Oleh Dian Septi Trisnanti
Marsinah
Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993, di sebuah gubuk di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur. Di tahun yang sama, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), kelas 4. Marsinah berusia 24 tahun, sementara saya 10 tahun. Marsinah mati muda, nyawanya direnggut paksa, di tubuhnya terdapat jejak siksa mengerikan, bila boleh dibilang biadab.
Sayup – sayup berita kematian Marsinah sempat terdengar di telinga saya saat itu. Setidaknya di layar televisi yang tiap malam memutarkan berita sementara saya sudah merengek minta pindah channel televisi lain. Namun, bagi anak seumur saya yang kala itu masih kecil, sosok Marsinah tak terlalu lekat dalam ingatan. Hanya, orang dewasa kerap kali memperbincangkannya saat teater tentang Marsinah dipentaskan keliling di berbagai kota besar.
Baru saat riuh kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, nama Marsinah mulai muncul kembali bersama beberapa nama lain seperti Wiji Thukul, Udin dan beberapa tokoh yang saat itu disebut tokoh reformasi. Demikianlah, saya yang remaja mengenal Marsinah, tepatnya saat lulus SMP. Waktu itu, kasus Marsinah terasa sangat mengerikan. Berbagai pertanyaan muncul bertubi, mengapa ia sampai disiksa seperti itu? kenapa pelaku bisa sangat keji? Kata orang dewasa di sekitar saya, pemerintah Orde Baru itu memang sangat kejam, banyak yang dibunuh dan diculik. Hanya bisa ngeri itu saja dan hidup pun berlanjut. Saya sekolah seperti biasa, mengejar nilai agar mendapatkan ranking yang tak terlalu buruk di kelas. Sekali – kali curi – curi pandang sama gebetan. Marsinah, terlupa begitu saja. Baru beberapa tahun kemudian saya bertemu lagi dengan sosok Marsinah. Dalam imaji saya, Marsinah remaja susah payah meneruskan sekolah dan terpaksa merantau demi sesuap nasi, menabung agar bisa menempuh pendidikan lebih tinggi. Ia adalah gadis remaja kebanyakan punya cita tinggi namun tergerus kemiskinan. Hanya ia tidak memilih menyerah.
Membaca kehidupan Marsinah adalah membaca realita masyarakat Indonesia. Merantau ke kota besar untuk bekerja dan bertemu dengan ragam peristiwa yang kadang merubah arah hidup. Momen – momen yang membuat kita menentukan pilihan. Marsinah memilih dan pilihan itu membawanya pada resiko tidak sederhana. Resiko itu bernama kematian. Pilihan Marsinah adalah pilihan berani, sama dengan teman – temannya yang lain, yang bekerja di PT. CPS (PT. Catur Putra Surya), Porong, SIdoarjo dan memilih mogok kerja. Mogok kerja di masa Orde Baru adalah pilihan dengan resiko besar karena Orde Baru merupakan pemerintahan diktator militer yang tak hanya punya kekuasaan namun senjata dan modal. Segala aspek kehidupan di masa Orde Baru sah bila dicampuri tangan oleh militer, termasuk urusan hubungan industrial. Mogok kerja sama saja dengan tindak subversif dan bisa dituduh PKI. Yah, tentu saja di masa Orde Baru, segala hal yang dianggap membahayakan stabilitas keamanan sering dilabeli sebagai PKI.
Mengapa Buruh PT. CPS Mogok Kerja?
Mogok kerja adalah cara juang menuntut hak yang paling tinggi karena menghentikan produksi serta berimbas pada proses produksi perusahaan. Perusahaan bisa merugi dan ini merupakan bentuk perlawanan sekaligus meningkatkan posisi tawar buruh, dengan tujuan tuntutan dipenuhi.
