Negara yang Memerintah dengan Kematian: Ketika Tubuh Warga Dijadikan Alibi Kekuasaan

Dalam politik kematian, tubuh warga menjadi peta kekuasaan. Tubuh orang miskin, tubuh perempuan pekerja, tubuh buruh, tubuh masyarakat adat, tubuh aktivis dan demonstran, tubuh queer dan minoritas lainnya, semuanya dianggap lebih “boleh” mati. Ketika mereka dibunuh, dibungkam, atau dibiarkan tanpa perlindungan, negara tidak merasa bersalah. Karena sejak awal, kehidupan mereka tidak dianggap setara.

Di banyak rezim militer dan pemerintahan fasis di berbagai belahan dunia, ada satu pola kekerasan yang berulang dan mudah dikenali: warga yang bersuara kritis tiba-tiba menghilang, lalu ditemukan meninggal dengan cara yang tampak “wajar”—terbakar, terdampar di sungai, mengapung di laut, tergeletak di pinggir jalanan kota, atau membusuk di hutan. Pola semacam ini bukan kebetulan, melainkan metode kekuasaan yang memerintah, bukan hanya dengan undang-undang, tetapi dengan menebar ketakutan.

Rezim yang memerintah dengan ketakutan tidak sekadar menegakkan hukum melalui aparat bersenjata, tetapi juga melalui kematian yang dirancang sebagai pesan. Tubuh dijadikan medium komunikasi politik. “Kecelakaan” dibuat tampak alami, padahal ia adalah pembungkaman yang disamarkan.

Fenomena ini bukan cerita asing bagi sejarah politik Indonesia, dan bukan pula kisah yang nun jauh di sana, di berbagai negara lain yang hidup di bawah bayang represi keras manusia atas manusia lainnya. Kita telah melihatnya berulang kali: suara rakyat dipatahkan bukan hanya dengan pasal karet, tetapi dengan tubuh-tubuh yang ditemukan tak bernyawa di sungai, di pantai, di pinggir jalan, di hutan, di kebun industri, di bangunan terbengkalai.

Dan setiap kali satu tubuh ditemukan, negara hadir dengan narasi yang tampak rapi, penjelasan yang menenangkan, dan kesimpulan yang dibuat seolah-olah tanpa cela. Namun justru di situlah kekuasaan membunuh dua kali: pertama, dengan melenyapkan seseorang; kedua, dengan membungkam kebenaran melalui dusta yang disebut “penjelasan”.

Kematian yang Disamarkan: Doktrin Global Rezim Otoriter

Berbagai organisasi hak asasi manusia di Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Timur Tengah telah mencatat dan mendokumentasikan pola kekerasan yang hampir identik. Aparat negara, sering bekerja sama dengan preman, kelompok kriminal, atau pembunuh bayaran, melacak dan membungkam suara-suara kritis melalui pembunuhan yang dirancang agar tampak “tidak politis”. Kematian dipoles menjadi “kecelakaan”, “bunuh diri”, atau “perkelahian biasa”. Pembunuhan disulap menjadi peristiwa yang tampak tidak sengaja, spontan, tanpa motif kekuasaan.

Di Filipina, di bawah pemerintahan Duterte, berbagai laporan Human Rights Watch mengungkap pola eksekusi di jalanan yang dilakukan oleh polisi dan sosok-sosok bertopeng atau “orang-orang tak dikenal” yang ternyata bekerja serupa jaringan informan dan preman bayaran. Di Pakistan dan Bangladesh, aktivis HAM ditemukan di sungai atau pinggiran kota dengan penjelasan narasi yang seragam: “bunuh diri”, “overdosis”, “kecelakaan malang”.

Sementara di Amerika Latin pada masa Operasi Condor, diktator-diktator bekerja dalam jaringan transnasional untuk menghilangkan, menyiksa, lalu “membuang” tubuh para aktivis, buruh, pemimpin komunitas, dan mahasiswa. Hutan, gurun, sungai, dan laut dijadikan tempat pembuangan atau ruang penyangkalan. Tubuh-tubuh dibiarkan seolah mati karena kondisi alam dan ditemukan agar ketakutan menyebar, tanpa meninggalkan jejak hukum.

