Tampak seorang perempuan masuk di sebuah kamar berukuran 2 X 3, wajahnya kelihatan serius, kadang tampak bingung. Namun yang pasti ia sedang berpikir. Diletakkannya tasnya di atas kasur. Di kamarnya yang kecil itu, terdapat lemari, kaca yang tergantung di dinding, bersebelahan dengan kalender. Ada satu buah meja, yang atasnya terdapat rice cooker kecil dengan rak kecil di sebelahnya berisi gelas serta piring. Sementara dispenser air ada di sebelahnya lagi. Di kamarnya ya hanya ada satu meja itu.
Setelah meletakkan tasnya di atas kasur, ia mengambil gelas dan mengisi air, namun sayang air hanya beberapa tetes keluar dari galonnya. Ternyata air galonnya habis, sementara waktu sudah malam, tepat pukul 9, toko galon sudah tutup. Ah ia lupa pesan tadi pagi. Tapi betapa malasnya harus keluar hanya sekedar beli satu botol air, biar saja malam ini ia menahan haus, toh sudah biasa.
Ia lalu duduk di atas kasurnya yang sudah mulai menipis, dipeluknya bantal sambil berpikir. Ia buka tasnya dan mengambil sebuah buku tulis dan sebuah pulpen. Sambil memutar mutar pulpen dengan jari jemarinya, sesekali ia mengetuk – ngetuk jidatnya dengan pulpen. Kemudian dicobanya menulis di halaman pertama buku tulisnya. Mulailah ia menulis namun ia berhenti lagi dan bergumam.
“Apa yang menarik dari puisiku ya, sampai Inem bilang – bilang ke teman-teman kalau aku pandai berpuisi? Setahuku aku hanya menulis apa yang kumau. Ya, apa yang kumau”
Kembali ia menulis hingga selesai paragraph pertama, namun ia sobek selembar kertas itu, ia remas remas dan buang begitu saja di lantai.
“Apa ya yang tepat buat bos, pas dengan mau si bos” Sambil mencoba berpikir keras, dahinya berkerut kerut. Biasanya ia tak serisau ini.
“Bagaimana kalau tulisanku ga sesuai mau si bos, gimana ya? Ah, ntar aku diomelin lagi. Ulah si Inem nih, ngapain juga harus bilang bilang ke bos aku pandai berpuisi. Emang tulisanku itu puisi? Coba aku tulis lagi.”
Ia pun mencoba menulis lagi, satu goresan pertama, lalu ke dua dan seterusnya hingga penuh satu lembar kertas.
“Ah, nggak ah. Bos memang baik, pengusaha memang baik. Coba, setiap hari raya Idul Fitri, bos bikin Halal Bi Halal, katanya, kita harus bersyukur karena diberi kehidupan, diberi pekerjaan, ada upahnya. Bisa buat belanja makan buat anak, tambah tambah upah suami…”
Ia terdiam cukup lama,
“Ah, bukan, bukan begini. Bukan begini isinya.” Disobeknya kertas yang penuh goresan tangannya itu.
Kali ini ia bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke kiri dan ke kanan sambil mengetuk ngetuk pulpen ke jidatnya.
“Kenapa jadi sulit menulis ya. Mestinya tadi pagi aku ga menerima tugas semacam ini. Tapi kalau tidak diterima, ntar bos marah. Soalnya puisi ini mau dibacakan di ulang tahun perusahaan. Memang perusahaan baik sih, setiap ulang tahun, dibuatnya acara di pabrik. Biasanya sih dangdutan. Dan tak lupa kami harus bersyukur katanya.”
“Ah, Inem sih. Inem nih. Pagi –pagi sekali tadi itu sebelum bos (pengawas) nyamper ke meja jahit ku, Inem bilang. “Heh Siti, kemarin aku bilang sama bos kita (pengawas) kalau kau itu pinter banget nulis puisi. Aku suka lo sama puisi kamu, terutama yang satu itu. Tapi lupa aku sama judulnya”
“Tadi pagi sih, aku seneng seneng saja dapat tugas itu. Bayangkan, aku tukang jahit diminta bikin puisi buat bos, buat ulang tahun perusahaan. Tapi ya, aku takut lho ya, kalau ga jadi puisinya gimana”
Siti duduk lagi, kali ini ia lanjutkan lagi menulis. Satu gores, dua gores, satu kalimat, dua kalimat. Sret sret sret.. buang lagi,,,, sret sret… buang lagi, buang lagi. Tak terasa setumpukan kertas yang sudah remuk redam terkumpul di pojokan kamarnya. Wajahnya pun pucat.
