pencucian uang pejabat FIFA di negara mereka.
Kita semua saat ini yang menjadi sporter dari 32 Negara, siap bertanding pada November 2022 di Qatar. Merupakan mayoritas dari kelas pekerja (rakyat miskin). Pernah kah kita tergugah dan tergugat untuk memikirkan bagaimana nasib kelas pekerja pembuat Merchides para pemain (spatu, kaos.calana), pekerja pembuat stadion, pekerja hotel, pekerja pembersih stadion, pekerja merawat rumput lapangan, dan pekerja tambang emas yang hasil produksi mereka digunakan untuk piala dunia itu? Mereka semua merasakan penindasan berlapis sedangkan para kapitalis sepak bola mendapakan keuntungan melimpah.
Sangat menyayat hati penulis ketika membaca sebuah artikel, bagaimana tidak? artikel tersebut menyebutkan bahwa 6.500 Buruh Migran di Qatar Meninggal demi Piala Dunia. Sebuah mega proyek pembangunan besar-besaran demi menciptakan pengalaman berkesan untuk tim sepak bola, suporter, dan tentu saja korporat. Tak hanya mendirikan stadion, mereka juga membangun fasilitas penunjang seperti jalan raya, jaringan kereta, pelabuhan, bandara, sampai rumah sakit, yang kabarnya meraup biaya sampai USD 200 miliar. (Tirto.id). Taukah kalian buruh-buruh yang nyawanya terenggut oleh bengisnya kapitalisme, merupakan buruh-buruh migran. Begitupun dengan nasib buruh-buruh perusahaan AICE, mereka berjuang untuk kenaikkan upah malah di PHK secara sepihak oleh perusahaan ice cream tersebut. Perusahan juga mepekerjakan buruh hamil hingga keguguran. Sungguh miris bukan? Dan kini perusahaan tersebut menjadi sponsor di piala dunia.
Taukah kalian Merchides ternama yang digunakan oleh penggemar kalian, seperti Nike, Adidas, dll, tempat produksinya di Indonesia. Mereka yang memproduksi adalah buruh garmen. Dan buruh tersebut kebanyakan bekerja di Jakarta Utara tepatnya di Kawasan Berikat Nusantara Cakung (KBN Cakung).
Nasib buruh garmen di KBN Cakung sangat menyedihkan. Hasil penelitian Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) menunjukan kondisi buruh garmen sebagai berikut:
Jaminan Kerja; terutama meliputi sistem kerja tidak pasti. Hampir seluruhnya kontrak bertahun-tahun, bahkan dibuat sistem kerja di bawah sistem kontrak (harian lepas, borongan) tanpa jelas acuan hukum dan ketidakpastian perusahaan karena relokasi atau pergantian pemilik. Maka tak usah heran, bila dengan mudah pengusaha kabur begitu saja menelantarkan buruhnya.
– Kebebasan Berserikat; meliputi pemberangusan terhadap serikat kritis, hambatan pembangunan serikat, dan beragam intimidasi terhadap tuntutan hak buruh.
– Pelanggaran Upah; meliputi nilai upah minimum yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, pembayaran upah di bawah upah minimum, PHK tanpa pesangon sesuai ketentuan, lembur paksa tanpa bayar dan atau pembayaran lembur di bawah ketentuan hukum, tidak ada upah skala (sesuai masa kerja), serta pelanggaran pembayaran tunjangan-tunjangan (termasuk THR).
– Kekerasan Seksual; meliputi tidak adanya upaya pencegahan dan pembelaan korban, juga terjadinya beragam kekerasan seksual (dari bentuk pelecehan hingga tindakan menjurus perkosaan)
– Pelanggaran Hak Maternitas; terkait hak cuti yang sulit didapat (cuti haid dan cuti melahirkan), tidak ada fasilitas dan kesempatan menyusui, tidak ada fasilitas dan jaminan pemeliharaan kehamilan (termasuk untuk pemeriksaan), tidak adanya perlindungan kandungan dalam menjalankan pekerjaan (termasuk sulitnya waktu istiahat, kemudahan fasilitas, konsumsi dll)
Sampai disini penulis berpandangan mometum piala dunia tahun ini karena bertepatan dengan krisis kapitalisme, akan digunakan sebagai ajang reaksi untuk mengkonsolidasikan kekuatan kapitalisme untuk pemulihan dari krisis. Itu berarti rakyat pekerja Qatar dan dunia akan semakin sengsara dan menderita kedepanya. Lalu apa yang harus dilakukan oleh kelas pekerja dan kaum pergerakan? Apakah hanya cukup dengan euforia piala dunia? Sejarah telah menunjukan pelajaran penting bahwa “Sepak bola digunakan oleh kelas pekerja sebagai alat perjuangan untuk melawan penindasan”.
