Search
Close this search box.

Sebuah Resensi Film; Dispereert Niet (Jangan Berputus Asa)

Luister naar Ons! (Dengarkan kami!)

Dispereert Niet adalah sebuah film karya Irwan Ahmett, Tita Salina dan Rangga Aditiawan. Film ini berbentuk film dokumenter mengenai konteks kehidupan dan pekerjaan para buruh migran Indonesia yang bekerja di Belanda. Tidak hanya sekadar dokumenter dan interview biasa melainkan dalam film ini dikemas sesuai dengan keadaan yang dijalani oleh teman-teman buruh Indonesia yang  sungguh sangat membuat kita merasa dan akan memaknai secara mendalam bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari di Belanda dengan segala suka dan duka. Dalam film ini juga mengangkat keadaan mereka dalam konteks pekerjaan yang antara lain tempat kerja yang tidak layak, upah yang tak layak bahkan ada yang tidak dibayar, jenis pekerjaan yang berat, permasalahan sosial dan incaran para polisi Belanda. Permasalahan sosial yang diangkat disini adalah hidup berkeluarga, hidup berkumpul dengan kawan-kawan, berolahraga secara bebas, isu transgender, kursus bahasa dan isu kesehatan serta proses pemulangan kembali ke tanah air. Semua isu-isu itu dikemukakan dan disajikan di dalam film ini.

Kehidupan mereka yang menginginkan untuk didengarkan, dipahami, dan ingin diakui sebagaimana manusia adanya, kenyamanan, kehidupan yang layak, dan pekerjaan yang layak menjadi beberapa contoh dari keluhan mereka yang tidak mampu mereka dapatkan pada saat ini. Film dibuka dengan seruan Luister naar Ons! (Dengarkan kami!) oleh kawan-kawan buruh migrant di dalam terowongan di kota Amsterdam. Seruan itu menyimbolkan suara-suara yang ingin didengar. Terowongan ini menjadi tempat persembunyian sekaligus tempat tinggal buruh-buruh migrant. Kehidupan yang lebih layak dan pekerjaan yang menjadi target untuk di kemudian hari mampu menjadi yang lebih baik lagi terlebih bisa untuk menghidupi keluarga ternyata menjadi angan-angan bagi mereka dikarenakan tingkah laku manusia yang tidak manusiawi seperti penipuan yang dilakukan oleh para agen-agen buruh migran khususnya yang menyebabkan kerugian puluhan juta rupiah. Perjanjian akan jaminan pekerjaan dan kehidupan serta masa depan yang cerah memanglah nyata pada awalnya, namun sesampainya di sana, teman-teman buruh Indonesia ini ditelantarkan dan tidak ada komunikasi sama sekali, sehingga membuat buruh migran tidak mengetahui langkah apa yang seharusnya diambil dan apa yang harus mereka lakukan. Maka untuk itu jugalah, mereka terpaksa menjadi buruh undocumented  atau buruh ilegal.

Kelangsungan hidup yang tidak lepas dari kejaran polisi ini membuat mereka semakin tidak merasa nyaman. Sementara untuk dapat memenuhi persyaratan menjadi buruh yang legal (documented) mereka haruslah memiliki biaya yakni dengan bekerja terlebih dahulu. Sayangnya, dengan faktor yang menghalangi seperti bahasa, visa tinggal, paspor yang tidak bisa diperpanjang, visa untuk bekerja, dll, membuat mereka menjadi buruh yang undocumented. Tidak hanya itu, mereka bekerja dengan upah yang kurang layak dan bahkan ada yang tidak dibayar sehingga semakin mempersulit mereka untuk memenuhi persyaratan yang ada demi memenuhi persyaratan menjadi buruh documenter. Adapun alternatif lainnya seperti dipulangkan kembali ke Indonesia menjadi suatu “trauma” bagi mereka dikarenakan banyak faktor. Di Indonesia mereka belum tentu bisa memperolah lapangan pekerjaan dan juga dengan isu penghasilan yang kurang memadai. Sementara dengan penghasilan mata uang yang berbeda nilai harganya dengan Indonesia menjadi sesuatu yang sangat membantu mereka dalam bidang finansial. Tentulah ini menjadi situasi yang kompleks. Dalam prinsipnya, terkait dengan simbol seperti patung JP Coen yang bagi warga Belanda dimaknai dengan seorang pahlawan yang pada masa penjajahan mempekerjaan secara paksa warga Indonesia membangun kota batavia atau Jakarta, namun dalam kacamata Indonesia merupakan penjajah. Tentulah ini membuat pola pemikiran bangsa Belanda untuk memperlakukan para buruh migran Indonesia khususnya berbanding terbalik dengan apa yang dibayangkan para buruh migran yang pergi ke Belanda untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih layak. Film ini ditutup dengan adegan kawan-kawan buruh migrant yang keluar dari trowongan tempat persembuyian mereka dan menyatakan bahwa mereka berani untuk menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi di Belanda.