“Aduh gimana ini” Serunya sambil meremas remas tangannya, jemarinya berkeringat. Takut. Lalu terngiang lagi suara Inem yang bilang suka sama puisinya, yang satu itu, yang judulnya itu. Iya yang itu.
“Ah, sepertinya aku keluar saja dulu beli minum, kering tenggorokan”
Sitipun keluar kamar buat beli air sebotol.
★★★
Pagi ini, aku berangkat sangat pagi
Kata bos, aku harus berangkat sangat pagi
Kata bos, targetnya naik lagi dan harus ekspor
Kata bos, nanti aku dapat bonus
Bonus, kata sakral buat kami
Sakral karena jarang sekali kami punya
Bila punya maka bak hujan turun di musim kering
“Ah, iya. Bonus. Itu kebaikan pengusaha yang bisa kutulis. Untung ya dapat puisi ini” Wajah Siti sumringah. Idenya membongkar puisi puisi lamanya ternyata membuat muncul ide baru soal kebaikan pengusaha.
“namanya juga ulang tahun perusahaan, ya kudu nulis yang baik baik soal perusahaan…” tiba tiba raut wajahnya berkerut lagi, tampak ia berpikir.
“Bonus. Kuingat –ingat bonusnya,berapa besarnya ya? Oooo aku ingat Rp 25 ribu, tahun berapa ya… ya ya tahun lalu, 2013. Rp 25 ribu itu langsung ludes buat naik ojek karena pulang larut gara gara lembur. Langsung ludes. Bete banget, itu tuh gara – gara pacarku ga jemput ge jemput, ujung – ujungnya ga dateng. Dan ga pernah dateng lagi… ga pernah”
“Pacarku, jadi inget sama abang. Abang” Dia lalu bongkar bongkar lagi kardus berisi lembaran puisinya. Ia baca, baca lagi.
“Aku ingat pernah punya puisi soal abang. Kau tau, matanya indah, apalagi kalau sudah menatap. Seperti dibawa ke bulan. Tau kan bulan. Bulan. Bulan.
“Aku benci pabrik, aku benci pabrik” sambil meremas jemari tangannya,
“malam, pabrik, abang”
“Puisi ini, tak mau lagi aku membacanya. Aku tak mau” sambil diremas lalu dibuang, tapi ia ambil lagi dan ia baca perlahan.
Malam, kau indah meski tanpa terang
Aku mencintai malam
Malam, tempat ku beradu melepas penat
Bukankah indah malam itu, dibanding pagi atau siang
Malam, waktu terakhir kita berhenti terpaksa
Malam, waktu terakhir kita berhenti berlelah lelah
Malam, waktu terakhir kita berhenti berkata “Iya”
Tapi malam kini tak lagi indah
Ia tak seindah dulu lagi
Malam bukan lagi tempat ku beradu melepas penat
Malam bukan lagi waktu terakhir berhenti terpaksa
Bukan lagi waktu terakhir berucap “iya”
Malam kelam, bersama kekasih
Tubuh penat penuh bilur luka
Aku terluka, dan malam tak lagi indah
Tidak lagi indah.
Air mata menetes, luka baru selalu hadir tiap hari. Andai ia tak membuka lagi puisi puisinya.
“Ini puisi biasa dari gadis biasa seperti aku. Menurutku biasa, hanya ungkapan rasa. Tak pernah kubaca lagi, hanya lega yang ada selepas menulis. Kau tau bagaimana leganya. Rasanya dadamu kosong, lapang. Tapi kemudian penat lagi, sakit lagi, menulis lagi. Tak habis habis, tak habis habis”
“Aaaaarrrh, abang, abang. Dia malam ku, tiap hari menjemputku sepulang kerja. Tapi malam itu, iya malam itu tak lagi indah. Aku benci malam, aku benci malam. Dia hempaskan tubuhku begitu saja, dia telanjangi aku, bukan lagi dengan matanya, bukan lagi dengan matanya. Mata itu buas, buas. Cengkraman tangannya kuat sekali, dan tubuh ini tak bisa bergerak. Hingga ia merengkuh, tubuhku, menelanjangi seluruh tubuhku. Tangan itu, tangan yang kekar itu, demikian kasar. Tubuhku sakit, vaginaku sakit, tubuhku melolong, berteriak tapi suara tak keluar dari mulutku. Aku benci malam, karena ia tak menyahut teriakanku. Sepi, sepi. Aku benci pabrik, aku benci malam. Malam itu, di lorong samping pabrik itu, abang, ya abang menghujam tubuhku tanpa menyisakan sedikit saja harga diriku. Harga diri”
“aku benci malam, aku benci pabrik, aku benci abang”
“Pengecut itu tak pernah muncul lagi, di setiap malam malam ku. Ia tak pernah hadir lagi dan aku, aku, hancur.
