Industri bergerak sebagai kemutlakan dari pembangunan. Konon, makin maju dan luas industri, makin sejahtera masyarakat. Efek menetes ke bawah, katanya. Saat pemilik modal makin kaya, dikisahkan bahwa kekayaannya itu akan menetes ke masyarakat banyak. Dengan alasan itu, perluasan ruang untuk industri mendapatkan pembenaran.
Di sisi lain, sekolah-sekolah formal kerap mengajarkan bahwa salah satu hukum ekonomi adalah mencipta laba sebanyak-banyaknya dari ongkos produksi seminimal mungkin. Siapapun yang akan melakukan kegiatan ekonomi, dituntut untuk berhemat biaya produksi. Upah buruh, misalnya. Ini adalah mantra sakti untuk menjadi kaya.
Hal di atas adalah cerita yang kerap terdengar, bahkan dari sumber yang sama. Industri akan menciptakan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain, industri juga dituntut untuk mengeluarkan ongkos produksi seminimal mungkin. Lalu, apakah dua hal ini dapat berjalan beriringan? Atau justru saling bersaing? Kita dapat melihatnya dari sepenggal cerita berikut.
Beberapa tahun terakhir, relokasi industri menjadi tren di kalangan pemilik modal. Mereka beramai-ramai memindahkan industri ke daerah-daerah yang memperbolehkan warganya diupah dengan biaya rendah. Jawa Tengah, misalnya. Bahkan, ragam kemudahan lain -misalnya pajak atau perizinan- dipermudah oleh pemerintah agar sang bos besar semakin senang untuk memindahkan industrinya.
Adalah PT Hermosa Garment International yang berlokasi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang merupakan salah satu perusahaan hasil relokasi. Sebelumnya, perusahaan ini memusatkan produksinya pada PT BNA yang berlokasi di KBN Cakung, Jakarta Utara. Sebagai perbandingan, pada tahun ini, UMP DKI Jakarta adalah sebesar Rp. 4.267.349 sementara UMK Klaten adalah sebesar Rp. 1.947.821,16.
Sebagaimana tergambar dari namanya, PT Hermosa Garment International merupakan perusahaan garmen. Lebih rinci, PT Hermosa kerap memproduksi setelah formal semacam kemeja, jas, rompi (vest), dasi, dan celana. Pernah juga perusahaan ini menerima orderan untuk mengerjakan gaun (gown). Adapun buyer pada perusahaan ini adalah beberapa brand asal Amerika Serikat dan Eropa.
Sebagian buruh yang bekerja pada PT Hermosa, saat ini telah bergabung sebagai anggota Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Pada 30 Agustus lalu, Pengurus Federasi menginisiasi pertemuan untuk sharing mengenai masalah yang dialami di pabrik. Semua yang hadir dalam pertemuan ini diminta untuk menuliskan pengalamannya pada secarik kertas metaplan untuk kemudian membacakan dan mendiskusikannya.
Mayoritas buruh PT Hermosa mengeluh mengenai beban kerja yang terlalu tinggi. Istilahnya, target. Tidak pernah ada perhitungan pasti mengenai target pembuatan produk atau yang biasa dikenal dengan istilah cycle time. Setiap target tercapai, alih-alih mendapat apresiasi, buruh akan dihadapkan pada penetapan target yang lebih tinggi. Jika tidak tercapai? Waktu istirahat seringkali dipangkas agar dapat menutupi target. Tak hanya itu, hardikan kepada operator adalah cara yang dipilih oleh supervisor agar target tercapai. Padahal, beban kerja yang berlebih akan berpengaruh pada kesehatan buruh dalam jangka panjang. Dan budaya hardik-menghardik, mestinya cukuplah menjadi peradaban masa lampau.
Misalnya saja, salah satu buruh pada bagian kancing bercerita bahwa ia kerap dihardik jika ada sepotong kecil saja benang yang kebetulan menempel pada produk yang dikerjakan. Dengan nada tinggi, supervisor berkata, “Bisa kerja nggak? Mata kamu lihat nggak?”.
Sementara itu, salah satu buruh pada bagian ironing menyatakan bahwa ia pernah dibentak karena terdapat tumpukan pakaian di sekitarnya yang belum selesai disetrika. Padahal, tumpukan itu dikarenakan beban kerjanya bertambah. Ia diharuskan memotong benang sisa jahitan dan membalik pakaian yang akan disetrika. Sementara sebelumnya, ia hanya bertugas menyetrika pakaian yang tidak ada sisa benangnya dan sudah dalam keadaan tidak terbalik.
