Bulan Puasa,Buruh IBU Dipaksa Mengundurkan Diri

Rismawati menangis, ketika untuk ke sekian kalinya, atasannya (Chief gosok) memaksanya mengundurkan diri. Kali ini, Risma, masih berani menolak mengundurkan diri, sambil sesekali mengelus perutnya yang sudah mengandung janin berusia 8 bulan.

Risma adalah buruh perempuan di sebuah perusahaan garment textile di KBN Cakung. Setiap hari, selama 8 jam atau lebih ia berdiri menggosok baju. Hal itu ia lakukan secara rutin selama 8 tahun, dengan status buruh kontrak.

Di tahun yang ke 8 ia bekerja, sebenarnya adalah hal yang menyenangkan karena ia dianugerahi anak ke dua. Menurut hasil USG, anaknya berjenis kelamin perempuan. Namun, kenyataan adalah kenyataan. Kehamilan justru dipandang beban oleh pengusaha. Karenanya ia dipaksa mengundurkan diri sebelum bulan puasa menjelang. Bila sebelum memasuki bulan puasa ia sudah mengundurkan diri, maka pengusaha bisa tidak memberinya THR (Tunjangan Hari Raya). Dan bila ia mengundurkan diri, pengusaha bisa tidak membayarkan sisa upahnya sesuai kontrak.

Tentu saja, alasan pengusaha tempat Risma bekerja adalah ngawur, karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tapi sang bos merasa pegang kuasa di pabrik, sehingga merasa berhak punya aturan sendiri. Padahal Peraturan Menteri No.6 Tahun 2016, menyatakan pengusaha wajib memberikan THR kepada buruh yang sudah bekerja selama satu bulan ke atas baik berstatus kerja kontrak maupun tetap.

Pasal 2

(1) Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.

(2) THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

RIsma tak sendiri. Titin, buruh perempuan bagian jahit, mengalami hal serupa. Diminta mengundurkan diri di saat kehamilannya menginjak usia 9 bulan, bahkan ia mengandung bayi kembar. Lama kelamaan, karena terus dminta mengundurkan diri, meski kontraknya belum habis, ia akhirnya bersedia mengundurkan diri. Alasannya sederhana, ia ingin berhenti dulu bekerja untuk mengasuh kedua bayi kembarnya. Titin, bekerja selama 10 tahun, sejak perusahaan tempat ia bekerja belum sebesar sekarang. Ia turut berkontribusi bagi perusahaan, namun status kerjanya masih kontrak, pun ia terpaksa mengundurkan diri demi mengasuh anak tanpa sedikitpun penghargaan.

Nasib serupa juga dialami Aisyah, dipaksa mengundurkan diri berkali – kali, dan berkali – kali pula ia menolak. Alasannya sederhana, ia butuh THR (Tunjangan Hari Raya) untuk keperluan keluarganya. Apalagi, sebentar lagi ia akan melahirkan. Kini usia kandungannya adalah 8 bulan, sama dengan Risma. Bagi Aisyah, THR adalah hak, bila dipaksa mundur dari tempat kerja, tanpa THR, tanpa pesangon, tanpa status kerja yang jelas, untuk apa. HAK tetaplah HAK. Kewajiban sudah cukup ia tunaikan selama 2 tahun bekerja.

Baik Rahma, Titin, maupun Aisyah adalah wajah tiga buruh perempuan hamil yang mewakili teman-temannya yang juga mengalami nasib serupa. KBN Cakung, yang adalah kawasan milik negara, dikelola oleh negara, menjadi tempat segala bentuk pelanggaran. Jelang THR, tidak hanya buruh hamil yang dipaksa mengundurkan diri, namun juga putus kontrak massal.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Pungli yang Menghantui Kaum Buruh

Linda juga mengatakan bahwa dalam melakukan praktik pungli, oknum-oknum ini menggunakan kata-kata kiasan dalam melancarkan aksinya. Sebagai contoh, sebelum masuk (diterima) kerja, buruh harus membayar ‘2000 atau 3000’, akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘2000 atau 3000’ ini adalah 2 juta atau 3 juta. Selain itu, ada pula yang dimintai pungli agar kontrak kerja mereka dapat diperpanjang.

Berbagi Kebaikan di Tanah Papua (1)

Bersama anak – anak Papua Cerita ini ditulis oleh Suster Maria Pietronella, FCh yang kini sedang mendampingi buruh perempuan di Palembang. Sebelum ke Palembang ia sempat

Upahku kemana?

Tulisan ini dibuat berdasarkan laporan atau pengaduan dari buruh di KBN Cakung. …..Namaku Ira (bukan nama sebenarnya), perempuan dewasa, sudah menikah dengan satu anak. Bekerja

Teh Pahit di Kertamanah: Menipisnya Lahan dan Ketidakpastian Hidup Buruh

Sebagai buruh borongan, penghasilan Dedi bergantung pada jumlah pucuk teh yang bisa dipetik. Dengan sistem upah per kilogram, pendapatannya semakin menurun seiring berkurangnya luas lahan yang bisa digarap. Harga pucuk teh sendiri berkisar antara Rp500 hingga Rp800 per kilogram, tergantung kualitasnya. Total sebulan, Dedi hanya memperoleh sekitar Rp2 juta. Jika lahan semakin menyusut, penghasilannya pun bisa semakin tergerus.  

Pasca Tragedi Ledakan Smelter IWIP, Buruh Dinilai Perlu Tingkatkan Kekuatan Politik

Yuzril Muksin, Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Maluku Utara, saat diwawancarai menyampaikan, kondisi kerja di kawasan IWIP sangat tidak manusiawi. “Buruh-buruh di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park dipaksa kerja dengan jam kerja yang panjang. Jam kerja yang panjang ini merupakan faktor yang menyebabkan kecelakan kerja itu bisa terjadi. Tragisnya, upah buruh IWIP tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” ucapnya.