Anak Muda dan Serikat Pekerja: Membangun Gerakan yang Relevan di Zaman Baru

Bagi Apri, pendiri SBPS (Serikat Buruh Progresif Sejahtera), titik baliknya terjadi ketika istrinya hendak melahirkan dan perusahaan lepas tangan soal BPJS. “Saya disuruh bayar tenda pakai uang pribadi,” katanya. “Waktu itu saya sadar, kami butuh serikat.”

Serikat Pekerja adalah gerakan sosial dan wadah kolektif. Pada tahun 2023, tercatat ada sekitar 4 juta pekerja yang berserikat. Angka ini mencakup pekerja muda, mengingat banyak anak muda lebih memilih bekerja membantu perekonomian keluarga ketimbang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Namun, masih banyak juga pekerja muda di sektor digital, kreatif, dan informal yang belum tersentuh oleh pengorganisiran Serikat Pekerja. Faktornya ada banyak, mulai dari gaya berorganisasi yang dianggap kaku, hingga kurang relate bagi anak muda. Seperti rapat yang terlalu panjang dan kecenderungan gen Z yang alergi terhadap struktur yang rigid.

Mereka lebih tertarik pada gerakan yang terbuka, egaliter, dan punya nilai yang bisa mereka rasakan langsung. Selain itu, mereka lebih aktif di media sosial yang relatif cepat dan dinamis.

Untuk menggali lebih jauh bagaimana Serikat Pekerja berupaya agar semakin relevan bagi anak muda, marsinah.id berbincang dengan tiga anak muda yang aktif di dunia Serikat Pekerja melalui sebuah talkshow bertajuk “Bagaimana Membangun Serikat Pekerja Supaya Makin Relevan Bagi Anak Muda”. Ketiganya berasal dari latar belakang yang berbeda namun konsisten mengorganisir dan menyatukan pandangan pekerja muda untuk berjuang bersama. Zaman selalu berubah tapi penindasan, diskriminasi, pelanggaran hak-hak pekerja selalu sama.

Moderator Iroy Mahyuni membuka diskusi dengan menyoroti fakta bahwa pekerja muda menghadapi tingkat kerentanan tinggi di pasar tenaga kerja seperti kontrak pendek, sistem kerja fleksibel, dan minim perlindungan hukum.“Kalau serikat mau menjaring anak muda, harus berani berubah,” ujarnya. “Kita butuh cara baru, tapi tidak kehilangan semangat perjuangan kelas.”

Membangun Serikat Lintas Sektor Bersama Pekerja Muda

Faisal, Salah satu pendiri Serikat merdeka Sejahtera (SEMESTA) berbagi cerita tentang pengalamannya mengorganisir anak muda. Awalnya, setelah lulus SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), Faisal langsung terjun ke dunia kerja. Dari pengalaman kerja yang sarat eksploitasi, Faisal mencari Serikat Pekerja di Jogjakarta.

Singkat cerita, Faisal bergabung dengan sebuah Serikat Pekerja, namun ia merasa tidak relate. Kebanyakan Serikat Pekerja yang didominasi bapak – bapak, membuat anak muda merasa tidak terwakilkan. Akhirnya, Faisal bersama 11 anak muda lintas sektor lainnya memutuskan mengorganisir serikatnya sendiri dengan harapan lebih mewakili semangat anak muda dan memiliki corak atau warna yang berbeda. Tentu saja dengan strategi yang berbeda, mampu mencegah pemberangusan Serikat Pekerja dan PHK yang demikian mudah dilakukan semena – mena oleh pemberi kerja.

Kini, SEMESTA sudah menjadi federasi yang terbentuk dari 6 serikat dari berbagai sektor yang beranggotakan 30-40% perempuan dengan total anggota adalah 800 pekerja. Mayoritas pengurus dan anggotanya merupakan pekerja muda, yang lahir di kisaran tahun 1997 ke atas.

SEMESTA berkeinginan mengubah sistem kerja yang lebih adil dan berpihak pada pekerja. Sejauh ini, setelah 4 tahun berdiri, SEMESTA sudah berhasil menyusun “dua” PKB yang berdampak pada 3000 pekerja.

Dalam melakukan pengorganisiran, media sosial menjadi pintu utama. Mereka aktif membaca algoritma, mencari tahu konten apa yang kerap dikonsumsi anak muda dan menempel poster kemenangan kasus di coffee shop yang dekat dengan rumah atau kos anak muda. Termasuk di dinding – dinding kampus, mengingat mahasiswa juga merupakan bagian kelas pekerja, pun banyak yang menjadi pekerja demi membiayai biaya pendidikan.

