Search
Close this search box.

Pengalaman Mogok Makan untuk PRT di Hari Perempuan Sedunia

Oleh Dian Septi T 

Pagi itu, tubuh masih terasa letih dan penat. Maklum, di hari sebelumnya kami (Marsinah FM)  bersama berbagai kelompok lain menyelenggarakan aksi Hari Perempuan Sedunia. Namun, pagi itu tak kalah istimewa. Masih dalam rangka Hari Perempuan Sedunia, kami dan teman-teman dari Jala PRT dan KAP (Komite Aksi Perempuan) akan aksi mogok makan untuk PRT di depan Kemenaker. Meski demikian, kami boleh mengusung isu perempuan lainnya, seperti kekerasan seksual di tempat kerja.

Jadilah kami berangkat dengan beberapa teman mahasiswa peserta Pondok Mahasiswa yang live in di sekretariat Marsinah FM selama 10 hari. Singkat cerita, meski pondok mahasiswa  sudah berakhir,  masih ada 10 teman mahasiswa yang tertinggal karena belum bisa pulang ke daerahnya masing-masing. Kami menumpang mobil komando FSBTPI (Federasi Serikat Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia)  yang disewa untuk aksi mogok makan ini. Dengan menumpang mobil komando, kami tak perlu mengeluarkan ongkos transportasi.

Memanusiakan Manusia?

Sesampainya di gedung Kemenaker, kami disambut dengan banner raksasa di halaman gedung megah ini. Judul banner raksasa itu adalah “Revolusi Mental Ketenagakerjaan, Saatnya Memanusiakan Manusia”.  Aku agak mengernyitkan dahi sambil mengingat nasib teman-teman kami di KBN Cakung dan di berbagai daerah. Benarkah?

Setelah arah jarum jam sudah menunjuk pukul 10 pagi, massa aksi berjumlah 30an orang pun kemudian berbaris. Tampak Jumisih dan Thin Kusna memimpin aksi massa kami. Secara bergantian perwakilan organisasi menyampaikan orasi yang berisikan tuntutan, dari soal Undang-Undang PRT, kekerasan seksual pada perempuan pekerja  hingga kekerasan pada pekerja LGBT. Dengan mengenakan kaos bertuliskan “Mogok Makan untuk PRT”, peserta aksi tampak bersemangat.

Mogok Makan

Lalu? Bagaimana rasanya mogok makan? Jujur saja, ini baru pertama kalinya kami (Marsinah FM) mogok makan menuntut sesuatu. Tapi aku dan penyiar Marsinah FM lainnya, yaitu Dian Novita, Jumisih dan Thin Kusna tergerak hati untuk ikut rally mogok makan, selain karena sepakat dengan tuntutan pengesahan UU PRT, juga karena melihat Mbak Lita Anggraini yang sudah mogok makan jauh hari sebelumnya. Di hari itu, kalau tidak salah, sudah hampir 20 hari (atau lebih?) dia mogok makan. Serius sekali, batinku bertanya-tanya.

Sungguh salut dengan kegigihan Mbak LIta dan Jala PRT hingga kami memutuskan mogok makan hari itu, sehari saja. Malu ya, kami baru bisa mogok makan sehari, tapi mbak Lita sudah berhari-hari untuk sesuatu yang sangat diperjuangkannya, Pengesahan UU PRT. Kemarahan mbak Lita dan Jala PRT hingga  memutuskan mogok makan, masuk akal. Bagaimana tidak, RUU PRT tiba-tiba terdepak dari Prolegnas setelah diperjuangkan selama 11 tahun. Anehnya, justru RUU PPHI seperti hantu, tiba-tiba nongol di Prolegnas, entah diusung oleh siapa.

Audiensi Pahamilah Kesulitan Kami

Seusai kami berorasi bergantian, ada kabar dari dalam gedung megah itu. Staff kemenaker bersedia bertemu dengan peserta aksi katanya. Senangnya. Kami semua pun masuk ke ruang  pertemuan di lantai dasar gedung Kemenaker. Tampak di sana sosok perempuan setengah baya, anggun dengan pakaian resmi dan kosmetiknya. Sebagaimana audiensi pada umumnya, tiap perwakilan organisasi menyampaikan uneg-unegnya, apa yang dituntut. Tapi, audiensi ini lain dari yang lain.

Lain, karena biasanya, perwakilan dari pemerintah akan mengatakan hanya bisa menampung karena Bapak Menteri tidak ada dan ia tak berwenang mengambil keputusan. Tapi tidak dengan ibu ini.  Oh ya, namanya Nora Kartika, Kasubdir Tenaga Kerja Mandiri Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemenaker RI.

