Sebagai negara demokrasi, adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum. Ini adalah amanah dalam konstitusi dan undang-undang dasar 1945. Namun, pada realitanya demokrasi masih sebatas slogan, dan ruang kebebasan berekspresi justru menjadi ajang pembatasan bagi rakyat yang kritis menyuarakan kepentingannya.
Pada Hari Perempuan Internasional/International Women Day (IWD) 2021, negara kembali mempertontonkan keangkuhannya. Dengan dalih menjaga kesehatan di masa pandemi, pasca aksi aparat kepolisian melakukan pemanggilan terhadap kawan Nining Elitos selaku penanggung jawab dalam Aksi yang diselenggarakan oleh GEBRAK / Gerakan Buruh Bersama Rakyat.
Tidak tanggung-tanggung, pasal yang digunakan menggunakan pasal berlapis yaitu 160/penghasutan dan 169/perkumpulan terlarang pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 93 Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam negara demokrasi, sungguh sangat disayangkan tindakan intimidatif oleh aparat kepolisian dalam perayaan Hari Perempuan Internasional ini, padahal agenda ini adalah momentum yang juga dirayakan oleh gerakan (perempuan) di seluruh dunia. Sikap kasar kepolisian di lapangan dalam bentuk membatasi massa aksi yang hendak menyampaikan aspirasinya, ini adalah bentuk pembungkaman terhadap suara-suara kritis perempuan, padahal kepemimpinan dalam Aksi Hari Perempuan Internasional kemarin pun telah memenuhi standar protokol kesehatan. Kenapa suara kritis dibungkam, kenapa pejabat negara yang juga melakukan kerumunan tidak dibubarkan? Kenapa diskriminasi itu terus diarahkan hanya untuk kaum tertindas, yaitu golongan 99%.
Pembungkaman terhadap suara kritis perempuan adalah persoalan politik. Ini bukan hanya semata-mata aksi IWD saja, tetapi musti disadari bahwa kita berada pada kekuasaan/rezim anti kritik dimana demokrasi dibungkam, demokrasi dikangkangi oleh penguasa dan pengusaha. Oligarki itu semakin nyata menindas dan menghisap kaum marjinal.
Negara sangat lincah memoles pasal-pasal untuk membungkam gerakan perempuan. Dan itulah sejatinya watak anti demokrasi yang sesungguhnya. Sikap kritis perempuan dalam menyuarakan pencabutan undang-undang Cipta Kerja, menuntut disahkannya: rancangan undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga – PPRT, penghapusan kekerasan seksual – PKS dan Ratifikasi Konvensi ILO 190 dibenturkan dengan polesan pasal-pasal dalam hukum yang sejatinya adalah pembungkaman atas kekritisan perempuan.
Memanfaatkan situasi pandemi untuk membungkam gerakan perempuan, sesungguhnya adalah standar ganda yang mendiskriminasi perempuan.
Padahal sejatinya kemajuan perempuan, suara-suara kritis perempuan bukan ancaman. Sebaliknya perempuan musti diberi ruang seluas mungkin dan difasilitasi oleh negara untuk pengembangan diri sehebat-hebatnya. Karena dengan begitu, perempuan juga bisa berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
(Jumisih-wakil ketua umum FSBPI)