Ragam kekerasan berlapis terjadi di dunia kerja. Dunia kerja dalam konteks ini bukan hanya tempat kerja berupa gedung perkantoran maupun pabrik tempat buruh memproduksi barang dagangan, mengingat saat ini buruh bisa bekerja di mana saja seperti rumah atau bahkan ragam tempat seiring dengan era digitalisasi yang menciptakan banyak kerja baru. Lapisan kekerasan ini mempunya ragam bentuk mulai dari kekerasan ekonomi, psikis, fisik hingga kekerasan berbasis gender dimana kekerasan seksual termasuk di dalamnya. Dian Septi Trisnanti, Deputy Perempuan KPBI menyebutkan beberapa temuan di lapangan dimana lapisan kekerasan terhadap kelas pekerja memiliki kerentanan yang berbeda. Buruh perempuan di sektor diinformalkan atau dengan ekspresi gender yang berbeda memiliki situasi yang lebih rentan.
Kekerasan yang beragam itu hingga kini masih minim perlindungan sehingga dibutuhkan payung hukum yang memadai untuk memberi proteksi terhadap hak – hak buruh secara keseluruhan. Bukan hanya untuk gender perempuan saja tapi juga gender yang lain. “Pekerja LGBTIQ menjadi kelompok pekerja yang paling rentan karena mereka didiskriminasi berdasarkan ekspresi gendernya sehingga berdampak pada kondisi psikis dan konsentrasinya dalam bekerja” Ujar Vivi Widyawati, dari Perempuan Mahardhika. Kekerasan yang mereka alami ini belum tentu dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan yang berlaku, termasuk UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan. Karenanya, Konvensi ILO 190 bisa menjadi terobosan penting yang bisa memberi perlindungan secara menyeluruh. Konsep dunia kerja menjadi poin penting dalam KILO 190 karena mencakup bukan hanya tempat kerja tapi lingkup dunia sebagai ruang kerja buruh terlepas dari status kerja, identitas gender hingga kondisi disabilitas pekerja. Sayang, pihak kementerian tenaga kerja belum kunjung menjadikan agenda ratifikasi KILO 190 sebagai yang utama.
Jadi Erison P Sinambela, Kepengawasan Naker, mengungkapkan sejauh ini, selalu siap menindaklanjuti laporan atau pengaduan pelanggaran yang masuk. Namun, berdasarkan pengalamannya tidak banyak yang melapor. Ia berharap buruh bisa melaporkan pelanggaran yang terjadi disertai dengan berkas yang mencukupi. Pihak pengawas naker juga menyambut baik dengan disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sudah lama diperjuangkan. UU TPKS ini memberi angin segar karena kekerasan seksual merupakan kejahatan yang susah dibuktikan sehingga sukar diusut tuntas.
Menurut Vivi, banyak tantangan bagi buruh untuk melaporkan pelanggaran akibat posisi tawar yang lemah. Rasa takut kehilangan pekerjaan, diintimidasi dan resiko lain yang mengikuti bila bersuara. Itulah mengapa mengorganisir diri secara kolektif bersama buruh yang lain adalah penting. Kekuatan kolektif menjadi ujung tombak perubahan.
“Aturan main dalam hukum di Indonesia seringkali berbeda dengan yang terjadi di lapangan” Tambah Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta, dalam agenda diskusi publik tersebut yang bertajuk “Mendorong Terciptanya Dunia Kerja Bebas dari GBV (Gender Based Violence)”, di gedung LBH Jakarta. Hukum di Indonesia, menurut Arif merupakan hukum sebagai kekuasaan. Akibatnya, hukum tak ubahnya menjadi alat bagi penguasa untuk meredam kelompok yang terpinggirkan. Itulah mengapa, sulit bagi buruh mendapatkan rasa keadilan dan jaminan ketidakberulangan. Situasi itu menjadi tantangan tersendiri bagi kelompok penegak HAM maupun SP/SB.
“Tak ada jalan lain kecuali mengkonsolidasikan diri dalam agenda perlawanan untuk merebut hak. Kekuatannya memang ada di tangan buruh sendiri. Selain mendesak perlindunan hukum yang lebih menyeluruh, yaitu Konvensi ILO 190, kekuatan kelas pekerja sendiri lah yang jadi senjata utama” Sambung Dian menutup Diskusi Publik yang diselenggarakan KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), Minggu, 8 November 2022, di lantai 1 LBH Jakarta.
Agenda diskusi publik ini diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November nanti. Sekaligus bagian dari kampanye penghapusan kekerasan di dunia kerja. (dst)