Siang itu, sebut saja Ina, seperti biasa bekerja di sebuah pabrik garmen di KBN Cakung. Sebuah kawasan industri milik PEMDA DKI. Hari itu, Ina sedang hamil 4 bulan. Target kerja yang tinggi membuatnya harus menjahit serba cepat. Bila target kerja tak terpenuhi, bisa jadi ia akan mendapat dampratan dari pengawas. Meski sedang tidak enak badan dan pusing, Ina memaksakan diri menjahit dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya ia sudah minta ijin kepada pengawas supaya diberi istirahat sehari sebelumnya, namun dengan kasar permintaannya ditolak sang pengawas. Kadang Ina maklum dengan sikap kasar pengawas, karena pengawas juga mendapat tekanan dari Chip yang adalah atasannya. Akhirnya Ina hanya bisa pasrah. Tapi hari itu, sudah tak tertahankan lagi, keringat dingin meluncur deras. Dengan lunglai ia menuju kamar mandi dan betapa terkejutnya ia. Ina mengalami pendarahan. Sendirian menahan ngilu, Ina membersihkan sendiri darah yang terus mengalir.
Setelah beberapa saat, baru Ina sadar, ia pingsan di kamar mandi dan dibawa ke klinik perusahaan. Seusai sadar dari pingsan, Ina baru mengetahui ia sudah kehilangan janinnya. Karena terasa pening dan sedih, Ina pun menghampiri pengawas dan meminta pulang supaya bisa beristirahat. Namun, betapa terkejutnya Ina ketika sang pengawas justru marah dan memintanya melanjutkan pekerjaan karena hari itu harus ekspor. Dalam benak Ina, bagi perusahaan, harga nyawa janinnya ternyata tidak sebanding dengan nilai ekspor perusahaan. Hari itu, Ina menyadari kemanusiaan sudah tidak ada harganya.
Kejadian serupa juga menimpa Yanti, seorang buruh perempuan di sebuah perusahaan di KBN Cakung. Jauh sebelum kehamilan, Yanti sudah diberitahu oleh Dokter Kandungan, bahwa kondisi kandungannya lemah, sehingga bila suatu saat terjadi kehamilan ia tak boleh bekerja terlalu berat. Maka, ketika ia mengetahui dirinya hamil 3 bulan, ia segera meminta kepada pengawas supaya diberi keringanan kerja seperti mengurangi target dan tidak lembur. Ia pun menyerahkan surat keterangan dokter sebagai bukti. Namun, jawaban pengawas dan personalia menyakitkan hati. Ia tak mendapatkan keringanan meski sudah menunjukkan keterangan dokter. Benar saja, Yanti mengalami keguguran. Hingga kini, Yanti masih menyimpan bukti berupa keterangan dokter. Namun, hukum rupanya tak berpihak pada yang lemah. Pihak Disnakertrans Jakarta Utara terkesan lamban dan berkelit membantu penyelesaian kasusnya. Alhasil pihak perusahaan tidak pernah jera dan justru menular di perusahaan-perusahaan lain sebagai pola penindasan yang berhasil.
Kasus-kasus lain terkait kesehatan reproduksi buruh perempuan banyak mewarnai keseharian dunia kerja yang keras dengan persaingan. Ambil contoh kasus Parti dan beberapa temannya yang sedang dalam kondisi menyusui. Ia dan beberapa temannya terpaksa melilitkan pembalut atau kain jarik di payudaranya agar tidak membasahi baju seragam. Rasa sakitnya pun luar biasa, namun demi memenuhi target, mereka terus bekerja menghasilkan keuntungan demi keuntungan yang berbuah sekian cabang perusahaan di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Parti dan teman-temannya yang sedang menyusui ini bisa jadi belum memperoleh informasi terkait bahaya yang mengancam ketika terpaksa menahan air susunya yang terus keluar. Wajah buruh perempuan lain tampak pula dari ribuan buruh yang mengalami kehamilan namun ter-PHK. Di KBN Cakung, buruh perempuan yang hamil diminta untuk istirahat 3 bulan dan boleh masuk lagi setelahnya dengan membawa lamaran. Karena minim informasi terkait hak, buruh perempuan menganggap itu bukan PHK, tapi cuti. Mereka tidak tahu bahwa yang disebut cuti hamil adalah istirahat dengan gaji yang tetap dibayarkan. Demikian halnya dengan cuti haid, dimana buruh perempuan kesulitan meminta istirahat saat merasakan sakit mana kala haid hadir tiap bulannya. Deretan-deretan kasus tersebut semakin panjang mana kala Dinas Ketenagakerjaan sangat minim pembelaan pada buruh perempuan, sehingga Negara selalu absen di setiap kasus buruh perempuan. Padahal buruh perempuan menyumbang banyak pemasukan kepada devisa Negara karena jumlah mereka yang terus meningkat, yaitu 38% dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Apa yang menimpa Ina dan Yanti mewakili parahnya kondisi kesehatan reproduksi buruh perempuan di Indonesia. Setidaknya, ia mewakili setiap resiko kematian pada perempuan. Tak heran bila Angka Kematian Ibu masih memprihatinkan. Tahun lalu (2013), AKI mencapai 5.019 jiwa, yang disebabkan oleh karena perdarahan, eklampsia (keracunan kehamilan) dan infeksi saat melahirkan, pernikahan dini, minimnya pengetahuan ibu terkait bahaya persalinan, sang ibu menderita anemia, fasilitas kesehatan yang tidak memadai, dll.
Di dalam dunia kerja, setiap kehamilan diakui secara umum dan medis sehingga “hamil” bukan kategori penyakit. Karena itu, dunia kerja sudah semestinya memahami dan member jaminan kesehatan lebih bagi buruh perempuan yang sedang dalam kondisi hamil. Apalagi beberapa perempuan hamil bisa mengalami muntah hebat hingga lemas atau yang disebut “Hyperemesis Gravidarum” (HG) hingga mengakibatkan dehidrasi yang bila tidak segera teratasi bisa berbahaya bagi kesehatan perempuan pekerja dan janin. Bila tetap dipaksa bekerja, bisa berakibat pada kematian. Oleh karena itu, pihak perusahaan berkewajiban menjaga dan menjamin kesehatan perempuan pekerjanya yang sedang hamil. Sayang, kewajiban tersebut masih banyak dilanggar.
Konferensi Perempuan Pekerja II https://www.youtube.com/watch?v=q65iT-5JjiU&feature=youtu.be
Artikel di atas adalah salah satu yang dihasilkan dalam Konferensi Perempuan Pekerja I, Desember 2014. Diterbitkan kembali untuk menyambut Konferensi Perempuan Pekerja II, 29 November 2015 di Karawang yang mengangkat tema “Berjuang Bersama untuk Hak Ibu di tempat kerja”