Search
Close this search box.

Buruh Perempuan Menjadi Kepala Rumah Tangga

Namaku Maria, usia 35 tahun, lahir di Bogor. Aku mempunyai empat orang anak perempuan. Setelah ditinggal meninggal suami, aku harus menjadi kepala rumah tangga, pencari nafkah utama.

Azan subuh di Masjid berkumandang, suara ayam berkokok dan hembusan angin di pagi hari serasa bersahutan membangunkan tidurku. Dengan mata masih mengantuk, aku membangunkan anakku untuk mandi karena harus sekolah. Setelah mereka selesai mandi, lalu aku pun mandi dan bersiap – siap pergi kerja.

Aku berangkat dari rumah jam 06:10 WIB dengan membawa anak bungsuku, lewat belakang rumah menuju tempat yang ‘momong’, lalu melanjutkan perjalananku menuju KBN (Kawasan Berikat Nusantara) Cakung, tempat kerjaku.

Jam 07:20 WIB, bel pabrik berbunyi, aku baru sampai di pintu pagar pabrik. Suara peluit security berbunyi lancang dan berteriak – teriak supaya kami cepat masuk. Aku lari tergesa – gesa, lalu duduk di tempat mesin jahit obras yang biasa kupakai tiap hari.

Dengan nafas yang masih ngos – ngosan karena berlari kesiangan, aku atur nafasku berlahan – lahan. Tiba – tiba, suara teriakan dari pengawas mengagetkanku. “Kenapa harus kesiangan tiap hari!”. Dia membentakku sekuat tenaga, aku hanya bisa menunduk dan diam. Ingin rasanya membantah, menjawab, melawan tapi rasa ingin itu kalah dengan rasa takut akan dihabisi masa kontrak kerjaku. Karena aku kepala rumah tangga, pencari nafkah utama.

Jam 17:30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku merapikan pekerjaanku yang belum selesai, lalu berjalan menuju mesin absen. Letih rasanya kerja hari ini. Terasa capek sekali. Berjalan menelusuri jalan setapak dari pabrik menuju rumahku. Kebetulan rumahku tidak jauh dengan kawasan KBN. Rumahku adalah ruang kamar 3 x 6 meter, dengan harga Rp 450.000 per bulan. Di tengah perjalanan, aku mampir ke warung sayuran, membeli sayur, ikan, kerupuk untuk aku masak sepulang kerja, sajian makan malam aku beserta anak – anak.

Tidak mudah menjadi kepala rumah tangga, pencari nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Terkadang, aku iri kepada lelaki kepala rumah tangga, hanya punya tugas mencari nafkah saja, tapi aku, buruh perempuan kepala rumah tangga ini, selain mencari nafkah utama, harus sekaligus mengurus pekerjaan – pekerjaan rumah juga.

Meski demikian, aku bangga menjadi buruh perempuan kepala rumah tangga.

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

PUNDI MARSINAH

Bagi yang cinta demokrasi dan HAM, yuk sumbangkan uang kita di PUNDI MARSINAH Facebook Comments Box

Ga Kapok, Aku Tetap Mogok Nasional

Ari Widiastari Pada aksi menolak PP tentang Pengupahan No.78/2015, Jumat, 30 Oktober yang lalu, aku ikut terlibat,meski nyusul jam 3 sore. Aku sering kali sesak

Laporan Femisida 2023: Kekerasan yang Terstruktur dan Berulang

Laporan ini menyoroti pola kekerasan yang tidak hanya berlangsung dalam ranah privat tetapi juga merambah ruang publik, di mana 51% kasus terjadi di luar rumah korban. Cara pembunuhan yang paling sering digunakan adalah dengan kekerasan fisik (36%) dan senjata tajam (32%). Selain itu, tercatat 69% jenazah korban ditinggalkan di lokasi kejadian, sementara beberapa kasus menunjukkan tindakan brutal seperti mutilasi, pemerkosaan, hingga pembakaran jenazah.

credit: https://pin.it/1HS9o8KZb

Gatra Media Group Tutup: Serikat Karyawan Tuntut Pembayaran Hak yang Tertunda

Selain hak-hak yang belum dibayarkan, Serikat Karyawan Gatra juga menyoroti belum adanya Surat Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang seharusnya diberikan sebelum penutupan operasi. Dalam rapat-rapat yang diadakan antara manajemen dan karyawan, tidak ada jaminan atau solusi konkret yang diberikan kepada karyawan mengenai penyelesaian masalah ini.

Hanya Sedikit Waktu

Buruh KBN Cakung sedang menunggu di luar pabrik/Ari/dok dev.marsinah.id   Oleh Ari Widiastari   Di pabrikmu aku bekerja, Memperkaya pundi – pundi  hartamu.. Hanya sedikit