Eyang Lestari (tengah). foto diambil dari http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/29/ignorance-helps-excuse-mass-killings.html
Pejuang Perempuan Tangguh Itu Akhirnya Tiada
Mugiyanto, seorang aktivis HAM sekaligus korban penculikan 1998 menuliskan untaian duka melalui akun Facebooknya, “Dia meninggalkan kami secara fisik. Tapi semangat dan warisan dalam perjuangan untuk kebenaran, keadilan, martabat dan kesejahteraan tinggal tetap. R.I.P. Ibu Lestari.” Ya, eyang Lestari, demikian ia kerap disapa menghembuskan nafas terakhirnya di Panti Waluyo Sejati Abadi Jl Kramat V nomor 1C, Jakarta Pusat, pada Minggu (28/12) sekitar pukul 18.00 Wib di usia 83 tahun. Usia yang cukup panjang untuk mengambil makna hidup sebagai manusia, terlebih sebagai korban tragedi 1965.
Di usia senjanya, ingatan Lestari masih tajam sehingga cerita hidupnya pun masih bisa mengalir deras dari bibirnya. “Mbah dianggap pemberontak oleh Soeharto . Dianggap mau makar. Padahal seumur hidup mbah tak pernah angkat senjata. Bagaimana bisa makar?” Begini kisah hidupnya
Aktif Berorganisasi Sejak Belia
Lestari di masa muda, tepatnya 20 tahun, adalah anggota sebuah organisasi perempuan besar di era Soekarno. Nama organisasi itu adalah Gerakan Wanita Indonesia, disingkat Gerwani di kabupaten Bojonegoro, Jawa TImur. Adalah kebanggaan waktu itu bila menjadi anggota Gerwani. Maka Lestari dengan semangat mengikuti aktivitas Gerwani, bahkan karena prestasinya ia sempat menjadi Ketua Cabang Bojonegoro dan menjadi pengurus tingkat provinsi di Surabaya, Jawa Timur. Di kota pahlawan ini pula ia jatuh cinta dan menikah dengan Suwandi, Ketua Komite Daerah Besar Partai Komunis Indonesia.
Masih lekat dalam ingatan Lestari, kala itu ia sangat senang berjuang di Gerwani, semua program Gerwani ia perjuangkan dengan tulus seperti berjuang untuk buruh dan petani, memberikan pendidikan politik bagi perempuan, memperjuangkan Undang Undang Perkawinan, bahkan mendiirkan taman kanak-kanak di setiap kecamatan yang diberi nama TK Melati. Sambutan rakyat atas berdirinya TK Melati pun sangat bagus.
Jelang tahun 1960an, hubungan PKI dan Gerwani semakin dekat. Tak heran bila Gerwani mendukung kebijakan politik PKI. PKI bahkan memberikan sisa suaranya untuk Gerwani sehingga Gerwani punya kursi di dalam parlemen. Memang, banyak juga anggota Gerwani yang adalah juga anggota PKI.
Tragedi September, Awal Perjuangan Panjang
September ceria, lagu itu disenandungkan oleh biduan cantik Vina Panduwinata. Namun, September sebenarnya menyimpan kegalauan sejarah atas petaka September 1965. Jutaan orang dibantai tanpa proses pengadilan, keluarganya dikucilkan, distigma tanpa ada yang tahu kebenaran sesungguhnya. Lestari hanyalah satu dari sekian juta korban yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses hukum yang adil dan setara. Lestari masih ingat betul ketika tiba-tiba semuanya berbalik 180 derajat. Mayoritas anggota PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, dan semua organisasi yang dekat dengan PKI ditangkap dan dibunuh, sedikit lebih beruntung, dipenjara. Itupun bisa tewas dalam tahanan karena lingkungan yang teramat buruk sehingga rentan penyakit. “Padahal kami tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Suami saya masuk daftar orang yang paling banyak dicari. Dia kan orang PKI nomor satu di Jawa Timur,” ucap Lestari suatu saat kepada media.
Pelarian pertama Lestari terjadi saat tiba – tiba seorang pemuda datang ke rumah membawa pesan dari suaminya bahwa ia harus segera pergi sejauh mungkin dari rumah. Lestari tentu tak paham kenapa suaminya mendadak memintanya pergi, namun saat itu Lestari berpikir pastilah ada sesuatu hal yang terjadi sehingga suami memintanya demikian. Benar saja, seluruh anggota PKI dan organisasi yang dekat dengan partai itu diburu.
