PEREMPUAN JAWA – GAMBAR: /HTTP://EKSPRESIONLINE.COM/
Nyai Ontosoroh: Hidup Melawan Pergundikan
Membaca Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan kita pada karakter tokoh – tokoh perempuan yang ada di dalamnya. Dan yang paling mencolok, tentu saja karakter Nyai Ontosoroh. Dengan menghadirkan karakter ini, Pram seolah mau menggugat tatanan masyarakat sosial kita yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk nomor dua, terlebih lagi perempuan yang oleh masyarakat dianggap sebagai ‘perempuan tidak benar’ karena tidak sesuai dengan standar moral perempuan baik – baik yang ditetapkan oleh masyarakat patriarkal.
Tak luput, salah satunya adalah Minke yang digugat nurani dan akalnya sebagai terpelajar berpendidikan tinggi, berpengetahuan Eropa kala itu, di masa kolonial Belanda, tepatnya di masa politik etis.
Nyai Ontosoroh, gundik seorang totok, diletakkan sebagai perempuan hina, tak bersusila, bermoral rendah. Tentang stigma negatif gundik, Minke menurutinya sebagai pendapat umum. Memang demikianlah gundik, bermoral rendah, tak berpendidikan, pun tak berpengetahuan. Namun, kekukuhan pendapat itu tergugat dengan hadirnya Nyai Ontosorah di hadapannya. Seorang Nyai, fasih berbahasa Belanda, yang berpengetahuan tinggi, berwawasan luas, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Minke digugat oleh kenyataan dan ia terhuyung, galau dan bingung.
“…Aku masih terpesona melihat seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda, begitu baik lebih karena tidak memunyai suatu komplex terhadap tamu pria. Dimana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Apa sekolahnya dulu? Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang telah mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa? …”(hal 34)
Minke dipenuhi pertarungan batin, antara pendapat umum tentang gundik dan kenyataan seorang perempuan gundik yang ditemuinya. Betapa bertolak belakang. Tak ayal, Minke menimbang – nimbang untuk tidak berhubungan dengan keluarga Mellema, keluarga gundik yang tentu membuat cemar nama baiknya sebagai siswa HBS, seorang terpelajar.
“Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapapun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai – nyai, rendah, jorok, tanpa kebudayaan perhatiannya hanya pada soal – soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggalam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? Justru itu yang membikin aku bimbang. Tidak bisa! Atau aku seorang yang memang kurang periksa? Boleh jadi memang aku seorang yang tak mau tahu. Semua lapisan kehidupan menghukum keluarga nyai – nyai; juga semua bangsa: Pribumi, Eropa, Tionghoa, Arab. Masakan aku seorang akan bilang tidak?”(hal 75)
Minke gelisah dengan pertarungan di bathinnya, sebagai seorang terpelajar, ia dididik untuk lebih cermat dalam periksa, tak terburu mengambil kesimpulan. Antara pendapat umum dan kenyataan yang ia temui, dimana ia harus berpijak, sementara guru sumber pengetahuannya pun (Eropa) juga turut menghakimi keluarga nyai – nyai. Sampai kemudian teguran keras datang dari sahabatnya Jean Marais, seorang pensiunan tentara kolonial Belanda yang pernah bertempur dengan bangsa Aceh.
“Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua – tiga kali lagi, nanti kau akan dapat lebih mengetahui benar – tidaknya pendapat umum itu” (hal 77).
Jean menambahkan “Aku anjurkan kau menguji benar tidaknya pendapat umum itu. Ikut pendapat umum yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu keluarga yang mungkin lebih baik daripada hakimnya sendiri.” (hal 75)
Hardikan Jean Marais untuk tidak menghakimi Nyai Ontosoroh karena status gundiknya, menggugah pikiran Minke. Membuatnya berpikir ulang tentang pendapat umum masyarakat yang memandang rendah perempuan gundik. Minke memberanikan diri memeriksa lebih lanjut pendapat umum, pendapatnya sendiri, mengujinya dalam lapangan realita. Hal itu mendorongnya untuk kembali berkunjung, mencari tahu, bahkan tinggal di Wonokromo. Selain, tentu saja karena cintanya pada Annelis, perempuan semata wayang Nyai Ontosoroh. Maka, terbuktilah tidak benar pendapat umum itu. Pergundikan adalah kejahatan yang dipraktekkan oleh penjajah kolonial, kejahatan yang tak pernah digugat karena dilakukan oleh yang punya kuasa dan uang.
Berdasarkan cerita yang mengalir deras dari Annelis, Minke mendalami tentang Nyai Ontosoroh, selapis demi selapis rasa penasarannya mulai terjawab. Nyai ontosoroh adalah korban pergundikan yang dianggap wajar di bumi jajahan, dilakukan oleh bangsa penjajah kepada bangsa yang dijajahnya. Gundik, tak lebih dari sekedar properti, harta kekayaan bagi yang membeli dipertukarkan dengan uang dan jabatan. Ironisnya, Ontosoroh diperdagangkan oleh ayahnya sendiri, Sastrotomo, demi pangkat dan jabatan.
