Saraswati dan Baepsae: Saat Burung Kecil Harus Terbang Sendiri, Negara Justru Diam

Rahayu Saraswati berbicara dari jalur yang disediakan privilege, seperti bangau yang terbang tinggi di langit luas. Sementara jutaan perempuan kelas bawah adalah baepsae, burung kecil yang dipaksa menempuh jalur yang tidak pernah dibangun untuknya.

Oleh: Yuli Riswati

Seruan dari Menara Privilege

Agustus 2025, Rahayu Saraswati, anggota DPR sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto, menyerukan agar anak muda Indonesia berhenti berharap pada lowongan kerja pemerintah. Solusinya, kata dia, adalah menciptakan usaha sendiri: memasak, menjahit, membuka kuliner atau mode.

Sekilas terdengar inspiratif. Namun seruan itu lahir dari ruang penuh privilege, modal keluarga, jaringan politik, dan akses pendidikan. Sebaliknya, mayoritas anak muda, terutama perempuan kelas bawah, justru berjuang di dalam sistem kerja timpang yang membuat mereka tidak memiliki modal, perlindungan, apalagi dukungan struktural.

Baepsae dan Aturan Main yang Tidak Adil

BTS melalui lagu Baepsae (secara harfiah berarti burung pipit, juga diterjemahkan sebagai try-hard atau cangak apai) memotret ketimpangan generasi: mereka yang lahir tanpa privilege dipaksa meniru langkah para elite yang sayapnya sudah terbentang sejak lahir. Hasilnya jelas: kaki mereka robek.

Pesannya sederhana namun tajam: kemiskinan bukan soal malas, tapi aturan mainnya memang tidak adil. “This is not normal.” Burung kecil dipaksa berlari di lintasan bangau dan sudah tentu akan kalah sejak awal.

Realita yang Menyakitkan

Jika Rahayu sungguh ingin memahami kondisi anak muda hari ini, seharusnya ia membaca data dan pengalaman nyata seperti berikut:

Pengangguran Pemuda: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) nasional Februari 2025 tercatat 4,76%. Namun, jumlah penganggur tetap naik menjadi 7,28 juta orang. Anak muda usia 15–24 tahun mencatat TPT sekitar 16,16%, tiga kali lipat rata-rata nasional. Lebih dari 52% penganggur adalah anak muda, sekitar 3,9 juta jiwa.

Dominasi Sektor Informal: Sebanyak 59,31% pekerja Indonesia berada di sektor informal (2022). Dari jumlah itu, perempuan jauh lebih rentan: 64,25% pekerja perempuan bekerja informal, dibanding laki-laki 55,81%.

Upah & Jam Kerja: Mayoritas pekerja informal perempuan bekerja lebih dari 40 jam per minggu, tetapi lebih dari 70% hanya berpenghasilan di bawah Rp3 juta per bulan.

Distribusi Regional: Proporsi pekerja informal tertinggi berada di Papua (~84%), Sulawesi Barat (~77%), dan NTB (~75%).

Fenomena NEET (Not in Employment, Education, or Training): Pada 2022, pemuda NEET mencapai 23,22%. Di 2023, ada 5,37 juta perempuan muda NEET, atau 26,54% dari generasi muda perempuan dan 54,2% dari total NEET Indonesia. Dari sisi beban domestik, 61,8% NEET perempuan menghabiskan waktunya untuk pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya 18,3%.

Perempuan Baepsae di Bawah

Data yang tersebut di atas menemukan wajahnya dalam kehidupan sehari-hari perempuan kelas bawah, mereka yang bisa disebut sebagai baepsae Indonesia:

  1. Buruh Pabrik Garmen: bekerja lembur demi upah pas-pasan, sering kehilangan pekerjaan ketika menuntut hak.
  2. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan PRT Migran: mengurus rumah orang lain puluhan jam per hari, hidup di ruang sempit, gaji dipotong, dan jauh dari keluarga demi menghidupi rumah tangga sendiri.
  3. Pengemudi Ojek Daring Perempuan: tetap mengurus anak dan rumah, sambil menghadapi pelecehan dan ketidakpastian algoritma platform.

Mereka bukan tidak berusaha. Mereka bekerja keras, tetapi sistem terus menyulitkan.

Privilege Rahayu vs Realitas Perempuan Kelas Bawah

Pendekatan feminis materialis membantu kita melihat kontras ini lebih tajam bahwa:

  • Privilege Politik & Kelas Rahayu: Ia adalah anggota DPR dengan modal keluarga elite dan jaringan luas. Sementara perempuan kelas bawah bahkan tidak punya akses dasar pada modal usaha atau jaringan sosial.
  • Ketimpangan Struktural: Seruan untuk “jadi pengusaha” tanpa menyediakan modal, pelatihan, fasilitas publik, atau kebijakan yang mengurangi beban ganda perempuan, hanya mempertegas jurang kelas.