Strategi Komunikasi Kreatif dan Organisasi di Sektor Manufaktur

Berbeda sektor, tapi semangatnya sama. Serikat Buruh Progresif Sejahtera (SBPS) berdiri dari rasa marah dan pengalaman langsung atas ketidakadilan di tempat kerja. Di PT Safelock Medical, terjadi pelanggaran seperti PHK sepihak, BPJS tidak dibayarkan, tidak ada cuti melahirkan, hingga mutasi tanpa alasan jelas.

Bagi Apri, pendiri SBPS, titik baliknya terjadi ketika istrinya hendak melahirkan dan perusahaan lepas tangan soal BPJS. “Saya disuruh bayar tenda pakai uang pribadi,” katanya. “Waktu itu saya sadar, kami butuh serikat.”

Berawal dari diskusi antara 10 pekerja muda, mereka membicarakan bagaimana dan apa yang akan dilakukan kedepannya untuk menyelesaikan problem buruh.Dalam waktu sebulan, dari 10 pekerja berkembang menjadi 150 anggota dan bulan ke-2 keanggotaannya sudah meliputi setengah buruh di pabrik.

Mereka mengorganisir dengan gaya yang dekat dengan keseharian anak muda seperti selebaran, poster isu relevan, ngobrol di kantin, nongkrong sepulang kerja, dan diskusi santai di sekretariat.

Gerakan mereka menyebar cepat lewat mulut ke mulut. Melalui satu tongkrongan ke tongkrongan lain, dari status media sosial, informasi atau isu relevan mereka bergerak cepat ke satu circle ke circle lain. Benar, mereka bergerak sama cepatnya dengan sosial media.

Perspektif Hukum dan Advokasi untuk Pekerja Muda: LBH Semarang

Menurut Caca dari LBH Semarang, konsep kerja fleksibel yang sering dianggap simbol kebebasan justru menyembunyikan pergeseran tanggung jawab negara dan perusahaan terhadap hak normatif pekerja.“Fleksibilitas itu sering disamakan dengan kebebasan,” ujarnya, “padahal artinya pekerja disuruh menyesuaikan diri tanpa jaminan yang layak.”

LBH Semarang aktif melakukan pendidikan hukum kritis, seperti KALABAHU, untuk membantu pekerja muda memahami sistem kerja kontrak dan memperjuangkan hak mereka. Pekerja juga diajak ikut langsung dalam penyusunan gugatan dan proses advokasi.

Meski begitu, Caca mengakui tantangannya besar. “SDM kami terbatas, kasus banyak, dan pendekatan kami belum se-modern gaya Gen Z,” katanya. “Butuh waktu dan strategi untuk bisa masuk ke lingkar pekerja muda, apalagi perempuan.”

Menemukan Kembali Relevansi Serikat Pekerja

Dari tiga cerita di atas, satu hal menjadi jelas; anak muda bukan apatis terhadap serikat pekerja. Mereka hanya mencari bentuk gerakan yang relevan dengan gaya hidup dan nilai yang mereka yakini.

Gerakan buruh harus berani berevolusi tanpa kehilangan akar perjuangan kelas. Pendekatan yang lebih kreatif, terbuka, dan setara bukan berarti meninggalkan prinsip, melainkan menyegarkan kembali cara berjuang agar tetap hidup di generasi baru.

Seperti kata moderator Iroy Mahyuni,“Zaman berubah, tapi penindasan tetap sama. Karena itu, perjuangan buruh harus terus mencari cara baru untuk bertahan—dan anak muda adalah kuncinya.”

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

THR Itu Hak, Hasil Perjuangan Buruh. Bukan Hadiah

Melihat ketidakadilan ini, serikat buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan PKI, mulai bergerak. Mereka mengorganisir aksi mogok dan protes besar-besaran pada 13 Februari 1952 menuntut THR untuk semua pekerja

Malam dan Pabrik

Tampak seorang perempuan masuk di sebuah kamar berukuran 2 X 3, wajahnya kelihatan serius, kadang tampak bingung. Namun yang pasti ia sedang berpikir. Diletakkannya tasnya

Hanya Sedikit Waktu

Buruh KBN Cakung sedang menunggu di luar pabrik/Ari/dok dev.marsinah.id   Oleh Ari Widiastari   Di pabrikmu aku bekerja, Memperkaya pundi – pundi  hartamu.. Hanya sedikit

Sulitnya Belajar di Dunia Maya

Tahun 2020 adalah tahun yang banyak sekali musibah dan cobaan yang menerpa Indonesia. Tidak hanya di negeri kita, tapi di semua penjuru dunia. Di pertengahan