“…Dari kantongnya, Tuan Besar Kuasa mengeluarkan sampul kertas dan menyerahkan pada Ayah. Dari saku itu pula ia keluarkan selembar kertas berisi tulisan dan Ayah membubuhkan tandatangan di situ. Di kemudian hari kuketahui, sampul itu berisikan uang dua puluh lima gulden, penyerahan diriku kepadanya, dan janji Ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus dalam pemagangan selama dua tahun.
Begitulah Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, juru tulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku sendiri: Sanikem. Sejak detik itu, hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun. (hal 123)
Nyai Ontosoroh adalah korban perdagangan manusia oleh ayahnya sendiri. Ayahnya seorang yang ia hormati adalah pelaku sehingga hilang rasa hormat kepada ayahnya itu. Kepada ibu pun, Sanikem alias Nyai Ontosoroh tidak bisa mengadu karena ibunya tak bisa memberi pembelaan. Hilang lah kepercayaan Nyai Ontosoroh pada ibunya. Tidak pula pada masyarakat yang memberi stigma negatif pada perempuan gundik, apalagi pada kolonial.
Sebagai korban, perempuan gundik justru lebih banyak dipersalahkan dan dipandang rendah. Sementara, kepada para totok yang membeli gundik dan pada penjajah kolonial, tidak ada hukuman. Kuasa sebagai kolonial memberi keistimewaan, impunitas, tiada pertanggung jawaban.Tentang ini, Nyai Ontosoroh tegas bersikap. Hal itu disampaikannya di hadapan persidangan, ketika pengadilan Eropa justru menghakimi dirinya, Annelis dan Minke.
“Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumah tanggaku… (ketokan palu; diperingatkan agar menjawab langsung). Aku Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku, lahir Annelis. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua orang tua golongan Indo? Antara aku dengan tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Antara anakku dengan Tuan Minke ada cinta – mencintai yang sama sama tulus. Memang belum ada ikatan itu pun, anak – anakku lahir dan tak ada seorang pun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau pribumi jadi ejekan justru karena cinta tulus?” (hal 426)
Siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka jadi nyai – nyai? Tuan – tuan bangsa Eropa yang dipertuan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? Dihinakan? Apa tuan – tuan menghendaki anakku juga menjadi gundik?” (hal 427)
Nyai Ontosoroh menggugat peradaban Eropa yang meninggikan soal humanisme (kemanusiaan), namun justru menindas pribumi, terutama perempuan pribumi yang dijadikan obyek seksual. Perbudakan yang tak pernah digugat oleh hukum Eropa. Dengan gamblang, Nyai Ontosoroh menunjukkan bagaimana tidak adilnya penjajah kolonial memperlakukan ia dan perempuan pribumi lainnya yang menjadi korban praktek pergundikan. Pun, ketidakadilan pada Annelis dan Minke yang ikatan keduanya tidak ada ikatan perbudakan, selain hubungan cinta mencintai. Eropa dihadapkan pada ketidakadilan yang dibikinnya sendiri, ditagih pertanggungjawabannya atas kemegahan pengetahuan yang selama ini dibanggakan sebagai peradaban maju.
Soal pergundikan di masa kolonial, Reggie Baay, dalam bukunya “Nyai dan pergundikan di Hindia-Belanda”, menyampaikan bahwa penjajah kolonial Belanda menganjurkan praktek pergundikan untuk memenuhi hasrat seksual lelaki totok Belanda. Buku panduan bagi calon pegawai perkebunan yang dikirim ke Tonkin, Sumatera dan Malaya menganjurkan supaya segera mencari pelayan perempuan pribumi sekaligus sebagai teman tidur, sebagai cara tercepat untuk beradaptasi. Hidup dengan seorang nyai akan mengajarkan tentang bahasa dan adat setempat. Pergundikan adalah relasi perbudakan, hubungan antara orang yang mendominasi dan didominasi, sebuah hubungan yang seksual semata, antara yang penakluk dan yang ditaklukkan. Berbagai panggilan merendahkan diberikan oleh masyarakat Eropa kepada para nyai, mulai dari Pembantu Rumah Tangga, Perabot, barang inventaris hingga kamus karena berfungsi sebagai penerjemah bagi tuannya. Bahkan, para priyayi jawa ikut merendahkan perempuan gundik sebagai perempuan kotor, rendah, tak bermoral, pelacur, menjual diri hanya demi kekayaan dan hanya digerakkan oleh nafsu birahi semata.