Dari Retorika ke Aksi Struktural

Konstitusi negara Indonesia, UUD 1945 Pasal 27, menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Artinya, tanggung jawab atas ketersediaan lapangan pekerjaan bukan berada di pundak individu semata, melainkan negara.

Negara seharusnya hadir melalui:

  • Penciptaan lapangan kerja formal yang inklusif dan berkelanjutan.
  • Perlindungan pekerja informal: asuransi, jaminan pensiun, cuti, dan akses ke layanan keuangan.
  • Penyediaan fasilitas publik: penitipan anak, transportasi aman, layanan kesehatan, yang meringankan beban ganda perempuan.
  • Akses modal mikro dan pelatihan yang merata hingga daerah, bukan hanya untuk kelas menengah perkotaan.
  • Reformasi kerja: upah layak, jaminan kehamilan dan cuti, serta perlindungan dari pelecehan di tempat kerja.

Memulihkan Sayap Pipit, Bukan Menyalahkannya

Rahayu Saraswati berbicara dari jalur yang disediakan privilege, seperti bangau yang terbang tinggi di langit luas. Sementara jutaan perempuan kelas bawah adalah baepsae, burung kecil yang dipaksa menempuh jalur yang tidak pernah dibangun untuknya.

Lagu Baepsae dari BTS sudah lama mengingatkan: “This is not normal.” Dan memang tidak normal jika negara hanya diam, sementara generasi mudanya, terutama Perempuan, dipaksa bertahan dengan sayap yang terus disobek sistem.

Jika benar ingin anak muda menjadi pengusaha tangguh, negara harus memperbaiki fondasi, bukan hanya memberi wejangan. Karena membangun sayap pipit adalah tugas kolektif negara, bukan beban yang diserahkan pada burung kecil itu sendiri.

Oleh: Yuli Riswati

Seruan dari Menara Privilege

Agustus 2025, Rahayu Saraswati, anggota DPR sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto, menyerukan agar anak muda Indonesia berhenti berharap pada lowongan kerja pemerintah. Solusinya, kata dia, adalah menciptakan usaha sendiri: memasak, menjahit, membuka kuliner atau mode.

Sekilas terdengar inspiratif. Namun seruan itu lahir dari ruang penuh privilege, modal keluarga, jaringan politik, dan akses pendidikan. Sebaliknya, mayoritas anak muda, terutama perempuan kelas bawah, justru berjuang di dalam sistem kerja timpang yang membuat mereka tidak memiliki modal, perlindungan, apalagi dukungan struktural.

Baepsae dan Aturan Main yang Tidak Adil

BTS melalui lagu Baepsae (secara harfiah berarti burung pipit, juga diterjemahkan sebagai try-hard atau cangak apai) memotret ketimpangan generasi: mereka yang lahir tanpa privilege dipaksa meniru langkah para elite yang sayapnya sudah terbentang sejak lahir. Hasilnya jelas: kaki mereka robek.

Pesannya sederhana namun tajam: kemiskinan bukan soal malas, tapi aturan mainnya memang tidak adil. “This is not normal.” Burung kecil dipaksa berlari di lintasan bangau dan sudah tentu akan kalah sejak awal.

Realita yang Menyakitkan

Jika Rahayu sungguh ingin memahami kondisi anak muda hari ini, seharusnya ia membaca data dan pengalaman nyata seperti berikut:

Pengangguran Pemuda: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) nasional Februari 2025 tercatat 4,76%. Namun, jumlah penganggur tetap naik menjadi 7,28 juta orang. Anak muda usia 15–24 tahun mencatat TPT sekitar 16,16%, tiga kali lipat rata-rata nasional. Lebih dari 52% penganggur adalah anak muda, sekitar 3,9 juta jiwa.

Dominasi Sektor Informal: Sebanyak 59,31% pekerja Indonesia berada di sektor informal (2022). Dari jumlah itu, perempuan jauh lebih rentan: 64,25% pekerja perempuan bekerja informal, dibanding laki-laki 55,81%.

Upah & Jam Kerja: Mayoritas pekerja informal perempuan bekerja lebih dari 40 jam per minggu, tetapi lebih dari 70% hanya berpenghasilan di bawah Rp3 juta per bulan.

Distribusi Regional: Proporsi pekerja informal tertinggi berada di Papua (~84%), Sulawesi Barat (~77%), dan NTB (~75%).

Fenomena NEET (Not in Employment, Education, or Training): Pada 2022, pemuda NEET mencapai 23,22%. Di 2023, ada 5,37 juta perempuan muda NEET, atau 26,54% dari generasi muda perempuan dan 54,2% dari total NEET Indonesia. Dari sisi beban domestik, 61,8% NEET perempuan menghabiskan waktunya untuk pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya 18,3%.