Seusai kami semua mengungkapkan tuntutan kami, beliau menyampakan beberapa hal (1) Agar kami mau mendengarkan dia karena dia sendiri sudah mendengarkan kami, bahkan mencatat; (2) Agar kami mau memahami kesulitan yang ia alami dan pemerintah dalam membicarakan soal PRT; (3) Kami dan dia berbeda paham jadi harus saling mendengar, bila tidak, tidak akan bertemu; (4) RUU PRT sudah bukan di Kemenaker lagi tapi sudah jadi ranahnya DPR atau inisiatif DPR;  (5) Menentukan upah PRT itu sulit, karena PRT beragam jenis dan clusternya, punya kompetensi masing-masing, dan diupah pun mesti sesuai tingkat pendidikan ; (6) Agar kami memahami RUU PRT dan harus belajar sejarahnya;

Sebenarnya masih banyak lagi yang diucapkan beliau, yang membuat kami semua gerah. Kami sendiri, mohon maaf, tidak mengerti dimana letak kami tidak mendengarkan ia berbicara. Mungkin ia mau kami juga mencatat setiap apa yang ia sampaikan. Mungkin demikian, karena aku tidak banyak mencatat. Tapi sebenarnya tak habis pikir ketika ia sudah berkesimpulan kami berbeda paham, lha wong diskusi saja belum. Pun ketika ia berkesimpulan kami tidak paham sehingga mesti perlu belajar sejarah. Mungkin kalau aku pribadi memang baru sekarang ini terlibat lebih dalam perjuangan RUU PRT, tapi kelompok lain yang duduk di audiensi sudah 11 tahun berjuang. Artinya merekalah pelaku sejarah sehingga sudah pasti tahu, memahami sejarah perjalanan RUU PRT.

Berikutnya, bagaimana bisa ia meminta peserta audiensi memahami kesulitannya. Pikirku, teman-teman yang memperjuangkan PRT, yang sebagian dari PRT sendiri tentu tingkat kesulitan hidupnya jauh lebih besar dari Ibu pejabat ini. Selintas, bayang wajah Mbak Nur Aini muncul di imajiku (TKI yang disiksa dan upah hanya dibayar sebulan meski sudah bekerja 10 tahun). Membayangkan Mbak Nur Aini diminta oleh Ibu pejabat tersebut untuk memahami kesulitan ibu pejabat kenapa lama sekali dalam memberi perlindungan pada PRT.

Audiensi Buntu. Mogok Makan Jalan Terus

Akhirnya aku berkesimpulan. Bu Nora ini sedang memainkan dirinya sebagai korban yang kami aniaya karena kami sedemikian cerewet menuntut perlindungan bagi PRT berupa UU PRT.  Sudah bisa diduga, perdebatan berlangsung sengit, seputar clustering PRT, bagaimana menentukan upah bagi PRT, dan masih banyak lagi. Ah, andai pejabat itu memandang PRT bukan dari sisi majikan, tapi dari sisi PRT. Siapa yang mau bekerja tanpa batas waktu, upah rendah, rentan kekerasan dan kekerasan seksual. Bila kita mengijinkannya, bukankah kita sedang TIDAK MEMANUSIAKAN MANUSIA.

Audiensi tidak menghasilkan apa-apa. Kecuali sebuah kenyataan “Kemenaker tidak sedang memanusiakan manusia. Artinya banner raksasa  di halaman gedung mewah Kemenaker hanya isapan jempol belaka” dan reli mogok makan pun terus berlanjut.

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

BERANI

Berani Bukan barang dagangan. Bukan slogan. Bukan sekedar di ucap. Bukan pula obral kata Berani. Mudah terucap dari bibir. Tapi butuh kekuatan untuk bertindak. Karenanya

Hentikan Kriminalisasi Pemutaran Film Senyap

foto diambil dari http://www.zimbio.com/pictures/hOXlp-rcL71/Look+Silence+Green+Carpet+Arrivals+Zurich/xx2ypk7UbpI/Joshua+Oppenheimer Oleh Joshua Oppenheimer* Pemutaran film Senyap di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 11 Maret 2015 yang terus berlangsung sekalipun

Sumber: https://pin.it/42kJV784f

Polemik UU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Selain itu, UU KIA tidak mengatur secara khusus hak buruh ibu yang bekerja di sektor informal. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9%), dan didominasi oleh perempuan.

Tentang Kritik dan Mereka yang Dibungkam 

“Meski KUHP yang baru ini dinyatakan berlaku tiga tahun mendatang, sungguh nggak masuk akal kalau pasal pencemaran nama baik yang telah dihapus di KUHP baru, justru dipakai untuk menggugat Fatia dan Harris karena mereka berdua berani mempublikasikan hasil kajian tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi wilayah Intan Jaya, Papua. Ini sih karena seorang yang berkuasa ini sedang tersinggung saja”