Setelah ada gerakan dari beberapa buruh yang menuntut perusahaan untuk membayar THR –sebelumnya, sebagian buruh di PHK beberapa hari jelng idul fitri tanpa mendapatkan THR- target yang tinggi ini diiringi dengan beban pekerjaan yang ganda. Beberapa buruh yang tergabung dalam gerakan ini mengalaminya.
Misalnya, disamping menjahit (sewing), ada buruh yang ditugaskan juga untuk menyetrika pakaian yang telah selesai diproduksi. Beberapa buruh juga diharuskan mondar-mandir untuk mengambil bahan baku. Namun, sembari berteriak, supervisor menuduh yang bersangkutan ngobrol lantaran tidak fokus bekerja di tempatnya.
Target juga meningkat drastis, sekitar 30 hingga 40 persen dibanding sebelum lebaran. Misalnya, saat sebelum lebaran, satu line produksi kemeja dibebankan target untuk menyelesaikan sebanyak 70 hingga 80 pieces kemeja. Setelah lebaran, target naik menjadi 110 pieces kemeja. Soal upah? Sama saja.
Selain masalah target yang terus meningkat, pemenuhan hak normatif buruh juga begitu buruk. Misalnya, mengenai BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, tak sampai seperlima jumlah buruh yang telah didaftarkan. Padahal, perusahaan ini telah beroperasi hampir dua tahun. Lihat, betapa kikirnya perusahaan untuk menyisihkan sedikit labanya guna membayarkan sebagian iuran BPJS.
Cuti haid dan melahirkan, seperti di banyak perusahaan sektor padat karya lain, adalah sebuah kemewahan yang belum didapatkan para buruh. Padahal semestinya, cuti ini dapat dinikmati setiap buruh dengan tetap mendapatkan upah. Bahkan, masih soal cuti, salah seorang buruh bercerita ketika ia hendak izin kerja untuk memperingati 40 hari kematian suaminya, tidak diizinkan oleh perusahaan.
Upah lembur juga dibayarkan perusahaan atas peraturan yang ia buat sendiri. Hanya sekitar 60% dari ketentuan hukum. Ternyata, menjadi pengusaha bisa sesakti itu, melayang di atas hukum.
Semua permasalahan ini, diperparah dengan kontrak kerja yang pendek sehingga perusahaan bisa sesukanya membuang buruh. Bahkan, setelah lebaran, banyak buruh yang dikontrak dengan masa kontrak satu bulan. Ya, hanya satu bulan. Meskipun kinerja buruh yang bersangkutan baik, namun hanya karena ia berani bersuara mengenai pelanggaran yang dilakukan perusahaan, ancaman tidak diperpajang kontrak telah menanti.
Pada akhirnya, semua tindakan perusahaan ini diberi alasan pamungkas, “masih untung kamu kerja disini, lihat pabrik lain!”. Kata-kata itu kerap terdengar oleh buruh. Karenanya, kita semua patut bertanya, “Kalau keadaan kerja yang buruk di PT Hermosa dapat dibilang ‘masih untung’, lalu bagaimana kondisi pabrik-pabrik lainnya di Klaten?”
Dari cerita ini, pun hanya dengan mengambil contoh satu pabrik, kita dapat melihat kenyataan dari relokasi industri. Alih-alih menciptakan kesejahteraan yang semakin luas, hukum ekonomi “mencipta laba sebanyak-banyaknya dari ongkos produksi seminimal mungkin” menjadi hal yang lebih diutamakan oleh perusahaan. Perusahaan tak peduli kesejahteraan buruh. Yang perusahaan butuhkan adalah buruh-buruh yang mau tetap bekerja dengan dibayar murah!
Dengan UMK Klaten yang bahkan kurang dari setengahnya UMP DKI Jakarta, perusahaan sudah banyak menghemat ongkos produksi. Tentunya, laba perusahaan akan semakin besar dan bos makin kaya. Sialnya lagi, dari laba perusahaan yang semakin besar tersebut, juga bersembunyi kehendak bos untuk memeras tenaga buruh sejadi-jadinya.
Barangkali, kurang lebih begitu juga keadaan perbudakan pada zaman kolonial dulu. Hanya saja, ini dilaksanakan pada zaman modern. Perbudakan modern, begitu kira-kira istilah yang sering dipakai. Buruh bekerja dengan beban yang tinggi, tanpa jaminan sosial, tanpa hak cuti, diupah murah, dan tanpa kepastian kerja. Lalu, dimana pemerintah?
Oleh: Rizky Putra Edry
Ilustrasi oleh: Wahyu Aji Purwoko