Perempuan Baepsae di Bawah

Data yang tersebut di atas menemukan wajahnya dalam kehidupan sehari-hari perempuan kelas bawah, mereka yang bisa disebut sebagai baepsae Indonesia:

  1. Buruh Pabrik Garmen: bekerja lembur demi upah pas-pasan, sering kehilangan pekerjaan ketika menuntut hak.
  2. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan PRT Migran: mengurus rumah orang lain puluhan jam per hari, hidup di ruang sempit, gaji dipotong, dan jauh dari keluarga demi menghidupi rumah tangga sendiri.
  3. Pengemudi Ojek Daring Perempuan: tetap mengurus anak dan rumah, sambil menghadapi pelecehan dan ketidakpastian algoritma platform.

Mereka bukan tidak berusaha. Mereka bekerja keras, tetapi sistem terus menyulitkan.

Privilege Rahayu vs Realitas Perempuan Kelas Bawah

Pendekatan feminis materialis membantu kita melihat kontras ini lebih tajam bahwa:

  • Privilege Politik & Kelas Rahayu: Ia adalah anggota DPR dengan modal keluarga elite dan jaringan luas. Sementara perempuan kelas bawah bahkan tidak punya akses dasar pada modal usaha atau jaringan sosial.
  • Ketimpangan Struktural: Seruan untuk “jadi pengusaha” tanpa menyediakan modal, pelatihan, fasilitas publik, atau kebijakan yang mengurangi beban ganda perempuan, hanya mempertegas jurang kelas.

Dari Retorika ke Aksi Struktural

Konstitusi negara Indonesia, UUD 1945 Pasal 27, menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Artinya, tanggung jawab atas ketersediaan lapangan pekerjaan bukan berada di pundak individu semata, melainkan negara.

Negara seharusnya hadir melalui:

  • Penciptaan lapangan kerja formal yang inklusif dan berkelanjutan.
  • Perlindungan pekerja informal: asuransi, jaminan pensiun, cuti, dan akses ke layanan keuangan.
  • Penyediaan fasilitas publik: penitipan anak, transportasi aman, layanan kesehatan, yang meringankan beban ganda perempuan.
  • Akses modal mikro dan pelatihan yang merata hingga daerah, bukan hanya untuk kelas menengah perkotaan.
  • Reformasi kerja: upah layak, jaminan kehamilan dan cuti, serta perlindungan dari pelecehan di tempat kerja.

Memulihkan Sayap Pipit, Bukan Menyalahkannya

Rahayu Saraswati berbicara dari jalur yang disediakan privilege, seperti bangau yang terbang tinggi di langit luas. Sementara jutaan perempuan kelas bawah adalah baepsae, burung kecil yang dipaksa menempuh jalur yang tidak pernah dibangun untuknya.

Lagu Baepsae dari BTS sudah lama mengingatkan: “This is not normal.” Dan memang tidak normal jika negara hanya diam, sementara generasi mudanya, terutama Perempuan, dipaksa bertahan dengan sayap yang terus disobek sistem.

Jika benar ingin anak muda menjadi pengusaha tangguh, negara harus memperbaiki fondasi, bukan hanya memberi wejangan. Karena membangun sayap pipit adalah tugas kolektif negara, bukan beban yang diserahkan pada burung kecil itu sendiri.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Satu Tahun KOPERASI  KREDIT Sejahtera FBLP

Iis, memfasilitasi pertemuan Koperasi Kredit Sejahtera/dok dev.marsinah.id Minggu lalu, pada hari Minggu, 13 September 2015, sekitar belasan anggota Koperasi Kredit Sejahtera FBLP berkumpul di sekretariat

Sumarsih Menanti Keadilan

Sebelas tahun aku berdiri disebrang istana mu Sebelas tahun aku menanyakan tentang keadilan mu Sebelas tahun juga aku menanti jawaban mu Dan sampai detik ini

DI IBU KOTA

kemacetan di KBN Cakung. Putera/dok marsinahfm   Ketika malam sangatlah indah di pandangan mata Cahaya lampu warna warni berkilauan Menghiasi gedung gedung,jalanan,dan pertokoan Sungguh indah

Perempuan dan Serikat Buruh

Barisan massa aksi perempuan saat Peringatan Hari Buruh Sedunia 2013 di Jakarta.[1]/ dok lips Oleh Syarif Arifin Ada perempuan yang hendak belajar di luar, tapi harus

Tjitjih, Berkesenian Hingga Akhir Hayat

gambar diambil dari https://seputarteater.wordpress.com/2015/09/06/aneka-1954-memperkenalkan-sandiwara-miss-tjitjih/ Tjitjih, Gadis Seniman Multi Talenta Bila kita melewati wilayah Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Kabel Pendek, maka kita akan