Atly Serita (berjilbab hitam) terlibat aksi -2013 di KBN Cakung
Melawan Karena Benar
Aku aktif sebagai pengurus tingkat RT/RW dan warga sering mengundang aku ikut diskusi dengan pejabat pemerintah tentang kehidupan warga atau masyarakat. Mulai dari tentang lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan warga. Aku senang karena dapat pembekalan dan dapat banyak ilmu. Itu membuat aku dekat dengan warga, pemuda karang taruna, tapi aku tidak melupakan kewajibanku kepada anak-anak.
Pekerjaan di RT/RW aku sambi dengan membuka catering di teras rumah, karena anak – anak mulai dewasa dan kebutuhan sekilahnya semakin besar. Honor dari RT/RW dan dari berjualan catering ternyata masih tidak cukup membiayai hidup ku dan ke tiga anak-anakku. Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan, padahal ini untuk pertama kalinya bekerja di pabrik.
Sebelumnya, ketika masih menikah, aku hanya tahu meminta gaji dari suami. Aku tidak pernah paham apa yang disebut dengan SP (Serikat Pekerja), Surat Peringatan, atau hal ikhwal lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan di pabrik. Di tempatku bekerja saat itu, upah kami dicicil. Batinku berontak, mana ada upah kok dicicil. Bersama 15 temanku aku melawan manajemen. Aku datangi manajemen di kantor dan kumaki dia. Aku mengancam bila gaji kami tidak segera dikeluarkan aku akan melapor ke pemerintah terkait. Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Akhirnya gaji kami yang tadinya hanya dibayarkan Rp 500.000,-kemudian dibayarkan penuh yakni sebesar Rp 1,4 juta. Namun, keesokan harinya, aku sudah tidak diperbolehkan bekerja oleh pihak perusahaan. Pikirku, bodo amat, yang penting upahku kemarin sudah dibayar penuh dan bisa untuk biaya anak-anak sekolah.
Seminggu lamanya, aku kemudian menganggur di rumah. Selama itu pula, aku melamar kerja di berbagai pabrik di KBN Cakung. Alhamdulilah, berkat doa anak-anak, aku diterima bekerja di PT Inkosindo. Menurutku yang belum mengenal serikat buruh, situasi kerja di PT. Inkosindo lebih enak karena upah yang lebih besar, teman-teman yang lebih menyenangkan, dan yang terpenting, upah tak pernah dicicil atau dibayarkan terlambat. Saat itu, aku dikontrak selama tiga bulan, dan diperpanjang lagi selama enam bulan.
Namun, menjelang akhir kontrakku yang enam bulan, aku mulai tidak betah. Hal itu dikarenakan, setiap pulang jam 16.00 WIB, aku dan teman-teman diminta tanda tangan absen pulang jam 18.00 WIB. Merasa ada sesuatu yang tak beres, aku pun bertanya pada pengawas, kenapa kami absen pulang jam 16.00 WIB padahal kami pulang jam 17.00 WIB atau 18.00 WIB. Jawab pengawas, kami sedang di “skors” karena gagal memenuhi target. Jawaban itu tak bisa memuaskan rasa penasaran di benakku. Apalagi jam kerja dari jam 16.00 WIB sampai 17.00 WIB atau 18.00 WIB tidak dibayarkan. Artinya ada upah kami yang dikorupsi perusahaan atau dicuri. Aku merasa sangat kesal, aku tidak suka kerja sosial untuk perusahaan, lebih baik kerja sosial untuk yang membutuhkan. Untuk apa beramal untuk pengusaha yang sudah kaya. Akhirnya, aku mulai melawan dan protes ke supervisor. Namun,teman-teman tidak berani, mereka takut. Alasannya cukup manusiawi, seperti takut diPHK, susah mendapat pekerjaan, usia yang sudah tidak lagi muda. Tapi aku tidak peduli dengan itu, rasanya mau melawan saja.
Bagaimana tidak, namanya juga diperlakukan tidak adil, wajar kalau marah dan melawan. Sejak itu, aku sering sekali dipindah-pindah dari satu line ke line lain seperti bola sepak, dioper sana, dioper sini. Emosiku pun memuncak sampai ke ubun-ubun, selepas terima upah di Tgl 7, aku meluapkan amarahku ke pengawas. Alhasil aku dikeluarkan lagi. Pikirku, bodo amat, yang penting upah sudah di tangan dan bisa mengirim uang buat anak-anakku.
Bergelut Dengan Cobaan Hidup
Setelahnya, aku kembali menganggur. Kali ini lebih lama. Bila sebelumnya aku menganggur selama seminggu, kini aku menganggur selama dua bulan. Bukan karena aku tidak mendapat pekerjaan, tapi karena anakku yang ke dua sakit demam berdarah dan harus masuk Rumah Sakit.
Masa itu adalah masa yang amat sulit buatku, karena aku sedang tidak bekerja sehingga tidak ada penghasilan sementara anakku bertaruh nyawa di Ruma Sakit Islam Pusat. Pernah kemudian aku terlilit utang untuk biaya sekolah anakku yang sulung di SMIP (Sekolah Menengah Industri Pariwisata). Aku hamper putus asa, tidak sanggup membiayai sekolah anak-anak. Bagiku utang dengan jumlah jutaan terlalu besar, karena itu adalah hal paling pertama yang kualami. Betapa sedih bilamana anak disuruh pulang karena nunggak bayar sekolah selama berbulan-bulan. Anak pertamaku bahkan ingin berhenti sekolah karena malu sering ditegur Guru saat upacara bendera. Akhirnya aku datangi sekolah anak pertamaku dan memohon keringanan biaya sekolah kepada Kepala Sekolah. Alhamdulilah, Kepala Sekolah mengabulkan permohonanku dan memintaku membuat surat keterangan tidak mampu. Sejak itu, anakku mendapatkan keringanan biaya sekolah dan bebanku pun berkurang. Di samping, adik-adikku juga membantu biaya sekolah anak-anakku.
Seusai anak pertamaku selesai sekolah, kini giliran anak ke dua ku yang melanjutkan sekolah ke tingkat SMU. Maka, biaya yang dibutuhkan pun bertambah. Rintangan yang lebih sulit pun terbentang di depan mata. Aku malu dengan adik-adikku dan ipar-iparku karena selalu meminta bantuan mereka untuk biaya sekolah anak-anak. Adik iparku yang di Sukabumi akhirnya bersedia membiayai sekolah anakku yang ke dua di pesantren.
Oleh Atly Serita