Chiu Chin (Qiu Jin) adalah seorang aktivis feminis, juru didik dan martir revolusi China. Ia terlahir dari keluarga terdidik dan merupakan cucu dari seorang pegawai Pengadilan Istana. Orang tuanya yang amat menghargai pendidikan, mendorong Chiu Chin supaya mendapat pendidikan sastra meski ia adalah perempuan dan secara adat, tidak diperbolehkan. Sebelumnya, sang ibunda menyerah mengajarkan putrinya menjahit dan berbagai ketrampilan rumah tangga karena Chiu Chin lebih tertarik membaca dan mengendarai kuda.
Namun, Chiu Chin tetap tak terhindar dari pernikahan yang diatur atau melalui perjodohan. Di usia 18 tahun ia menikah dengan Wang dan pindah ke Beijing, yang sedang kisruh politik setelah China kalah oleh Jepang (1894-1895). Di tengah kisruh itu, korupsi meraja lela di tubuh dinasti Ming dan kekuatan asing mulai masuk.
Meninggalkan Pernikahan, Mengejar Ilmu ke Jepang
Menentang suaminya yang konservatif, Chiu Chin pun belajar pedang, minum anggur, dan mengenakan baju lelaki di depan umum. Gagasan feminis revolusionernya membuat ia menjad pelopor gerakan perempuan China. Ia mendirikan sekolah khusus perempuan dan mengkampanyekan anti “pelipatan telapak kaki perempuan” (dalam adat China, sedari kecil, telapak kaki perempuan dilipat hingga patah tulangnya) dan perbudakan seksual.
Di usianya yang ke 29, tepatnya di tahun 1904, ia meninggalkan pernikahannya beserta kedua anaknya untuk melanjutkan sekolah ke Jepang. Atas pilihannya itu, banyak masyarakat yang kemudian mengecamnya. Kepada suaminya, Chiu Chin berujar “Gagasan kita tak sama” “kita seperti hidup dalam penjara. Aku tak tertarik tinggal di neraka, pun aku tak mau kau juga tinggal di neraka itu. Itula kenapa kita lebih baik berpisah”.
Kala itu, Jepang tampak lebih maju dibanding China dan menyediakan banyak landasan pengetahuan bagi gagasan revolusioner. Itulah kenapa Chiu Chin tertarik belajar ke Jepang dan akhirnya ia bersekolah di Sekolah Praktek Perempuan di Jepang dan membentuk kelompok perempuan. Ia juga menyerukan kepada perempuan China untuk menjual maharnya dan melanjutkan sekolah ke Jepang. Gagasan kritisnya pun mulai tertuang dalam tulisan. Ia menyebarkan tulisannya ke kalangan perempuan yang kurang melek huruf. Chiu Chin juga menjadi perempuan pertama yang terlibat dalam aliansi revolusioner Sun Yat Sen.
Memakai Ilmu Untuk Memberontak
Pada 1906, Chiu Chin memutuskan kembali ke Cheijiang, China, karena ibunya sakit. Di kota ini, ia turut mengajar di Universitas Tatung jurusan Kultur Fisika dan mendirikan cabang sekolah Liga Revolusioner. Ia kemudian pindah ke Sanghai dan bekerja di sebuah pabrik peledak klandestin, serta mendirikan sebuah koran perempuan radikal. Melalui jaringan bawah tanah, ia membangun pasukan bersenjata yang ia pimpin dan memberontak pada tahun 1907 di Shanghai.
Sayang, pemberontakan itu gagal dan Chiu terpaksa bersembunyi. Namun, akhirnya ia tertangkap dan tetap menolak berbicara meski disiksa sedemikian rupa. Untuk menjatuhkan vonis, Kerajaan Dinasti Ming menjadikan dua puisinya sebagai bukti bahwa ia bersalah. Chiu Chin pun dipenggal kepalanya. Pada masanya, ia dilihat sebagai martir. Sun Yat Sen bahkan menghadiri pemakaman kembali jenazahnya setelah penggulingan dinasti Qing pada tahun 1912. Xu Zihua menulis di batu nisannya, sebuah frasa
“Ah, lambat laun. Sebuah ancaman sinar buyar di kegelapan kelam dunia perempuan, yang tertutup semua pintunya, untuk 4 kali dalam seribu tahun masih ada hingga saat ini.”
“Kami, perempuan mencintai kebebasan, menaikkan segelas air anggur untuk kebebasan kami. Biarlah surga melimpahkan kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Kita akan bangkit melawan, ya! Kita bangkit!