Secara hukum, seorang nyai tidak terlindungi. Lelaki Belanda bisa dengan mudah meninggalkan gundiknya. Seorang Nyai tidak punya hak atas anak – anaknya, sehingga tidak bisa menuntut perwalian, meski tuannya meninggal dunia. Hal ini pula yang dialami oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia
“Dengan campur tangan Pengadilan hukum, justru tidak mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi , walau mama ini yang melahirkan. Sejak pengakuan itu, kalian, menurut hukum, Ann, hukum Belanda di sini, jangan kau keliru. Kau tetap anakku. Pada waktu itu baru aku tahu betapa jahatnya hukum. Kalian mendapatkan seorang ayah, tetapi kehilangan ibu.” (hal 136)
Pengadilan hukum itulah yang hendak dilawan oleh Nyai Ontosoroh, ketika anak tunggal Mellema dari perkawinan sahnya, Mauritss Mellema datang untuk mengambil perwalian Annelis. Untuk pertama kalinya, perempuan pribumi, seorang Nyai pula melawan hukum Eropa, tanpa didampingi ahli hukum.
“Biarpun tanpa ahli hukum. Kita akan jadi pribumi pertama yang melawan pengadilan putih. Nak, Nyo, bukankah itu suatu kehormatan juga?” ( hal 494)
Meskipun Nyai Ontosoroh mengetahui, bakal kalah juga ia pada akhirnya. Hingga detik terakhir, Nyai Ontosoroh melawan. Ketika rumahnya dikepung, harta yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri disita, Annelis hendak dibawa ke Belanda, tanpa boleh ia mengantar karena tidak diakui sebagai ibu sah dalam hukum Eropa, Nyai Ontosoroh bergeming, ia kukuh melawan hingga akhir.
“Dengan melawan, kita tidak sepenuhnya kalah” (499)
“Kita kalah Ma” Bisikku
“Kita telah melawan Nak, Nyo, sebaik – baiknya, sehormat – hormatnya.
(hal 534 – 535)
Nyai Ontosoroh: Seorang Otodidak Yang Gemilang
Sebagaimana yang disampaikan oleh Reggie Baay, dalam bukunya “Nyai dan pergundikan di Hindia-Belanda”. Lelaki totok Belanda dianjurkan mempunyai perempuan pribumi sebagai teman tidur sekaligus untuk memperkenalkan adat dan bahasa wilayah setempat. Hal itu bisa memperlancar pekerjaan mereka sebagai pegawai Hindia Belanda, dan menghasilkan keuntungan bagi perekonomian penjajah kolonial Belanda. Tak jarang, seorang nyai juga menjadi penerjemah. Dalam Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh, dididik oleh tuannya tentang berbagai pengetahuan, dilatihnya membaca dan menulis bahasa Belanda, membaca banyak sastra dan bacaan Belanda hingga bisa memimpin perusahaan yang ia bangun. Nyai Ontosoroh, adalah seorang nyai yang melampaui perempuan pribumi pada jamannya. Ia berdaya karena belajar keras sebagai murid yang baik, selain dididik oleh guru yang baik (Mellema).
“…Di malam hari, aku diajarinya baca tulis, bicara dan menyusun kalimat Belanda.” (hal 130)
“…Bila pekerjaan selesai di senja hari , kami duduk di depan pondok kami, pondok bambu Ann – belum ada rumah indah kita ini- dia suruh aku membaca. Juga koran. Dia dengarkan bacaanku, membetulkan yang salah, menerangkan arti kata yang aku tidak mengerti. Begitu setiap hari sampai kemudian diajarinya aku menggunakan kamus sendiri. Aku hanya budak belian. Semua harus kulakukan sebagaimana yang dia kehendaki. Setiap hari. Kemudian diberinya aku jatah bacaan. Buku, Ann. Aku harus dapat menamatkan dan menceritakan isinya.” (hal 134)
Tak hanya dididik bahasa Belanda, Nyai Ontosoroh juga dijadikan teman diskusi, diberi ruang ikut memutuskan segala hal, termasuk untuk urusan perusahaan. Hal ini menumbuhkan kepercayaan diri Nyai Ontosoroh sebagai pribadi. Merasa dihargai dan diperlakukan setara atau sederajad.
“…Ia selalu mengindahkan aku menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajad dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kuperjakan dalam setahun itu telah mengembalikan harga diriku.” (hal 130)
Dengan dimintai pendapat, diajak memutuskan segala hal bersama, Nyai Ontosoroh merasa dianggap ada, didengar pendapatnya, menjadi penting perannya, tak sekedar menjadi teman tidur sebagaimana budak belian. Pada akhirnya, Nyai Ontosoroh, punya kemampuan memimpin perusahaan karena diberi ruang dan kesempatan.
