Tepat di hari pahlawan yang jatuh pada 10 November, Komnas HAM dan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) didukung oleh berbagai lembaga dan organisasi menyelenggarakan pemutaran film perdana, Senyap atau The Look Of Silence. Film ini adalah film sequel dari The Act of Killing besutan sutradara Joshua Oppenheimer. Dengan kapasitas penonton sebesar 800 orang, Gedung Graha Bakti Budaya TIM berhasil dipenuhi oleh penonton yang mungkin jumlahnya lebih dari 800 orang. Hari itu pemutaran film digelar sebanyak dua kali, yakni jam 4 sore dan jam 6 sore. Karena ledakan penonton terpaksa daftar penonton yang datang untuk jam 4 sore dan yang tidak terdaftar karena berbagai hal tekhnis, diarahkan untuk menonton di putaran ke dua, jam 6 sore.
Antusiasme masyarakat untuk menonton adalah hal positif yang menunjukkan bahwa film ini diminati banyak kalangan masyarakat sehingga ada peluang untuk bicara mengenai peristiwa pelanggaran HAM 1965. Terlepas dari pro dan kontra dari film Jagal maupun Senyap, tapi kemunculan kedua film yang digarap oleh Joshua membuka ruang pendiskusian yang lebih besar terkait peristiwa 1965. Masyrakat didorong untuk menoleh ke belakang, bercermin dan menatap sendiri wajahnya.
Saya adalah salah satu yang senang bisa berkesempatan menonton film Senyap. Sayang, saya tak berkesempatan menonton putaran film Perdana Senyap jam 4 sore karena harus menghadapi antrian panjang penonton di barisan meja registrasi online. Di putaran perdana film Senyap, Adi Rukun menyempatkan diri untuk hadir dan berbicara di harapan ratusan penonton. Setelah ucapan sambutannya beredar di dunia maya, saya bisa merasakan kesan mendalam dari rangkaian katanya yang sederhana, terutama ketika dia menyampaikan kesal dan marah atas sikap pelaku yang sedikitpun tak ada rasa sesal, apalagi minta maaf. Awalnya, saya mengira Joshualah yang memplot Adi Rukung supaya menjadi aktor utama film dokumenternya dan mau bertemu dengan para pelaku. Tapi nyatanya tidak, berdasarkan keterangannya, dia sendirilah yang mengusulkan pada Joshua supaya dia yang berkunjung dan berhadapan dengan para pelaku. “Saya tahu risiko yang mungkin saya hadapi, dan saya telah memikirkannya. Ini semua saya lakukan bukan karena saya seorang pemberani, melainkan karena saya merasa sudah terlampau lama hidup dalam rasa takut. Saya tidak ingin anak saya, dan cucu saya nantinya, hidup dalam rasa takut yang sama”
Menonton film Senyap, saya dikejutkan dengan keberanian seorang Adi Rukun, pekerja kaca mata keliling yang kakaknya, Ramli, dibunuh dengan keji dalam peristiwa 1965. Hanya orang dengan kepribadian tangguh yang mampu bertemu dengan para pelaku dan berbicara dengan emosi yang nyaris datar. Kata-kata yang mengalir deras dari mulut Adi, tanpa perlu teriakan emosi, tampak nyaring di hadapan para pelaku. Itu tampak dari wajah para pelaku yang menunjukkan rasa risau dan kaget ketika Adi terus nyaring menyuarakan isi hatinya dalam senyapnya peristiwa 65. Pasti ada pergumulan hebat di batin Adi Rukun ketika berhadapan dengan para pembunuh kakaknya, belum lagi rasa marah yang hebat mana kala penyesalan pun tak tampak. Saya berpikir bagaimana para pembunuh ini bisa merasa demikian bebas, tanpa rasa salah melakukan pembunuhan, bahkan meminum darah para korbannya, sekian tahun lamanya.