”Dan matanya, matanya sama dengan mata lelaki itu. Sama. Aku juga ada puisinya, aku ingat, aku ingat. Inem bilang itu yang paling bagus” Siti membongkar bongkar lagi kardus itu, berkali kali ia tumpahkan seluruh isinya. Semua kertas berserakan di lantai. Sementara alarm jam tiba tiba berbunyi, jam menunjuk jam 11 malam.
“Ini dia, ini dia puisinya. Kata Inem, puisi ini luar biasa. Luar biasa katanya. Iya loh luar biasa. Menulisnya juga luar biasa.”
Mata di balik kaca mata itu terus mengikuti ku
Kala aku duduk menjahit
Kala aku ke kamar mandi,
Kala aku membungkuk
Bila sedang menjahit,
Mata di balik kaca mata itu mengikuti tanganku
Lalu ia turun ke bagian payudaraku
Dan kaki ku
Mata dibalik kaca mata itu terus mengikutiku,
Kala aku sedang ke kamar mandi,
Ia ikuti punggung dan pantatku,
Mata di balik kaca mata itu terus mengikuti ku,
Mata di balik kaca mata itu terus menelanjangiku,
Dan malam itu, bukan hanya mata lagi yang menelanjangiku.
Siti terus mengacak-acak kertas puisi yang sudah berserakan. Dibacanya habis habis hingga tak bersisa.
“Ada tentang pabrik, ada tentang malam, ada tentang wajah-wajah menghamba yang suram, wajah teman-temanku. Terus suram hingga malam menyembunyikan kesuramannya. Ada Putri yang dirayu bos manajer supaya mau berkencan bila sudi jadi buruh tetap. Ada Parti yang tak kuasa tanggung aib setelah disetubuhi dengan paksa oleh calo kerja. Ada Rogaya, yang diseret masuk ke ruang manajemen dan dicabuli oleh pengawas. Wajah – wajah itu menyimpan marah, sampai sampai lupa cara tersenyum. Kami butuh kerja, kalau kami mau berhenti sampai di sini saja, ya kami harus keluar kerja. Emang ada cara lain?”
Kini, dalam sunyi, Siti membereskan kertas kertas yang berserakan, ia luruskan lagi yang sudah diremasnya, ia jadikan tumpukan serapi mungkin.
“harus rapi” gumamnya sambil meletakkan tumpukan kertas itu ke dalam kardus. Lalu berbaring.
★★★
Kamar tampak sepi, kasur berantakan, pulpen dan buku masih ada di kasur. Namun kardus sudah tak ada. Pintu pun terbuka, tampak Siti masuk ke dalam kamar, mengambil gelas lalu mengisinya penuh dengan air dan meminumnya, tandas.
“Kau tau rasa marah itu. Pasti tau. Marah itu seolah seluruh isi kepalamu membuncah dan teriakan meledak keluar dari mulutmu bersamaan dengan isi kepalamu. Isi kepalaku keluar, teriakanku meledak. Tau di mana, di lembaran kertas itu. Tiap bos memintaku berangkat pagi pagi sekali, bekerja lebih awal tanpa upah. Bonus? Ada sih. Ada. Tapi hanya secuil, sisanya lembur saja tak dibayar. Teriakan ku meledak di lembaran kertas itu, setiap pengawas cabul itu menatapku dengan matanya, menelanjangiku. Dan tiba suatu malam bukan hanya mata yang menelanjangiku. Arrrrgh, aku marah. Lalu kutulis lagi, kutulis lagi. Tentang abang yang menghujam luka pada tubuhku, pada bos manajer yang menggodai teman – temanku. Marah, marah pada teman-teman, pada aku sendiri yang diam. Kami diam, sambil bekerja dengan baik. Seratus piece, dua ratus piece, tiga ratus piece”
“Tapi hari ini aku tidak diam. Kubuka mata lebar lebar, aku tidak sendirian. Hari ini adalah hari ulang tahun perusahaanku. Dua minggu aku berpikir akhirnya kubaca saja puisi yang ada. Puisi palling bagus tentang pabrik, tentang malam. Isi kepalaku keluar, marah itu membuncah begitu saja. Tapi kali ini lain, di hadapan ribuan mata kulantangkan marahku. Andai kau lihat mata – mata segelintir bos bos itu. Mukanya merah mungkin sama merahnya dengan mukaku.”
“Malam, indah sekali malam ini” Siti berucap sambil membenamkan kepalanya di atas bantal. Kali ini ia peluk tubuhnya erat dan hangat.