Prinsip yang menopang semua pola ini memiliki kesamaan inti: kekuasaan menggunakan kekerasan terselubung dengan tangan tambahan. Negara tidak membunuh sendirian. Ia meminjam tangan preman, kelompok vigilante, organisasi paramiliter, sindikat penghilangan paksa, geng kriminal, hingga warga yang diadu domba, untuk menciptakan jarak antara negara dan kejahatannya.

Dengan cara tersebut, negara memperoleh apa yang disebut plausible deniability atau kemampuan untuk berkata “bukan kami”, walau jejak politik dan pola kekerasannya jelas. Negara menciptakan kekerasan, tapi menyangkal hubungan strukturalnya.

Dalam rezim militer Pakistan, mahasiswa kritis sering ditemukan “bunuh diri” dengan cara yang selalu sama. Di Brasil di masa Bolsonaro, aktivis lingkungan tewas dalam “perkelahian kecil” yang tidak pernah diusut tuntas. Di Mesir, tubuh aktivis yang penuh luka penyiksaan diberitakan meninggal karena “gagal jantung”.

Pola Indonesia tidak berdiri sendiri. Ia bagian dari arsitektur kekerasan global yang menjadikan: tubuh sebagai pesan, kematian sebagai peringatan, dan manipulasi narasi sebagai tameng hukum. Dan ini bukan sekadar tindakan represif, melainkan strategi politik yang matang. Ia dirancang untuk memutus keberanian kolektif, melumpuhkan solidaritas, dan menanam ketakutan yang bekerja dalam diam, jauh setelah tubuh dikuburkan.

Indonesia dan Jejak Kekerasan yang Berulang

Di Indonesia, kematian yang disamarkan bukan peristiwa langka, melainkan bagian dari pola pemerintahan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Negara membangun kekuasaannya dengan ancaman dan operasi senyap di atas ingatan yang dilenyapkan, catatan yang dihapus, dan pelaku yang tidak pernah diadili.

Sejak 1965, tubuh-tubuh yang dibuang di sungai, di sumur, di jurang, atau di ladang tebu menjadi tanda bahwa pembunuhan politik bisa dilegalkan dengan satu kata: komunisme. Setelah itu, dalam berbagai babak sejarah, kekuasaan terus menggunakan cara yang sama; menciptakan konflik horizontal untuk melicinkan pembunuhan vertikal, menghilangkan, menakut-nakuti, lalu menuliskan ulang kenyataan dengan narasi yang menguntungkan penguasa.

Di masa Orde Baru, negara mengatur hidup warga sampai ke detail yang paling pribadi. Perempuan diatur tubuhnya, buruh diatur suaranya, mahasiswa diatur pikirannya. Ketika satu orang menolak diatur, negara menganggapnya ancaman terhadap tatanan.

Kasus Marsinah adalah puncak dari mekanisme itu. Seorang buruh perempuan yang menuntut hak normatif ditempatkan sebagai ancaman politik. Tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan, dengan luka-luka yang berbicara lebih keras dari propaganda negara. Namun negara bergegas menutup kasusnya. Penyidik dipaksa membuat narasi bahwa Marsinah tewas karena “urusan pribadi”, bukan karena perlawanan buruh.

Skenario serupa kemudian diulang pada banyak kasus lain: dari pembunuhan aktivis lingkungan, pembunuhan misterius terhadap warga di are konflik agraria, penghilangan paksa, hingga kematian di tahanan polisi. Polanya sama; ancaman, pengintaian, kekerasan oleh aktor tak dikenal hingga perkelahian massal dan kecelakaan tunggal.

Pada setiap peristiwa, ada pola serupa: negara terburu-buru menenangkan publik dengan penjelasan, bukan menegakkan kebenaran.

Kekuasaan yang Menentukan Siapa yang Layak Hidup

Filsuf politik Achille Mbembe menyebut sistem seperti ini sebagai necropolitics—politik kematian. Ia menjelaskan bagaimana negara modern tidak hanya memutuskan siapa yang berhak hidup, tetapi juga siapa yang boleh mati, dan siapa yang kematiannya boleh diabaikan.

Dalam kerangka ini, kekuasaan bukan lagi tentang mengatur kehidupan warga, melainkan tentang mengatur kematian: siapa yang dilindungi, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang bisa dibiarkan lenyap tanpa konsekuensi hukum atau moral.