Selang beberapa waktu setelah tandas menonton film berdurasi 98 menit ini, saya berkesimpulan, negara memiliki peran sangat besar atas rasa tidak bersalah, tidak menyesal dari para pembunuh tersebut. Dari sekian banyak pembunuh tersebut, negaralah yang paling bersalah. Paling bersalah, karena negaralah yang melegalkannya, menyatakan tak salah bila bantai siapa saja yang dituduh anggota PKI dan ormas yang dipengaruhinya. Bahkan, justru bisa dikata sebagai pahlawan. Sesuatu yang keji dan secara hukum maupun moral masyarakat dianggap salah, tiba-tiba saja menjadi suatu hal yang benar karena negara mempropagandakannya sebagai hal yang benar. Sehingga, tentu saja para pembunuh merasa ada bekingan di belakangnya, yang siap melindunginya, menjamin bahkan memujinya bila bisa membantai sebanyak mungkin orang yang dituduh komunis meski di masa hidupnya adalah orang baik, tetangga sendiri atau bahkan masih kerabat sendiri. Salah satu pembunuh misalnya, dengan lugas menjelaskan bahwa tentara siap memback up segala tindakannya membunuh. Saya tersentak, segala yang jahat bila dipropagandakan sebagai perbuatan baik oleh sebuah struktur kekuasaan semacam negara bisa melampaui nalar sehat. Tak heran, bila hingga kini para pelaku masih tak ada rasa bersalah, karena negara pun tak sedikitpun merasa bersalah. Bila Aktor – aktor utama pembantaian massal 1965 masih berkuasa, dan kekuatannya belum tanggal. Saya pun setuju dengan salah satu teman saya yang langsung teringat dengan kata Pram seusai menonton Senyap “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana”.
Selain Adi Rukun, sosok lain yang demikian kuat meninggalkan kesan adala sosok ibu dari Adi Rukun yang luar biasa tangguh. Di usia setua itu, sepanjang usianya, ia menghadapi getir hidup. Tak sedikitpun saya melihat kesan pasrah di wajahnya. Kata-katanya lugas dan tegas. Kondisi ekonomi yang sulit, ditambah kondisi fisik suaminya yang sudah lumpuh ia hadapi dengan kuat. Adegan demi adegan tentang bagaimana ia mengurus suaminya selama 13 tahun menunjukkan kekuatannya. Saya jadi tidak heran, bila kemudian Adi Rukun jadi sosok yang berani. Sekali lagi, menemui para pelaku dan memulai pembicaraan dengan mereka bukan hal mudah.
Melihat sosok ibu ini, saya jadi berpikir rekonsiliasi tanpa penegakan keadilan atas nasibnya dan anaknya yang terbunuh juga korban peristiwa 1965 lainnya, tidak akan pernah cukup. Kedamaian tentu saja membutuhkan syarat yaitu keadilan. Singkat kata, tegakkan dulu kebenaran, baru kedamaian bisa terjadi dengan lebih lapang dan ringan. Rekonsiliasi rasanya tidak hanya diperlukan oleh korban dan keluarga korban tapi juga bangsa ini, bagi saya, teman-teman saya dan generasi sebelum maupun sesudah 1965. Apa dikata, kami mewarisi tragedi sejarah yang tak ringan, yang menguras energi baik pikiran, emosi maupun fisik. Sehingga, kami sebagai bagian dari perjalanan sejarah merasa punya beban tanggung jawab untuk memulai dialog dengan masa lalu, mengurainya dan berkeberanian lebih untuk meluruskannya.
Terakhir, terakhir sekali. Saya berharap, pintu penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965 bisa menemui titik terang. Dan semoga semakin terang seperti lensa kaca mata yang membuat penglihatan kita jadi terang benderang sehingga jelas duduk perkaranya dan keadilan bisa tegak setegak tegaknya. Pun, saya berharap semoga semakin banyak generasi – generasi muda mau terlibat lebih lagi untuk meluruskan sejarah, bicara soal kebenaran, bicara soal kerakyatan. Film ini, (benar – benar harapan terakhir), semoga bisa diikuti lebih banyak lagi film yang bicara kebenaran. Dari sanalah akan hadir semakin banyak lagi yang berani lebih bicara kebenaran.