Mogok kerja yang berlangsung 3 dan 4 Mei 1993 ini, berawal dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.50/Men/1992, berlaku 1 Maret 1993, ditetapkan upah pokok buruh minimal sebesar Rp 2,250, naik lebih dari 30%. Sementara surat edaran Gubernur Jawa Timur saat itu, Basofi Sudirman menghimbau perusahaan supaya menaikan upah buruhnya 30% dari upah pokok April 1993. Surat edaran inilah yang kemudian membuat buruh resah dan mendorong PUK SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian. Pasalnya, kondisi kerja buruh teramat buruk dengan upah sangat rendah. Perusahaan yang didirikan pada 1980 dengan nama PT. Empat Putra Watch Industry ini memproduksi 60 ribu jam tangan per tahun, 8.580 kaca jam tangan, 13 ribu knop jam tangan, 24.400 bingkainya dan 24.400 jarum dan plat. Semua produk itu dipasarkan di dalam negeri. DI tahun 1991, perusahaan ini berubah nama menjadi PT. CPS yang meluas dengan bertambah pabrik di Desa Siring, Sidoarjo, Jatim. Produksinya pun meningkat menjadi 1.248.000 buah jam tangan per tahun dan 70% diantaranya diekspor dengan nilai tak kurang dari USD 2 juta US. Namun, kondisi buruhnya yang berjumlah 500 orang bernasib sebaliknya. Mereka bekerja 3 shift. Shift pertama, jam 07.00 – 14.30 WIB; shift dua, Jam 14.30 – jam 22.00 WIB dan shift 3, Jam 22.00 – 07.00 WIB. Mesin jam tangan tidak pernah berhenti beroperasi selama 24 jam, bergantian digerakkan oleh 500 buruh yang hanya beristirahat 30 menit setiap shift, dengan upah pokok hanya Rp 1700/ hari, tunjangan tidak tetap Rp 550 – Rp 850. Kenaikan upah setiap tahun pun hanya Rp 100,-
Selain upah murah, kondisi kerja juga sangat buruk. Bahkan, buruh harus menyewa mesin jam tangan sebesar Rp 1.425/ hari. Sementara, sarung tangan, kertas poles, kertas gosok, lancer dan langsor harus dicicil sendiri oleh buruh. Tak jauh beda dengan sistem kerja jaman sekarang, sistem yang digunakan adalah sistem target, yang bila tidak terpenuhi akan dibebankan di hari berikutnya. Bila menghilangkan bahan produksi, mereka dikenai denda Rp 50,-
Tidak ada poliklinik atau perlengkapan K3. Hanya ada kotak P3K dengan obat – obatan ala kadarnya. Bila sakit, bukan tanggungan perusahaan. Buruh dipaksa menanggung sendiri, pun saat tidak masuk kerja gegara sakit, upah justru dipotong. No Work, No Pay. Jadi, buruh tidak dimasukkan dalam layanan kesehatan Jamsostek. Demikian halnya dengan cuti haid dan cuti hamil yang lebih sulit lagi diperoleh. Artinya hampir semua hak normatif buruh dilanggar tanpa luput. Berbagai rasa getir karena hak dirampas yang dipicu dengan surat edaran dari sang Gubernur Jawa Timur itulah yang membuat buruh memutuskan mogok kerja, tak terkecuali Marsinah.
Pada pemogokan hari pertama, 3 Mei 1993, sejak jam 6 pagi, buruh sudah mulai berkumpul di sepanjang jalan menuju pabrik. Mayoritas buruh tidak masuk kerja. Sebagaimana dijelaskan di awal, militer punya campur tangan di segala aspek kehidupan. Maka, tentara dari Koramil 0816/04 Porong, Sidoarjo mulai berdatangan ke pabrik, bahkan menyisir pemukiman buruh di desa sekitar. Dari data perusahaan, ada 10 nama yang diduga menjadi aktor dibalik pemogokan. Sementara petugas koramil berhasil mendapati 18 buruh sedang berkumpul di kos salah seorang buruh. Menurut catatan Alex Supartono, dalam bukunya “Marsinah, Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan”, seorang petugas koramil berteriak “Kalian menghalangi niat baik orang untuk bekerja! Itu sabotase! Itu cara – cara PKI”. Tudingan PKI, adalah cara lumrah di masa militer Orde Baru, seperti celotehan biasa sehari – hari dan turun – temurun menjadi cara membungkam siapapun, bahkan hanya karena tidak suka.
Meski menadapat intimidasi dan teror, esok paginya buruh tetap melanjutkan mogok kerja. Di mogok kerja ke dua, 4 Mei 1993, buruh melontarkan 12 tuntutan hasil dari kesepakatan di antara mereka.
