Mengejar Kemerdekaan/dok. Maxie
Pidato Oleh Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardhika)
Kami bukan lagi sekadar melahirkan calon prajurit, Tapi kami sendiri adalah prajurit
Bukan sekadar istri pahlawan bangsa, karena kami sendiri adalah pahlawan bangsa
Apa yang dinyatakan oleh Sugiarti dalam salah satu bait puisi di atas, adalah benar adanya
Kemerdekaan 1945, adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia tidak terkecuali kaum perempuannya.
Dalam peringatan 17 Agustus, mungkin ketika kita masih Sekolah Dasar, pertama kali kita diperkenalkan kepada sosok Fatmawati, Istri Sukarno dan penjahit Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan untuk berkibar pertama kalinya.
Perempuan penjahit. Ya penjahit, sama seperti sebagian besar kita di sini. Mungkin terkesan remeh bagi banyak orang, tapi apakah pernah terfikir, apa jadinya jika tidak ada yang bisa menjahit, bagaimana Merah dan Putih itu bisa dipersatukan?
Pernahkah bermimpi melihat senjata, mengangkatnya dan menembakkannya dalam peperangan? Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Perempuan adalah kaum yang berada di garis depan dalam perang bersenjata melawan penjajahan colonial. Laswi, atau Laskar Wanita Indonesia, dibentuk pada Oktober 1945 yang beranggotakan perempuan remaja hingga janda-janda, seringkali dipercaya menjadi pembawa pesan, informan / kurir, berpencar dari kelompok pasukan gerilya satu ke pasukan lainnya. Nyawa taruhannya.
Mereka juga bergerak sigap untuk mempersiapkan tenaga-tenaga perang, mengatur dapur umum di garis depan, merawat tentara yang menderita luka, bahkan ada pula yang menjadi pengubur jenazah bagi mereka yang gugur.
Kawan-kawan ku,
Karena perjuangan lah, kaum perempuan mendapat posisi-posisi penting dalam pemerintahan, paska kemerdekaan saat itu. Tercatat Menteri Sosial pertama adalah perempuan, namanya Maria Ulfah. Dan Menteri Perburuhan pertama juga adalah perempuan, bernama SK Trimurti.
Kawan-kawan pasti mengenal Hak Cuti Haid bagi kita buruh perempuan, hak tersebut adalah salah satu hasil perjuangan para perempuan pendahulu kita. Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan kesetaraan setiap warga negara di dalam hukum adalah salah duanya.
Paska kemerdekaan, kaum perempuan tidak berhenti, mereka menolak kembali dan menjadi istri dalam sangkar patriarki. Mereka terus berjuang untuk mempertahankan apa yang mereka sebut sebagai hasil revolusi.
Dengan apa? Dengan organisasi dan konsolidasi-konsolidasi perempuan. Sebelum kemerdekaan, berkali-kali Kongres Perempuan diselenggarakan. Pada 1928, 1929, 1930, 1935, 1938, dan 1941. Total ada 6 kali Kongres Perempuan. Sebelum dan sesudah kemerdekaan, mereka menjadi garda terdepan dalam pemberantasan buta huruf di desa-desa. Mereka berjuang untuk UU Perkawinan yang adil, berjuang untuk adanya pencatatan yang sah dalam perkawinan agar hak perempuan terlindungi, berjuang untuk tidak ada poligami yang menghancurkan derajat perempuan, dan perlindungan perempuan dari pemaksaan perkawinan.
Mereka berjuang bersama buruh tani, Mendorong perempuan memiliki hak sama atas tanah, menyelenggarakan pendidikan bagi perempuan perkebunan untuk kesadaran hak-hak mereka, menyediakan tempat pengasuhan anak agar buruh perempuan dapat bekerja tanpa kerepotan menggendong anak nya.
Kawan-kawan ku, buruh perempuan
Saat ini kita sedang berhadapan dengan banyak kesulitan. Kita menghadapi situasi eksploitasi dan penindasan yang nyata atas tubuh dan pikiran kita.
Kampung halaman kita tergusur, satu per satu tanah keluarga habis terjual.
Perahu kita kalah saing, kalah dengan kapal-kapal ikan bermodal besar untuk industri perikanan.
Di kota, kita hidup di petak-petak kontrakan, di tengah gedung-gedung dan apartemen mewah, berdiri di tengah desakan gaya hidup untuk terus membeli dari apa yang sebenarnya kita sanggup untuk beli.
Di pabrik, upah kita dirampas, meskipun setiap jam setiap menit setiap detik waktu kita tercurah untuk produksi, berkejaran dengan target. Kerja paksa sambil menelan makian dan cercaan dari atasan.
Di jalan, di tempat kerja, di sekolah, bahkan mungkin di rumah, tubuh kita seperti seonggok daging, dengan mudahnya orang lain mencolek, bersiul, memegang, melecehkan tubuh kita.
Di sisi lain, pikiran kita tidak dianggap, usul kita sering dikesampingkan.
Siapa yang akan peduli dengan derajat kita, kesejahteraan kita, kesejahteraan keluarga kita atau masa depan anak-anak kita?
Kawan-kawan ku, buruh perempuan yang sedang berjuang
Sejarah kemerdekaan telah menunjukkan kepada kita, bagaimana kaum perempuan mampu berdiri tegak, dengan atau tanpa senjata, membela derajat kaum nya, membela derajat bangsanya.
Dengan membangun gerakan perempuan, dengan terus menyelenggarakan perkumpulan-perkumpulan perempuan mereka mampu menciptakan celah dan kesempatan untuk berjuang, meraih kesejahteraan dan kesetaraan bagi diri dan bagi kaum-nya.
Kekuatan itu ada pada diri kita, kekuatan itu ada di setiap wajah persoalan kita. Dengan menyatukan setiap kekuatan itu dalam gerak bersama, maka siaplah kita untuk berlari “Mengejar Kemerdekaan” bagi buruh perempuan dan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ayo barisan buruh perempuan…
Ayo langkahkan kaki, lawan diskriminasi
Tak tunduk dalam diam
Kita perempuan berlawan
Ayo masuk barisan, merebut kebebasan
Siap merubah negara
Indonesia harus setara