Buruh perempuan, tonggak demokrasi, pejuang upah, lambang solidaritas buruh, korban kekerasan seksual, korban militer ORBA, rakyat biasa yang luar biasa, kasusnya buntu, hilang, dibunuh dan dibuang, dia adalah MARSINAH.
Marsinah, nama yang sederhana. Cerminan dari sekian juta perempuan desa yang merantau ke kota mencari penghasilan sebagai bakti kepada orang tua. Karena upahnya kurang, Marsinah mencari usaha sampingan sama dengan teman-temannya yang lain. Alih alih memberi bakti pada orang tua, jiwa raga bekerja pun tetap tak cukup untuk hidup sehari – hari di kota pahlawan.
Marsinah bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) yang memproduksi arloji. Namun pengusaha belum memberlakukan upah sebesar RP 2.250, sesuai dengan peraturan pemerintah setempat waktu itu. Marsinah dan kawan-kawannya berjuang menuntut upah, cuti haid, cuti hamil, uang makan, uang transport dan pembubaran SPSI sebagai serikat yang justeru dikangkangi pengusaha.
Di kota pahlawan, Marsinah mulai banyak berpikir dan bertanya tentang situasinya dan teman-temannya. Ada yang aneh, ada yang janggal, bila terus bekerja tapi tak kunjung sejahtera. Muncullah gagasan membangun SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Kala itu, tidak ada serikat yang lain, yang ada hanya SPSI. Belum pun terbentuk, Marsinah dimutasi ke Sidoarjo. Bukan karena SPSInya, Marsinah dimutasi karena ia kritis, karena ia mempertanyakan apa yang tidak boleh dipertanyakan.
Di sidoarjo, sudah ada SPSI, tapi Marsinah bukan bagian dari pengurus. Sebagaimana buruh pada umumnya, Marsinah memilih konsentrasi bekerja agar penghasilan bertambah, usaha sampingan pun tetap berjalan. Suatu hari, SPSI di tempatnya bekerja PT CPS melakukan mogok kerja menuntut upah sesuai ketetapan gubernur. Marsinah ikut mogok, tapi di hari ke dua, ia memilih masuk kerja.
Namun Marsinah Gusar, 13 tim perwakilan perundingan, pengurus SPSI, dibawa tentara ke Kodim. Dipaksa tanda tangan kesepakatan yang tidak menguntungkan buruh. Padahal, pemogokan PT CPS tempat ia bekerja terpaksa dilakukan karena ada banyak ketidakadilan terjadi terhadap buruh.
Marsinah marah, ia mendatangi Kodim dan melabrak tentara yang menculik kawan-kawannya. Bagaimana mungkin, perundingan digelar di Kodim. Sungguh bukan tempat yang netral untuk melakukan perundingan. Tentara mengintervensi dunia perburuhan dengan gaya militeristik, tidak demokratis dan sarat intimidasi.
Ia membuat selebaran mengajak teman- temannya melakukan perlawanan.
Di dalam gelap, Marsinah marah. Namun ia tak kembali.
Ia ditemukan tewas di sebuah gubuk di desa Jegong pada
8 Mei 1993, 29 tahun silam. Hingga kini kasusnya dibuat buntu, namun Pelaku bebas berkeliaran, Marsinah adalah obor.
Marsinah adalah Pejuang upah. Bagi Marsinah dan kawan-kawannya, upah adalah urat nadi kaum buruh. Upah menentukan tingkat kesejahteraan kaum buruh. Karena itulah, perjuangan atas upah dilakukan, demi meningkatkan harga diri dan martabat sebagai buruh yang layak diperlakukan secara manusiawi. Karena tanpa tangan-tangan trampil buruh, maka mesin tetap rongsokan yang tidak berfungsi apa-apa.
Demi memperjuangkan martabat kemanusiaan sebagai buruh, Marsinah menjadi korban kekuasaan orde baru. Mayat Marsinah yang diotopsi oleh ahli forensik, telah menunjukkan fakta bahwa Marsinah mati dengan kondisi luka di sekujur tubuh. Kemaluannya hancur, tulang panggulnya patah. Marsinah diperkosa. Kekerasan Seksual yang dilakukan terhadap Marsinah, bukan tanpa pesan. Orde baru ingin menyampaikan bahwa perempuan tidak boleh melawan, perempuan tidak layak memimpin pemogokan. Perempuan harus tunduk terhadap kekuasaan.
Keterlibatan kodim dalam urusan pemogokan buruh PT CPS, menunjukkan watak dan karakter anti demokrasi. Gaya militeristik orde baru, tidak memberikan ruang bagi siapapun untuk maju dan berkembang. Daya kritis rakyat dianggap ancaman bagi kekuasaan orde baru. Karakter militeristik inilah yang terus diterapkan hingga berganti-ganti kekuasaan, termasuk rezim saat ini.
Terbunuhnya Marsinah adalah bukti Kasus Pelanggaran HAM masa lalu. Bukti bahwa hak hidup tidak diakui dengan layak di bumi Indonesia. Karena siapapun yang mempunyai keberanian melawan kekuasaan, ia akan berhadapan dengan moncong senjata.
Pengorbanan Marsinah tidak boleh dan tidak akan sia-sia. Sebagaimana keyakinan bahwa mati satu tumbuh seribu. Marsinah-Marsinah masa kini telah lahir, bermunculan, mewarisi semangat Marsinah yang anti terhadap ketidakadilan.
Pengorbanan Marsinah menjadi obor yang terus menyala-nyala dalam arena pertarungan melawan sistem kapitalisme dan ketidaksetaraan.
Marsinah layak menjadi icon pejuang buruh dan negara harus mengakui pengorbanan Marsinah sebagai tanda untuk tidak ada keberulangan. Tidak boleh lagi ada pembunuhan dengan dalih menjaga stabilitas, tidak boleh lagi ada perampasan hak hidup bagi setiap warga negara. Karenanya, Marsinah layak menjadi pahlawan rakyat. Pengakuan negara bahwa Marsinah sebagai pahlawan setimpal dengan pengorbanan yang dilakukan Marsinah untuk generasi bangsa.
Marsinah – Pahlawan Rakyat!!