Sejak saat itu, Lestari hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menghindari kejaran tentara dan massa anti PKI. Dalam pelariannya, ia hanya bisa membawa anak perempuannya yang baru berusia 3,5 tahun. Sementara 3 anak lainnya dibawa oleh pekerja rumah tangganya ke kota Malang, kampung halaman Lestari, sebelum kemudian dititipkan ke neneknya di Madiun. Saudaranya pun yang merupakan Lurah Nganjuk, Jawa Timur tak luput dari pembantaian. Hanya karena label PKI. Setelah beberapa lama bersembunyi di Surabaya, Lestari dijemput seorang utusan suaminya pada tahun 1966 menuju Blitar Selatan. Di sinilah ia kembali berkumpul dengan keluarga dan mengandung anak ke lima. Namun, Lestari terpaksa menyerahkan anak bungsunya itu ke pasangan suami istri yang belum punya anak. Ia mengisahkan Blitar kala itu masih sangat terbelakang dengan banyak gua dan hutan yang layak untuk bersembunyi. Sayang, kemudian persembunyian tersebut ketahuan mana kala Tentara menggelar operasi Trisula di Blitar Selatan. Lestari beserta suami ikut tertangkap dalam operasi gabungan ini pada tahun 1968.masyarakat sekitar menyebut operasi gabungan ini kinepung wakul binoyo mangap, kabarnya seekor semutpun sulit lolos dalam operasi ini.
Sesaat sebelum tertangkap di Blitar Selatan, Lestari dan beberapa kawannya sempat menyingkir lebih ke selatan guna menghindari kejaran tentara. Kala mentari pagi masih sedikit malu menampakkan rupanya, mereka diam – diam meninggalkan persembunyian. “Pokoknya manut, waktu itu kami tiga orang tapi bu Warsini (ketua Gerwani Tuban) tidak bisa jalan cepat,” ungkapnya. Pelarian kali ini lebih banyak tantangan karena jalannya yang masih terjal dan berkarang-karang. Perjalanan itu bahkan sudah tercium oleh tentara yang sudah menanti di ketinggian tebing. Saat Lestari sudah sampai di mulut gua berpenghuni enam hingga delapan orang, tentara yang sudah mengintai dari ketinggian tebing segera menembakkan senjata api ke arah mereka. Dari tembakan tersebut, salah satu anggota PKI bernama Sunaryo jadi korban. Akhirnya, pelarian Lestari, suami beserta kawan-kawannya berakhir sudah dan rumah baru berupa penjara sudah menanti. Namun, beberapa kawan yang tahu medan berhasil lolos.
Lestari kemudian dibawa ke Lodaya, Markas Komando Operasi Trisula di Blitar. Tak berapa lama, ia beserta tahanan lain dibawa ke LP Wanita Malang. Tanpa pernah diadili, Lestari ditahan dan selama 11 tahun ia terkurung di sana dan baru dibebaskan pada tahun 1979. Sementara sang suami meninggal dunia pada tahun 1984 di dalam penjara akibat sakit. Sebelumnya, suaminya diadili dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia ditahan di Sampang dan Lestari pun hanya bertemu dengan suaminya sebanyak dua kali.
Bebas Tapi Tidak Merdeka
Bebas dari tahanan bukan berarti kehidupan Lestari menjadi bebas selayaknya manusia merdeka. Menyandang status eks tahanan politik yang dicantumkan dalam KTP, ia ditolak di mana-mana. Tersingkir dan terbuang. KTP bertanda ET artinya tak bisa mendapat pekerjaan layak, anakpun bisa kena getahnya. Akibatnya Lestari kehilangan anak serta keluarganya. Kembali, ia hidup berpindah-pindah. Namun, ia berpegang teguh pada prinsip mau hidup mandiri dan tak mau merepotkan kerabat. Karenanya ia memilih hidup mandiri di Banyuurip Surabaya. Pekerjaannya kala itu adalah menjadi pengasuh bayi yang ia geluti selama 12 tahun. Sampai kemudian seorang kawan lama datang menemuinya dan berucap “Dik Lestari, kowe ingin berjuang apa tidak?”. Sejak itu, ia pergi ke Jakarta, bersama kawan-kawannya yang lain memperjuangkan keadilan bagi korban 1965.
Baru kemudian pada tahun 2004, ia menetap di sebuah Panti Jompo bernama Panti Waluya Sejati Abadi yang terletak di Jl. Kramat V, No. 1 C, Jakarta Pusat. Almarhum Gusdur, presiden ke 4 Indonesia meresmikan panti jompo tersebut pada tahun 2004. Hubungan penghuni Panti Waluyo dengan masyarakat sekitar pun baik. Pernah suatu saat ketika Lestari tampil di televisi, esoknya satu pasar di Kramat Raya riuh dengan canda dan sapaan. “Weeeii, si mbah kemarin masuk TV,” kata warga.
Lestari hidup tenang hingga ajal menjemput. Puluhan tahun disiksa Orde Baru membuatnya teguh dan terus menolak bahwa ia tidak makar.
Sumber tulisan:
http://www.merdeka.com/peristiwa/eyang-lestari-bekas-tapol-1965-berpulang.html
http://skalanews.com/berita/detail/124648/Berclok-dari-Surabaya-Blitar-Hingga-Jakarta