Dalam politik kematian, tubuh warga menjadi peta kekuasaan. Tubuh orang miskin, tubuh perempuan pekerja, tubuh buruh, tubuh masyarakat adat, tubuh aktivis dan demonstran, tubuh queer dan minoritas lainnya, semuanya dianggap lebih “boleh” mati. Ketika mereka dibunuh, dibungkam, atau dibiarkan tanpa perlindungan, negara tidak merasa bersalah. Karena sejak awal, kehidupan mereka tidak dianggap setara.

Di titik inilah kita bisa melihat betapa berbahayanya kekuasaan yang tidak pernah diadili. Negara yang terbiasa membunuh tanpa konsekuensi akan terus mengulangi kekerasan, hanya dengan wajah baru. Kadang berseragam militer, kadang berjubah moralitas, kadang berbicara atas nama keamanan, pembangunan, atau agama. Namun substansinya sama: negara menegakkan ketertiban dengan cara mencabut kehidupan.

Ingatan sebagai Bentuk Perlawanan

Kekuasaan yang memerintah dengan kematian selalu berupaya menghapus jejak. Ia tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga berupaya membunuh ingatan. Itulah sebabnya, perlawanan pertama terhadap kekuasaan semacam ini adalah “menolak lupa”. Ingatan menjadi tindakan politik.

Menyebut nama korban, menulis dan mendiskusikannya, juga mendokumentasikan fakta, semua itu adalah cara untuk menolak “kematian menjadi sekadar statistik”. Membicarakan Marsinah, Wiji Thukul, Theys Eluay, Munir, hingga ratusan nama lain yang tidak pernah diberitakan atau diceritakan, semuanya adalah bagian dari upaya untuk menjaga agar kematian tidak menjadi bahasa kekuasaan tunggal.

Menghidupkan kembali nama mereka bukan sekadar mengenang, tetapi juga membalik posisi kekuasaan: dari tubuh yang dibungkam menjadi tubuh yang berbicara; dari korban menjadi saksi yang menggugat negara.

Dalam ruang ini, seni, tulisan, dan aksi kolektif menjadi bagian dari perlawanan. Setiap mural yang dibuat, setiap artikel yang ditulis, setiap nyanyian yang diulang di jalanan, adalah upaya menghidupkan kembali mereka yang telah dibungkam dan dihilangkan.

Analisis Feminis atas Politik Kematian

Pendekatan feminis bisa membantu kita melihat dimensi yang sering diabaikan dalam analisis kekuasaan: siapa yang menanggung beban paling berat dari kekerasan negara.

Perempuan tidak hanya menjadi korban langsung pembunuhan dan penyiksaan, tetapi juga menjadi pihak yang harus memikul beban sosial setelahnya; menjadi janda, menjadi ibu yang kehilangan anak, menjadi pekerja yang menanggung utang keluarga dan seterusnya.

Kekerasan terhadap tubuh perempuan adalah bentuk lain dari politik kematian, karena ia mengatur siapa yang berhak berbicara dan siapa yang tidak. Tubuh perempuan dijadikan medan kuasa, baik dalam wacana moral, hukum, maupun ekonomi.

Kasus Marsinah memperlihatkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan sering dibungkus dengan alasan moral: disebut histeris, emosional, atau terlalu berani. Dengan cara itu, kematiannya bisa didepolitisasi, dipisahkan dari perjuangan kolektif.

Pendekatan feminis menolak cara pandang semacam ini. Ia menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah tubuh politik, bukan sekadar tubuh biologis. Kekerasan terhadap perempuan adalah cara kekuasaan menegaskan batas: siapa boleh menuntut, siapa boleh bersuara, dan siapa yang harus diam.

Perlawanan yang Hidup

Kekuasaan yang berupaya mengatur kematian selalu takut pada satu hal: kehidupan yang terus melawan. Karena hidup yang menolak tunduk adalah bentuk perlawanan yang paling nyata. Setiap kali seseorang berani bersuara, meski tahu risikonya, sesungguhnya ia sedang membalik logika politik kematian. Ia mengubah tubuh yang diancam menjadi tubuh yang bersaksi. Ia menolak menjadi pesan kekuasaan, dan memilih menjadi pesan kebenaran.

