Oleh Dian Septi
Malam Pengaduan
Malam itu, sudah cukup larut. Hampir tengah malam, mata mulai terpejam. Namun, ketukan pintu membangunkan saya dari pembaringan. Tampak satu keluarga dengan seorang bapak, istri, dan anak gadis usia awal duapuluhan tahun, serta satu lagi anak perempuannya berusia 30an tahun dengan anak kecil sekitar 8 tahun. Sang ayah mengucap salam dan saya hanya mengangguk heran. Saya persilahkan satu keluarga itu duduk di ruang tamu, ruang tamu sekretariat serikat saya tentu saja, saya tak ada tempat tinggal atau rumah. Ya, saya tinggal di sekretariat dengan beberapa teman pengurus serikat buruh.
Sang ayah lalu berkisah, bukan tentang dirinya tapi anak gadisnya yang berusia 20 an tahun tadi. Anak gadisnya sebut saja bernama Ina, telah dipaksa mengundurkan diri hari itu. Tepat di bulan ramadhan, ketika sedang mempersiapkan diri untuk hari lebaran, hari raya dimana kita membukakan pintu maaf. Ina lalu bercerita
“Aku dipaksa mengundurkan diri mbak sama personalia, dia menggebrak meja jadi ya aku tanda tangan, tapi..”
Belum selesai anak gadis ini meneruskan ceritanya, sang ayah memotong dan meneruskan ceritanya. Saya menarik napas panjang, lalu meminta sang ayah bersabar sebentar, membiarkan anaknya bicara.
Ina memberikan copian surat pengunduran dirinya. Ia bercerita bagaimana ia menolak memberikan uang setiap bulannya kepada pengawas dan personalia setiap menerima gaji. Menurut Ina, teman-temannya kerap memberi uang per bulan kepada personalia agar tetap bisa bekerja di situ. Ina beranggapan, karena itulah ia didepak dari tempat kerjanya. Apesnya, pengawas juga kesal sekali dengan Ina, mungkin juga dengan alasan yang sama.
Di KBN Cakung, setoran uang kepada atasan adalah hal lazim. Demi tetap bekerja di sebuah perusahaan, buruh tak segan – segan memberikan uang kepada pengawas, chief hingga personalia. Kepastiaan kerja, sudah menjadi hal istimewa bukan hanya bagi buruh kontrak, namun buruh tetap seperti Ina. Ina tampak syok ketika dipaksa mengundurkan diri, bahkan sepeser pun ia tidak menerima uang pisah, apalagi pesangon. Personalia tak peduli bilapun waktu itu adalah bulan suci Ramadhan. Yah, keuntungan berupa tidak memberi pesangon, uang pisah ataupun THR (Tunjangan Hari Raya) tak perlu menunggu Ramadhan berlalu.
Personalia Menolak Bertemu
Personalia menolak bertemu, saya dan teman-teman tim advokasi lain tidak kaget. Para majikan enggan bertemu dengan pengurus serikat bila berkaitan dengan pelanggaran yang mereka lakukan. Kamipun berupaya menghubungi serikat buruh di perusahaan tersebut. Ya, di tempat Ina bekerja, sudah ada serikatnya. Dalam satu kesempatan, saya dan teman-teman tim advokasi FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik) bersua dengan ketua serikat di perusahaan tersebut. Sebut saja, namanya Edi. Edi menyatakan akan berunding dengan manajemen. Di saat bersamaan, kami mengirimkan surat pengajuan perundingan. Karena personalia menolak turut campur dari serikat di luar serikat perusahaannya, ia menyanggupi berunding dengan Edi.
Ketakutan, memang manusiawi. Setiap kita punya rasa takut. Tapi rasa takut yang terus menerus itu akan membuat kita menjadi budak, menjadi tidak manusiawi karena membiarkan martabat jatuh begitu saja tanpa pembelaan. Ina, di hadapan personalia, ketika Edi mengajaknya berunding dengan personalia, justru menyatakan dirinya lah yang bersalah dan tidak ada paksaan mengundurkan diri. Ia mengundurkan diri secara suka rela.
“Aku takut mbak, habisnya dia melototin saya terus” dengan alasan rasa takut ini, Ina menempatkan dirinya dalam situasi yang tidak menguntungkan. Saya menghela napas panjang, Edi kehabisan akal. Akhirnya kami menjadikan advokasi atas dirinya sebagai advokasi bersama antar serikat, kami bertemu dengan pimpinan federasinya dan berencana langsung ke ruang manajemen. Tak hanya itu, kami mengajak belasan anggota kami untuk datang ke perusahaan itu. Belum sampai pada tahap aksi massa untuk menekan sang personalia. Tidak, kami masih berupaya berunding, hanya saja tanpa surat terlebih dahulu. Kami, tim advokasi bersama, langsung masuk ke perusahaan dan mendatangi ruang manajemen. Baru dengan cara demikian, personalia tidak bisa mengelak.