- Kenaikan upah sesuai Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.50/1992 dari Rp 1700 menjadi Rp 2.250 per hari yang seharusnya sudah berlaku sejak 1 Maret 1992
- Perhitungan upah lembur sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.72/ 1984
- Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum
- Jaminan kesehatan buruh sesuai dengan UU No.1/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
- Penyertaan buruh dalam program ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja)
- Pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) sebesar satu bulan gaji sesuai dengan himbauan pemerintah
- Kenaikan uang makan dan uang transport
- Pembubaran Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI PT. CPS karena tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga SPSI
- Pembayaran cuti hamil pada waktunya
- Penyamaan upah buruh yang baru selesai masa training dengan upah buruh yang sudah bekerja selama satu tahun
- Hak – hak buruh yang sudah ada tidak boleh dicabut, hanya boleh ditambah
- Setelah pemogokan ini pengusaha dilarang mengadakan mutasi, intimidasi dan melakukan pemecatan terhadap buruh yang melakukan pemogokan
12 Tuntutan itu yang kemudian dirundingkan dengan pihak perusahaan yang diwakili oleh 3 orang sementara dari pihak buruh diwakili 24 orang yang diantaranya 9 orang merupakan pengurus SPSI dan 19 orang lainnya dipilih buruh langsung. Marsinah adalah salah satu perwakilan yang dipilih oleh buruh. Turut hadir dalam perundingan, pengurus DPC SPSI, pegawai depnaker, aparat kantor Sospol Sidoarjo, Lurah Siring, Kapolsek Porong dan Danramil 0816/04 Porong.
Setelah perundingan berlangsung dari pagi hingga tengah hari, akhirnya disepakati 11 butir kesepakatan:
- Upah minimum tetap diberlakukan sesuai dengan Keputusan Menteri No. 50/ Men/ 1992 dan kekurangan tunjangan tetap yakni uang makan dan transportasi sebesar Rp 550,- yang sampai saat ini belum diberikan pada saat hari libur nasional dan cuti tahunan, akan diberikan seusai dengan masa kerja dan ketentuan yang berlaku mulai pada 1 Maret 1992 dan pelaksanaannya dimulai pada 5 Mei 1993
- Perhitungan upah lembur sudah seusai dengan ketentuan yang berlaku (Kep Men Np. 72/Men/ 1984)
- Pembayaran upah bagi karyawan wanita yang mengambil cuti haid diberikan seusai dengan besar upah yang diterima
- Keikutsertaan dalam program ASTEK dan JAMSOSTEK akan menunggu petunjuk dan pelaksanaan lebih lanjut
- Jumlah THR sampai saat ini belu diatur dalam Peraturan Pemerintah, akan tetapi besarnya THR diberikan sesuai dengan kemampuan perusahaan yang telah diatur dalam Kesepakatan Kerja Bersama di perusahaan
- Uang makan dan uang transport adalah masuk dalam satu kesatuan upah sebagai tunjangan tetap
- Keberadaan PUK SPSI yang ada di perusahaan tetap diakui keberadaannya dan akan difungsikan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang ada. Pelaksanaan reformasi kepengurusan menunggu sampai masa baktinya usai.
- Uang cuti hamil akan diberikan sesuai dengan peraturan yang ada (secara tepat waktu)
- Karyawan yang telah lepas dari masa percobaan disamakan hak – haknya dengan karyawan yang lain. Tetapi penentuan besar keclnya upah dan tunjangan lainnya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
- Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon unk tidak mencari – cari kesalahan karyawan
- Pihak karyawan berjanji tidak akan melakukan aksi pemogokan ini untuk masa yang akan datang, dan segala permasalahan perselisihan Hubungan Industrial Pancasila akan dilakukan sesuai dengna prosedur yang berlaku dengan berpijak pada asas musyawarah mencapai mufakat dan selanjutnya karyawan sanggup kerja kembali.
Hasil kesepakatan tersebut ditandatangani bersama oleh kedua belah pihak, termasuk 24 wakil buruh.
Intervensi Militer dan Pembunuhan Marsinah
Dengan 11 butir kesepakatan tersebut, pemogokan kemudian diakhiri. Buruh sudah merasakan mendapatkan hasil dari pemogokan selama dua hari. Namun, bukan Orde Baru namanya bila berhenti sampai di sana. Justru setelah perundingan berakhir, teror yang sesungguhnya dimulai.
13 buruh yang menjadi perwakilan buruh, sore harinya mendapat panggilan dari Kodim 0816 Sidoharjo supaya menghadap esok harinya. Marsinah yang mendengar kabar itu kemudian membuat selebaran yang berisi panduan jawaban bila diinterogasi atau dipaksa mengundurkan diri. Selebaran itu kemudian dicopy dan dibagikan kepada 13 kawannya itu.
