Pada suatu hari, anak pertamaku berkata padaku,
“Mama uang kos dan SPP bulan Mei – Juni belum bayar”
“Iya kakak sayang”
Selama pandemi, jujur tak terpikirkan lagi oleh ku mengenai pembayaran kos dan SPP. Yang ada dalam pikiranku, bagaimana setiap hari kakak bisa belajar online dan membelikan kuota setiap minggu. Sudah hampir dua bulan lebih kakak belajar di rumah akibat adanya pandemi corona.
Setiap hari mulai jam 19.30 WIB, kakak sudah standby di depan HP untuk menerima pelajaran dari sekolahnya. Tak ayal, kuota internetpun harus kami belikan, bahkan lebih besar dari uang jajan yang biasa kami berikan per hari.
Aku adalah ibu rumah tangga yang telah ter PHK 1 tahun lalu. Keseharianku sekarang aktif di organisasi, sementara suamiku bekerja di sebuah perusahaan sebagai buruh kontrak.
Kami memiliki seorang putri yang biasa kami pangil kakak Nisa. Kakak bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kelas sebelas. Kakak mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter.
Sebagai orang tua kami sangat lah senang dan mendukung cita-cita kakak. Tapi terkadang, semangat kami kendor saat melihat kenyataan gaji kami sebagai buruh rasanya tak mungkin terjangkau. Namun, kami tetap optimis, berharap pemerintah bisa menaikan upah untuk kesejahteraan anak buruh dan pendidikan murah
Satu hari kemudian kakak mengirim foto kartu pembayaran SPP dan ternyata pembayaran masih sama seperti biasa saat belajar normal.
Di minggu ke dua menjelang penilayaan akhir tahun online, kakak berkata padaku,
“Mama kapan kakak bayar SPP dan kos?”
“Iya kakak, nanti sore mama transfer”
Di dalam hati, aku berharap dan berpikir, alangkah baiknya bila pihak sekolah memberi remisi/diskon pembayaran SPP setidaknya 25 persen. Hitung – hitung sebagai pengganti kuota.
Pada akhirnya, kami sebagai orang tua harus terima belajar di rumah yang jauh lebih mahal. Kami harus jalani demi cita – cita dan kesehatan putri kami.
Oleh Kasiyati