Selamat tahun baru 2015!
Setiap tahun baru selalu menyajikan sesuatu yang beda. Pun demikian dengan tahun 2015. Bila diingat – ingat, 2015 adalah setengah abad Pemerintah Orde Baru berkuasa setelah melengserkan Sukarno dan menghancurkan organisasi rakyat. Siapa yang tidak ingat dengan peristiwa 1965. Tentu kepala kita merekam peristiwa tersebut dari buku- buku sejarah di sekolah, tak lupa film G 30 S/PKI yang berdarah-darah itu, yang semuanya adalah versi Orde Baru. Bersyukurlah, kita kemudian disajikan dengan ulasan di balik peristiwa buram penuh misteri tersebut di masa reformasi, mulai dari buku hingga film. Berterimakasih pada reformasi 1998.
Organisasi Rakyat. Kosa kata itu terasa asing di telinga kita. Bukan karena ia lenyap dari kamus Bahasa Indonesia, tapi karena kosa kata itu hampir jarang sekali digunakan. Bukan hanya dalam hal penggunaan kosakatanya dalam pelajaran sekolah, percakapan keseharian, acara televisi dan sebagainya. Namun juga keberadaan organisasi rakyat itu sendiri, telah dihilangkan. Kita lebih sering menjumpai kosa kata PKK atau Dharma Wanita sebagai organisasi wanita, SPSI sebagai organisasi buruh, dan organisasi-organisasi lainnya yang rupanya adalah tunggal (organisasi yang dicontohkan di atas di beberapa desa/pabrik saat ini bisa saja mengalami perubahan). Organisasi rakyat yang banyak berdiri sejak pra kemerdekaan hingga era Sukarno, dibabat habis diganti dengan organisasi tunggal yang dikontrol langsung oleh Orde Baru. Rakyat dipangkas ingatannya tentang organisasi rakyat yang sebelumnya menjadi bagian dari sejarah dan kehidupannya. Elan partisipasi melalui organisasi rakyat dihabisi agar rakyat tak punya lagi kesadaran untuk turut ambil bagian dalam setiap kebijakan yang sebenarnya menentukan nasib dan masa depannya. Politik bukan urusan rakyat, karenanya tak perlu berorganisasi. Cukup jadi penyumbang suara ketika Pemilu lima tahunan, biarlah rakyat diwakili oleh perwakilannya yang tak ia kenal. Demokrasi langsung berupa unjuk rasa adalah kriminal, mengganggu, merusuh, pun suara kritik adalah perusak. Itulah Orde Baru. Maka sah bagi Orde Baru membunuh Marsinah, ketika sedang mogok menuntut upah bersama teman-temannya. Sah pula bagi Orde Baru menculik Widji Tukul, Udin, dan serentetan pertumpahan darah lainnya. Tumbangnya Orde Baru pun mengorbankan darah para penggerak yang hingga kini masih menjadi catatan buram penegakan HAM. Bahkan tak perlu menunggu dua dekade, aktor pelanggaran HAM lolos jadi calon presiden. Demikian halnya dengan aktor pelanggaran HAM lainnya masih leluasa bercokol dalam pemerintahan, bebas berpartai dan tampil di hadapan rakyat bak pahlawan.
Segarnya reformasi memang membuka ruang bagi rakyat untuk membangun kembali organisai rakyatnya, termasuk buruh dan perempuan. Kebebasan berorganisasi terlihat dari semakin banyaknya organisasi serikat buruh bermunculan, baik yang berasal dari pecahan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) maupun yang baru. Meski, mayoritas buruh masih banyak yang belum berorganisasi karena masih minim kesadaran berorganisasi. Ditambah lagi semakin banyaknya hambatan berorganisasi seperti ancaman PHK, sistem kerja kontrak/outsourcing, union busting atau pembrangusan serikat. Hingga kini segala cara masih dicoba untuk menerobos hambatan. Buruhpun mulai belajar berlawan melalui pemogokan – pemogokan, blokade jalan, tutup tol, pendudukan – pendudukan pusat kekuasaan dan masih banyak lagi.
Reformasi juga menyumbangkan persebaran wacana dan gerakan pembebasan perempuan di kalangan serikat buruh. Pembangunan departemen-departemen perempuan, penentuan kuota 50% bagi perempuan untuk duduk di kepengurusan serikat buruh hingga aksi peringatan Hari Perempuan Internasional, mulai berlangsung. Belum maksimal tentu saja, dibutuhkan kepentingan dan upaya lebih kuat agar semakin hebat lagi gerakan buruh bicara soal pembebasan perempuan, dari persoalan cuti haid, cuti hamil, pojok ASI, hingga soal KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), perkosaan, pelecehan seksual, dan serentetan problem perempuan. Sensifitas serikat buruh terkait problem khusus perempuan penting untuk ada, agar buruh perempuan tahu kemana harus mengadu mana kala ia menjadi korban. Bagaimanapun, serikat buruh adalah wadah terdekat bagi buruh perempuan untuk mengadukan persoalannya dari persoalannya sebagai buruh maupun sebagai perempuan.
Besar tantangan untuk menjadikan agenda pembebasan perempuan sebagai agenda gerakan buruh dan rakyat. Pun besar tantangan untuk membangun kembali organisasi rakyat yang telah dihancurkan 50 tahun silam. Hambatan terbesar masih ada di politik Orde Baru, karena aktor – aktornya masih kokoh berdiri, insitusi tentara seperti komando teritorial masih tak tersentuh dan masih berkuasa terutama di Papua hingga nyawa terus berjatuhan tanpa pembelaan dari Presiden yang katanya kerakyatan itu. Pemutaran Film Senyap masih dilarang, dituding makar, hendak gantikan Pancasila dan terakhir dinyatakan tidak lulus sensor, pun aksi – aksi buruh masih dianggap kriminal, dan perempuan masih banyak jadi korban perkosaan dan dipersalahkan, petani banyak dirampas tanahnya, menwa (resimen mahasiswa) dihidupkan kembali serta masih banyak lagi dan lagi. Sementara media mainstream terus memproduksi kesadaran palsu, menggadaikan frekuensi publik untuk kepetingan segelintir orang. Media mainstream memperbanyak pembodohan, di sisi lain aksi pencerdasan masih terhalang dan sedikit celah. Tapi dari celah – celah itulah ia akan berkembang menemukan elannya. Sehingga, adalah mungkin, rakyat berpartisipasi membangun medianya sendiri. Media komunitas, medianya rakyat.
Dan semua itu adalah tugas kita, rakyat, untuk menjawab tantangan itu. Ya, kitalah rakyat yang akan menjadi biji – biji perlawanan, penyebar virus keberanian, kecerdasan melawan Politik Orde Baru. Cukup setengah abad saja, Politik Orde Baru bernafas. 2015, jadilah tahun berlawan. Tahun organisasi rakyat menemukan dirinya kembali.