Tugas dan Tanggug Jawab Kaum Pergerakan Dalam Momentum Piala Dunia 2022?
“ Kaum Buruh Sedunia Bersatulah” Karl Marx dan Engels
Aksioma Marxis di atas telah memberikan gambaran dialektis kepada kaum pergerakan. Bahwa sudah seharusnya dalam momentum piala dunia ini kaum pergerakan harus melakukan entrysme, terkhusus kepada sporter agar tidak sekedar euforia, rivalitas dan fanatisme. Tetapi jauh dari pada itu, sehingga penting kaum pergerakan harus melebur di tengah-tengah massa sporter, tanpa harus membuntuti kesadara sproter. Tugas penting dari kaum revolusioner adalah menggunakan tiap kesempatan dan isu untuk menyampaikan pandangan dan seruan yang menawarkan perlawanan paling efektif sekaligus menawarkan solusi revolusioner.
Piala dunia dapat menarik simpati ribuan bahkan jutaan mansuia. Dan manusia-manusi itu kebanyakan berasal dari kelas pekerja dan kaum muda. Maka penting kaum pergerakan harush masuk mengentrysme kesadaran mereka agar bergabung bersama kaum pergerakan untuk melawan sistem kapitalisme dan membangun sosialisme. Berikut ini tawaran taktik yang bisa dikerjakan bersama oleh kaum pergerkan: Pertama: Fondasi awal perlu disiapkan adalah organisasi revolusioner. Agar orang-orang pergerakan ketika melakukan entrysme kepada sporter sepak bola, sudah memilik kesadaran revolusioener.
Pentingnya kesadaran revolusioner ialah agar orang-orang pergerakan tidak memberikan argumentasi serampangan dan mengarahkan kesadaran sporter pada arah euforia, rivalitas, dan fanatisme. Tetapi mendorong sporter untuk terlibat dalam organisasi revolusioner ataupun membangun aliansi-aliansi sporter anti kapitalisme. Kedua: Menerbitkan propaganda harian selama piala dunia berjalan, propaganda itu berupa selebaran, poster, spanduk, video, dll, untuk disebarkan kepada sporter secara offline maupun online. Propaganda ini sangat penting dilakukan agar proses mengarahkan kesadaran sproter menjadi kesadaran revolusioner bisa terjawab. Pekerjaan propaganda bagian paling fundamental untuk membangun sebuah organisasi revolusioner. Ketiga: Rumuskanlah berbagai agenda, mulai dari diskusi, rapat akbar, panggung seni, dll, sebagai medium untuk melakukan agitasi dan propaganda. Kongkrintya sebelum dua negara bertanding, waktu luang itu digunakan untuk agenda-agenda tersebut diatas. Selama satu bulan penuh dan diekerjakan dengan sabar, maka sudah pasti kaum pergerakan bisa memetik hasilnya.
Akhir kata dari penulis, “Kita tidak cukup dengan menendang bola, tapi yang perlu kita lakukan adalah menendang, mentekling dan mensleding kapitalisme keluar dari dunia dan sepak bola. Dan membangun dunia dan sepak bola yang berlandaskan pada cinta, kasih sayang, solidaritas dan kesetaraan”.
Maka sudah seharusnya piala dunia dijadikan momentum untuk mengorganisir, mengorganisasikan, mengkonsolidasikan kaum muda dan kelas pekerja untuk memobilisasi melakukan perlawanan sehebat-hebatnya terhadap sistem kapitalisme.