Dalam film ini terdapat simbol-simbol yang memiliki makna yang kuat dan berhubungan dengan migrasi dan buruh migrant. Simbol-simbol ini terlihat, namun hanya sedikit orang yang melihatnya dan mengerti. Film ini mengangkat isu tentang visibility, buruh migran undocumented ingin dianggap dan dihargai oleh masyarakat. Simbol-simbol yang ada di dalam film tersebut antara lain adalah gaungan keras “Luister naar Ons!”, cahaya yang dibawa oleh para buruh migrant, coklat uang Euro, Lucht alarm dan patung JP Coen.

Refleksi dari Film

Apa yang menjadi tuntutan dari para buruh migran Indonesia dalam film ini tidak banyak. Mereka hanya ingin mendapatkan pekerjaan, kehidupan dan masa depan yang lebih baik serta kebahagian dan kenyamanan dalam berkehidupan. Sayangnya, janji para agen yang tadinya “tulus” sebenarnya adalah “bulus” dan tidak nyata adanya seperti yang terlontar dari mulut mereka. Para agen buruh migran ini memanglah melihat para buruh sebagai manusia, namun tidak mampu untuk memanusiakan manusia. Melakukan penipuan, tidak perduli dengan nasib yang akan dijalani oleh para buruh migran yang mereka bawa ke negeri orang. Sungguh ini menjadi suatu fenomena kemanusiaan yang sangat miris ketika warga negara justru tidak memikirkan nasib sesama warganya sendiri hanya karena materi

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Mengenal Perempuan Korban dan Penyintas KDRT Melalui Badru (Darling) dan Lesti Kejora

Badru, hanya satu dari perempuan yang yakin bahwa suaminya melakukan kekerasan akibat kecanduan alkohol. Meski hampir setiap hari lebam membiru, setiap hari pula Badru menyangkal suaminya adalah pelaku kekerasan. Ia hadirkan sejuta dalih, alkohol. Sebagai istri, Badru berkeras menyembuhkan Hamza, suaminya dari kecanduan alkohol. Ia bahkan memesan racikan obat khusus yang dimasukkan diam – diam ke makanan yang dihidangkannya untuk Hamza. Apa yang terjadi? Badru kembali menerima pukulan bertubi – tubi, menambah deretan lebam di setian jengkal tubuhnya.

KAWAN, AYO AMBIL HAK CUTI HAID MU

Oleh Adon Dalam situasi UMP 2015 sebesar 2,7 juta  dan penerapannya masih saja ada ditemukan pelanggaran di KBN CAKUNG, insentif cuti haid dihilangkan. Cuti haid

Habis Gelap, Terbitlah Terang

Gadis Jepara Cerdas yang Menolak Beasiswa Apa jadinya, bila kala itu Kartini tetap menerima beasiswa untuk belajar Ke Belanda dan tidak memberikannya pada seorang pemuda

Buruh Perempuan Melawan Pingitan Kerja

Pingit, budaya yang melarang perempuan aktif di sektor publik, ternyata masih ada hingga zaman modern. Budaya ini kembali muncul di zaman modern dalam bentuk belenggu