Ketidakjelasan informasi mengenai jaminan kesehatan menjadi problem yang kerap muncul. Sultinah, koordinator Posko Pembelaan Buruh Perempuan mengatakan, berdasarkan pengamatannya di lapangan, diketahui bahwa setiap bulan gaji buruh dipotong untuk iuran BPJS Kesehatan, namun ketika buruh melahirkan diputus kontraknya sehingga tak dapat menggunakan layanan kesehatan. Murnia, buruh di KBN mengemukakan, ia sudah memperoleh kartu BPJS Kesehatan dari pabrik tempatnya bekerja, tapi tak sekalipun mendapat informasi cara pakainya. Hal senada diungkapkan Neng Fitri dari PT. Hansae 6, yang mengaku hanya diberikan kartu saja tanpa ada sosialisasi kegunaannya. Mencoba menjembatani kesimpangsiuran tersebut, FBLP mengundang BPJS Kesehatan guna mengkampanyekan manfaat dan prosedur Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Di depan lebih dari 40 peserta diskusi, Rudi Darmawan selaku perwakilan BPJS Kesehatan Jakarta Utara memulai presentasinya. Rudi memaparkan, setiap orang yang telah bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial. “Oleh karena itu, semua karyawan, baik yang tetap maupun yang kontrak jika sudah bekerja 6 bulan, berhak mendapat JKN,” ujar Rudi. Pernyataan ini mendapat tanggapan serius dari beberapa kawan buruh, yang mengeluh telah mengabdi bertahun-tahun namun tak kunjung diberi kartu BPJS Kesehatan. Menjawab kegelisahan ini, Rudi berjanji akan menindaklanjuti perusahaan tersebut, sembari mengingatkan pekerja untuk terus bersikap kritis menuntut haknya.
Setiap bulan, sebesar 5 persen dari upah buruh dikutip untuk BPJS Kesehatan. Empat persen dari tarif ini dibebankan ke pemberi kerja, sementara 1 persen ke pekerja. Iuran itu mencakup 5 anggota keluarga sekaligus, yaitu pekerja yang bersangkutan, suami atau istri, dan 3 orang anak. Oleh karenanya, pekerja disarankan menindaklanjuti ke bagian personalia perusahaan untuk memastikan apakah pasangan dan anak telah terdaftar dalam skema JKN pekerja.
Lebih jauh, Rudi menginformasikan alur pelayanan JKN, di mana peserta harus berkonsultasi ke fasilitas kesehatan (faskes) primer seperti puskesmas, klinik, dokter praktik, yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Jika ternyata peserta memerlukan perawatan lebih lanjut, maka faskes primer akan memberikan rujukan ke rumah sakit. “Sebenarnya, alurnya tidaklah rumit, asalkan berobat awal ke faskes primer terlebih dulu. Kecuali jika kasus gawat darurat, maka bisa langsung ke rumah sakit,” kata Rudi.
Di wilayah Jakarta Utara, terdapat 19 instansi yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Beberapa di antaranya yaitu RS Pekerja, RS Firdaus, dan RS Islam Sukapura, berada di sekitar KBN. Selain pengobatan, BPJS Kesehatan dapat dipakai untuk tindakan yang bersifat pencegahan, seperti imunisasi dasar anak (BCG, DPT, Hepatitis B, polio, campak), keluarga berencana, dan pap-smear.
Dalam sesi tanya-jawab, peserta diskusi tak hanya melontarkan pertanyaan namun juga berbagi pengalaman saat menggunakan layanan JKN, mulai dari antrian, perlakuan berbeda antar faskes, sampai penggantian nominal obat. Rudi Darmawan dengan sabar menanggapi umpan balik dari peserta sembari mengingatkan perbedaan layanan antar faskes disebabkan oleh perbedaan fasilitas yang dipunyai masing-masing instansi.
Dari 232 badan usaha di KBN, tercatat baru 80 yang menjadi anggota BPJS Kesehatan. Hal ini patut menjadi perhatian tak hanya bagi BPJS Kesehatan untuk mengusut perusahaan terkait, namun juga bagi para buruh agar tanggap, dan menuntut layanan kesehatan yang menjadi haknya. Selanjutnya, Sultinah berharap, agar peserta diskusi dapat menyebarluaskan informasi yang diperoleh kepada rekan-rekan buruh lain.
Materi presentasi BPJS Kesehatan tersedia di Posko Pembelaan Buruh Perempuan dan dapat diperbanyak untuk teman-teman buruh. Catat juga nomor telepon Pusat Informasi BPJS Kesehatan yang dapat dihubungi 24 jam, yaitu 1500400. (Enggar Permata)