Rabu, 5 Mei 1993, mereka memenuhi panggilan dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Sebenarnya 13 buruh itu sudah menjawab sesuai yang direncanakan, seperti melihat dulu situasi apakah perusahaan akan mengintimidasi atau tidak, akan memikirkan terlebih dahulu anjuran dari Kodim. Namun, makian, cercaan dan intimidasi membuat mereka terpojok. Data keluarga, seperti nama orang tua, alamat rumah diminta dan diancam dengan ragam ucapan. Akhirnya, Intervensi militer telah menggagalkan hasil perundingan dan mem PHK 13 perwakilan buruh.
Peristiwa itu membuat geram Marsinah, maka ia pun berkeliling ke beberapa kawannya membagi selebaran yang isinya mempertanyakan kepada pihak perusahaan terkait pemanggilan KODIM padahal masalah sudah diselesaikan lewat perundingan. Dalam surat itu, Marsinah bahkan mengancam akan menggugat pihak perusahaan dan Kodim sesuai prosedur hukum yang berlaku. Surat pernyataan itu yang kemudian oleh Marsinah dikirimkan ke pihak perusahaan, dicopy dan dibagikan ke beberapa kawannya untuk disebar. Pada Rabu malam, Marsinah dan beberapa kawannya sempat mendatangi Kodim 0816 Sidoarjo menanyakan perihal 13 kawannya yang ternyata sudah pulang. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Marsinah bertemu dengan beberapa kawannya yang dipaksa mengundurkan diri oleh Kodim. Mendengar itu, Marsinah gusar dan memutuskan pulang ke kos, namun selang beberapa saat Marsinah keluar rumah dan tidak pernah kembali.
Seperti yang kemudian diberitakan, 3 hari setelah menghilang, Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993. HIngga kini missing link itu tidak pernah terpecahkan, segala upaya mengusut tuntas kasusnya terbentur tembok kekuasaan yang kokoh. Untuknya, kekuasaan sampai menggelar persidangan palsu, tersangka palsu yang dipaksa mengaku hingga berdarah – darah. Untuknya, digelar perhelatan teater besar di berbagai kota, film dibuat. Namun, kasusnya tidak pernah diakui sebagai pelanggaran HAM meski 29 tahun sudah berselang.
Memaknai Marsinah
Lumpur Lapindo sudah menenggelamkan pabrik dan hunian tempat tinggal Marsinah. Bukti terkait kasus Marsinah nyaris tidak bersisa. Yang bersisa adalah dokumen, karya, catatan aksi dari tahun ke tahun. Hanya, sampai kapan jaman berganti untuk sebuah keadilan bisa diberikan pada korban dan keluarganya.
Sebagaimana pelanggaran HAM masa lalu lainnya, ia tetap terbungkus rapi dalam kotak pandora, yang entah kapan bisa dibongkar oleh siapa dan bagaimana. Seorang ibu Sumarsih bersama dengan teman – teman penyelenggara Kamisan lainnya saja sudah 726 kali dilakukan di depan istana, tepatnya 21 April 2022. Setiap langkah memperingati Marsinah, mendesak pengakuan negara bahwa kasus Marsinah merupakan pelanggaran HAM, memproduksi setiap banner, kaos dan atribut, hingga diabadikan lewat patung maupun media komunitas adalah jalan keras menegakkan keadilan, meski hampir tiga dekade berlalu. Proses yang dilalui itu adalah jalan keras karena disertai tantangan yang tidak pernah berhenti menerpa, ada rasa lelah, frustasi hingga jenuh. Bersyukur, selalu ada baik kelompok maupun individu aktivis yang menjadi tonggak di setiap jalan yang dilalui. Tonggak itu menjadi obor supaya kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah selalu gelap. Bila mana ada terang, di situ ada harapan.
Karenanya, bagi saya pribadi, tiap proses itu tidak percuma. Ia menghasilkan memori yang dikonsumsi oleh generasi muda di setiap jaman. Membuka celah agar kebenaran mendapatkan ruangnya. Kebenaran memang harus diperjuangkan agar semakin mendekat.
Referensi
1999, “Marsinah, Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan”, Alex Supartono
Desember 1995, Seri Laporan Kasus “Kekerasan Penyidikan Dalam Kasus Marsinah”. YLBHI
2012″Marsinah: Korban Orde Baru, Pahlawan Orde Baru”, Harwib