Marsinah adalah simbol dari hal itu. Tubuhnya memang dibungkam, tetapi gagasannya hidup di setiap aksi buruh yang menuntut upah layak, di setiap perempuan yang menolak diam, di setiap ruang yang menegaskan bahwa keadilan tidak boleh dikubur bersama korban.Dalam dunia yang diatur oleh ketakutan, keberanian untuk hidup dengan berpihak adalah tindakan radikal. Ia mengancam tatanan yang dibangun di atas kebohongan. Ia membuka ruang bagi solidaritas yang tidak bisa dibunuh.

Politik Kebenaran dan Solidaritas

Negara yang memerintah dengan kematian bekerja melalui isolasi. Ia membuat orang takut, memisahkan satu dengan yang lain, menanamkan rasa tidak berdaya. Karena itu, solidaritas adalah bentuk kehidupan paling politis dalam menghadapi kekerasan semacam ini. Maka ketika kita saling mengingat, saling menulis, saling menjaga, kita sedang menolak logika kekuasaan yang ingin menjadikan kematian sebagai alat pengendalian.

Politik kebenaran bukan hanya soal fakta hukum atau investigasi forensik. Ia adalah upaya kolektif untuk menegaskan kembali nilai kehidupan itu sendiri. Untuk berkata: hidup manusia tidak bisa dinegosiasikan oleh negara, apapun alasannya.

Mengingat Marsinah, Munir, Wiji Thukul, dan semua yang telah dihilangkan, adalah cara kita menjaga batas moral antara kekuasaan dan kemanusiaan. Kita menolak hidup di bawah negara yang menganggap kematian sebagai instrumen pemerintahan.

Menolak Diam, Menolak Mati

Kematian yang disamarkan adalah bahasa negara yang ingin menanamkan ketakutan. Tapi bahasa itu bisa dipatahkan. Ia bisa dilawan dengan kata, dengan aksi, dengan keberanian kecil yang menolak untuk diam. Ketika kita menulis, berbicara, dan menolak narasi resmi, kita sedang menghidupkan kembali mereka yang telah dibunuh dua kali: pertama secara fisik, dan kedua melalui penyingkiran dari ingatan publik.

Setiap tulisan adalah bentuk pemulihan. Setiap suara adalah tindakan politik. Setiap upaya mencari kebenaran, betapapun kecil, adalah cara untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “stabilitas” dan “keamanan”.

Politik kematian hanya bisa bekerja dalam keheningan. Karena itu, tugas kita adalah membuat kebisingan: kebisingan yang mengingat, yang menolak, yang menuntut. Selama masih ada yang berani berbicara, kekuasaan tidak akan pernah sepenuhnya menang.

Hidup yang Tak Bisa Dibungkam

Ada kalimat yang sering diulang dalam gerakan keadilan: “Mereka bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa membunuh gagasan.”

Dalam konteks politik kematian, kalimat ini bukan slogan kosong. Ia adalah realitas sejarah. Kekuasaan bisa mengatur kematian, tapi tidak pernah berhasil mengatur kehidupan yang berpihak. Marsinah bukan hanya nama, ia adalah metode perlawanan. Ia mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu tentang menang, tapi tentang menolak tunduk pada ketidakadilan.

Dan mungkin, di situlah inti dari politik kehidupan: menolak negara yang memerintah dengan kematian, dengan cara terus hidup untuk saling menjaga.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Berjuang, Agar Korban Jadi Pejuang

Nama saya Ajeng Pangesti Anggriani, saya lahir di Bogor. Ibu saya berdarah Sunda asli dan bapak saya Jawa tulen tapi tidak satupun bahasa daerah yang

Pengurangan Jam Kerja, untuk Siapa?

Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan gagagasan agar ada pengurangan jam kerja sebanyak dua jam bagi buruh perempuan. Alasannya, agar buruh perempuan masih

“Nak, Teman Mama Bukan Penjahat”

Bagus, anakku. Senang membaca ceritamu, kemarin hari. Tentang sekolah, tentang teman-temanmu. Selalu ada kisah di sekitar kita yang bisa jadi kenangan, baik atau buruk. Iya,

JUMAT MILITAN

Tentang Sebuah Gerakan tadinya aku pengen bilang aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah ingat: setiap orang! aku berpikir tentang