Pertemuan dengan personalia ini memiliki makna yang penting, karena di momen inilah, Ina berhasil mengatasi rasa takutnya. Beberapa hari sebelumnya, Ina sudah berlatih untuk berani bicara. Ya, Ina bicara dengan agak suara bergetar
“Bapak menyuruh aku mengundurkan diri, Bapak memaksa dengan menggebrak meja, karena itu aku tanda tangan. Pengakuanku di perundingan sebelumnya keliru, itu karena aku takut ketika Bapak melototin aku”
Perundingan belum selesai, tapi memaksa Personalia menerima tim advokasi, keberanian Ina yang mulai tumbuh adalah suatu hal. Ina memperoleh pengalaman baru, mengatasi rasa takut.
KDRT dan Pembatasan Oleh Keluarga
Ina tampak gembira ketika bisa berkunjung ke Menakertrans dan Monas bersama salah satu tim advokasi kami. Tentu saja kami heran. Ina kemudian bercerita
“Aku, ga pernah keluar mbak. Mama melarang malah nyuruh aku kawin sama pacarku padahal baru seminggu pacaran. Makasih yo mbak karena diajak jalan-jalan ke menakertrans juga ke monas”
Usut punya usut, ternyata setiap upah yang diterima Ina, tak pernah sedikit pun ia merasainya. Semua upah itu diberikan pada sang ibu. Menurut penuturannya, sang ibu sering dipukul ayahnya bila uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga kurang. Ayahnya hanyalah supir Ojek Pangkalan yang sudah pasti bakal tergusur oleh Go Jek, pendapatannya tak tentu. Karena kemiskinan ini, Ina memutuskan berhenti sekolah di SMU dan bekerja menjadi Helper. Dengan mencari uang, Ina berharap, ayah tidak akan memukuli ibunya lagi. Tapi Ina salah. Pemukulan terus terjadi.
Karena ibunya tak mau nasib Ina sama seperti dengan dirinya, maka sang ibu mengekang ruang gerak Ina. Ia tak boleh bergaul di luar rumah dan ingin segera menikahkan Ina pada seorang lelaki yang disetujui oleh sang ibu. Lelaki itu adalah pacar Ina yang baru seminggu menjalin kasih dengannya. Hanya kebetulan sang ibu suka, Ina diminta segera menikah. Ina tak mau. Ia berharap punya keberanian lebih untuk menolak
Tentang pemukulan atau KDRT, sang ibu sudah mengadu kepada kami. Ingin rasanya ia bercerai dari suami tapi selalu takut. Pukulan demi pukulan ia terima, tanpa sanggup ia lawan. Sang ibu merasa ia harus menjaga Ina, anaknya dengan membatasi pergaulannya, agar tidak bertemu lelaki yang salah. Sayang, sang ibu tidak menyadari bahwa dengan mengekang anaknya, menciptakan kekerasan baru bagi sang anak.
Penindasan Ganda dan Rantai Kekerasan
Ina adalah korban. Korban dari pengusaha nakal yang tak segan merampas hak buruhnya demi keuntungan berlipat. Ina juga adalah korban dari Kekerasan dari kedua orang tuanya. Ruang gerak yang terbatas membuatnya tak mengenal banyak hal. Kesempatan atas hidupnya sendiri, bergaul, memperoleh hal baru, lingkungan baru, pengetahuan baru. Bahkan akses terhadap uang hasil jerih payahnya sendiri.
Ibu Ina sendiri adalah korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dari seorang suami yang tak sanggup bersaing dalam pasar tenaga kerja. Melakukan kekerasan pada yang dianggap lebih lemah (perempuan dan anak), merupakan salah satu cara menuangkan kekesalan. Tanpa disadarinya, sang ibu menjadi salah satu mata rantai kekerasan kepada Ina dengan mengekangnya dari kehidupan sosial.
Persoalan – persoalan seperti yang dialami Ina, bisa dihadapi dengan advokasi darurat dan penyatuan gerakan yang sensitif dengan persoalan keseluruhan masyarakat. Buruh, sebaiknya sensitif tak hanya pada persoalan buruh tapi juga persoalan rakyat lainnya seperti persoalan perempuan, penindasan minoritas, problem demokrasi dll. Demikian sebaliknya. Sensitifitas atau kepekaan itu tidak muncul dengan sendirinya. Ia bisa muncul melalui praktek – praktek persatuan dan program bersama. Ini hanya secuil kisah, semoga Ina menjadi kuat dengan terlibat dalam perjuangan.