Cipit sedang memandu nobar Norma Rae/dok.dev.marsinah.id
Cipit, anggota Perempuan Mahardhika Jakarta Utara yang menjadi MC dari agenda NOBARDIS (Nonton bareng dan diskusi) membuka acara dan menyampaikan perkenalan tentang Perempuan Mahardhika, bahwa organisasi Perempuan Mahardhika adalah organisasi yang memperjuangkan, kesetaraan dan demokrasi.
Film Norma Rae menceritakan proses panjang dan berliku untuk mendirikan serikat di pabriknya. Kehidupan dirinya sebagai buruh pabrik tekstil dimana ibunya juga bekerja di pabrik yang sama. Ibunya menjadi tuli karena setiap hari mendengar mesin pabrik yang bising, ayahnya juga bekerja di pabrik yang sama.
Film ini sendiri diangkat dari kisah nyata aktivis buruh perempuan bernama Crystal Le. Kisah hidupnya bisa sahabat marsinah simak di http://www.dev.marsinah.id/norma-rae-alias-crystal-lee-sutton-pejuang-buruh-perempuan-tak-kenal-takut/
Dalam film, diceritakan, Norma Rae kemudian bertemu dengan organiser serikat buruh tekstil Amerika, yang bernama Ruben. Ruben inilah yang kelak di kemudian hari menjadi kawan seperjuangan dalam serikat buruh.
Di pabrik, Ia dibilang paling besar mulut, namun demi membungkam keberaniannya, perusahaan menawari untuk naik pangkat, upah meningkat dan jam kerja turun.
Jabatan barunya itu membuat dia menekan target kepada ayahnya, ayahnya sangat kecewa dengan tindakan Norma Rae, demi tambahan uang, Norma Rae rela melakukan itu. Teman-temannya juga kecewa dan mendiamkannya, akhirnya demi persahabatan dia dengan teman-temannya, Norma Rae mundur dari jabatan itu.
Demi memperjuangkan keadilan di pabrik, ia menghadiri acara Serikat, menemui Ruben.
Suatu ketika Ruben mendatangi pabrik, melakukan sidag ke pabrik, melihat kondisi kerja dan Mading yang terpasang terlalu tinggi di dinding sehingga tidak bisa terbaca oleh buruh, atas situasi itu, akhirnya Mading diturunkan agar selevel dengan mata, karena pabrik berdiri lebih 10 tahun, mustinya kondisinya lebih baik.
Setelah melalui pertimbangan yang dalam, Norma Rae terpanggil menjadi anggota serikat buruh, bergabung dengan Ruben. Sekaligus siap untuk ditugaskan dalam kerja-kerja serikat.
Norma Rae sempat mengajukan peminjaman tempat pertemuan di Gereja tapi tidak boleh. Akhirnya rumahnya menjadi tempat pertemuan teman-teman buruh dari pabriknya.
Tak berhenti dalam tantangan, suaminya merasa diabaikan karena kesibukan Norma Rae, suaminya protes, terjadi pertengkaran dengan suaminya karena kesibukannya, anak tidak terawat, tidak ada masakan, cucian menumpuk, gosokan menumpuk, biaya telepon membengkak karena sering dipakai untuk menelpon kontak buruh.
Tantangan lain adalah serangan terhadap tubuh perempuannya, punya anak haram, berganti-ganti pasangan dan lain-lain. Namun Normarae tetap pada pendiriannya, yaitu berjuang melalui serikat.
Sebagai kawan Juang, Ruben juga menyampaikan pentingnya buku sebagai bacaan untuk menambah pengetahuan.
Suatu ketika ayahnya meninggal di tempat kerja, karena tidak diperbolehkan istirahat saat jam bekerja, padahal ayahnya dalam kondisi sakit. Peristiwa itu mengguncang jiwanya, sekaligus membuat Normarae semakin semangat untuk berjuang.
Sementara Manajemen tak pernah berhenti mencari siasat untuk menghentikan langkah Norma Rae.
Menegement berniat memecat dia karena melanggar ketertiban, menelpon di jam kerja. Menegementpun memanggil polisi.
Demi mempertahankan haknya, Norma Rae menggalang dukungan dengan penuh keberanian naik ke meja mesin produksi dengan memegang poster bertuliskan “UNION”. Keberaniannya itu diikuti dengan penghentian mesin oleh teman-temannya yang tengah di pabrik. Bising mesin seketika terhenti, semua mata menatap ke arah Norma Rae.
Melihat kondisi itu, Norma Rae terharu, dan penuh keberanian menantang menegement yang tetap dengan keputusannya untuk mem-PHK dirinya.
Akhirnya ia dibawa ke kantor polisi, dengan tuduhan berperilaku tidak tertib. Oleh kepolisian, ia dimasukkan dalam sel penjara, meskipun kemudian dilepaskan kembali, atas negosiasi Ruben kawan juangnya.
Keberanian yang juga dimiliki oleh Norma Rae adalah kejujurannya kepada anak-anaknya tentang siapa dirinya, siapa ayah dari anak-anaknya, dan kenapa ia mengambil langkah untuk berjuang di pabrik. Ia yang kemudian siap dengan konsekuensi PHK, kehilangan pekerjaan demi kondisi yang lebih baik di masa depan.
Dalam satu konferensi di pabriknya, dimana itu adalah ajang yang menentukan tentang keberlangsungan Serikat di pabriknya, terdapat 373 suara yang menentang adanya serikat, sementara 425 suara mendukung keberadaan serikat.
Artinya keberadaan serikat buruh harus diakui oleh manajemen. Sorak Sorai para buruh riuh menandakan kebahagiaan atas keberadaan serikat.
Begitulah selayaknya kita berjuang, atas diri kita sebagai buruh, sebagai perempuan.
(GM)