“Semua pekerjaan di dalam lingkungan perusahaan mulai diserahkan kepadaku oleh Tuan. Memang mula – mula aku takut memerintah mereka. Tuan membimbing. Katanya: Majikan mereka adalah penghidupan mereka, majikan penghidupan mereka adalah kau! Aku mulai berani memerintah di bawah pengawasannya…” (hal 132)
Apa yang dilakukan tuannya, tak membuat Nyai Ontosoroh berubah pendirian, dalam relung hatinya yang terdalam. Nyai Ontosoroh bertekad tetap menganggap Mellema sebagai tuannya yang bisa pergi sewaktu – waktu, relasinya dan Mellema adalah relasi perbudakan yang tak bisa diubah. Pun, praktek jual beli antara Mellema dan ayahnya telah meruntuhkan harga dirinya, dan membuatnya terhina. Kehinaan dan kerendahan yang tak bisa ditukar dengan kebaikan Mellema.
“…Tetapi sikapku tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi semuda itu. Papamu yang mengajari, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat merasakan wujud harga diri itu.” (hal 130)
“…Ann, papamu sangat menyayangi aku. Namun, semua itu tak dapat mengobati kebanggaan dan harga diri yang terluka. Papamu tetap orang asing bagiku. Dan memang Mama tidak pernah menggantungkan diri padanya…” (hal 129)
Kekerasan hati dan keteguhan Nyai Ontosoroh, membuatnya menjadi pribadi merdeka yang berani menyatakan sikap. Tak hanya kepada tuannya, namun juga orang tuanya. Tak pernah sedikitpun, Nyai Ontosoroh memberi maaf pada orang tuanya. Berkali – kali Sastrotomo dan istrinya datang hendak bertemu, tak sedikitpun Nyai Ontosoroh mau menemui. Tuan Mellema memintanya untuk datang menemui, namun Nyai Ontosoroh bersikukuh tidak mau, seorang Mellema tidak bisa membujuknya, karena Nyai Ontosoroh punya pendiriannya sendiri. Ia mengancam hendak pergi bila terus dipinta menemui kedua orang tuanya.
“Temui ayahmu,” sekali Tuan Mellema menyuruh. “Dia toh ayahmu sendiri.”
“Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah aku usir:
“Jangan, tegah Tuan.
“Lebih baik pergi dari sini daripada menerimanya”
“Kalau pergi bagaimana aku Bagaimana sapi – sapi itu. Tak ada yang bisa mengusirnya.”
“Sapi – sapi itu hanya mengenal kau”
Begitulah aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. Tuan tidak pernah menolak. Ia pun tak pernah memaksa aku kecuali dalam hal belajar. (hal 130 -131)
Demikianlah, seorang Nyai Ontosoroh, menjadi pribadi yang dalam hari – harinya, berproses melawan relasi perbudakan yang disahkan dalam sistem kolonial, dilakukan oleh ayahnya sendiri, dibeli oleh lelaki totok yang kemudian hari menjadi gurunya. Ia melawan dengan caranya sendiri, menjadi pribadi yang bisa mengambil keputusan sendiri, menjadi pemimpin sebuah perusahaan.
Pun, kekerasan hatinya memberi kekuatan ketika di kemudian hari, benar adanya, Herman Mellema menjadi hilang akal dan tak sanggup membela diri dan keluarganya, mana kala, anak sahnya Mauritts Mellema datang ke Hindia Belanda dan menggugat. Sejak saat itu, Nyai Ontosoroh memimpin perusahaan tanpa sang guru, mengeluarkan Annelis dari sekolah dan mendidiknya bekerja keras memimpin perusahaan. Sebuah pembuktian, ia bisa memimpin perusahaan tanpa kehadiran Mellema, guru yang sudah tak berharga di matanya.
Di sisi lain, Kerja, telah menumbuhkan harga dirinya sebagai pribadi, tanpa menghilangkan rekam jejak penindasan dirinya dalam perbudakan. Ia tak berdamai dengan nasibnya. Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda Minke di HBS menyatakan kegagumannya dengan gamblang.
“…Jiwanya yang majemuk sudah mendekati Eropa dari bagian yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak yang diketahuinya sebagai pribumi, malah wanita Pribumi, Memang betul dia patut jadi gurumu. Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata – katanya … , aku tak tahan mendengar. Sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, Minke. Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri.” (hal 346)
Nyai Ontosoroh tentu paham betul kuasa yang cukup besar yang dihadapi, pun suatu saat akan tiba waktu dimana ia akan kehilangan jerih payah dan anak yang dilahirkannya. Ia tahu bakal kalah, namun sebagai pribadi ia tahu tugasnya adalah sebaik – baik melawan. Tidak menyerah begitu saja. Seorang perempuan pribumi, Nyai pula, berhadap – hadapan dengan Kolonial Belanda, dengan kuasa Eropa. (dst)