Search
Close this search box.

Membela Senyap

Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, sekitar 457 titik dari Aceh hingga Papua, memutar film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer. Senyap adalah kelanjutan dari film terdahulu, Jagal atau The Act of Killing, bercerita tentang tragedi pembantaian 1965.

Mayoritas pemutaran film Senyap yang diberi judul Indonesia Memutar Senyap tersebut berlangsung mulus. Sampai kemudian muncul kabar pembubaran pemutaran film Senyap di Warung Kelir, Malang. Komando Distrik Militer 0833/Bhaladika Jaya di Universitas Brawijaya Kota Malang sehari sebelum acara, mendatangi Panitia pemutaran film Senyap atau The Look of Silence di Malang dan meminta supaya batal memutar film tersebut. Padahal, rencananya film karya Joshua ini akan diputar secara serentak di tujuh tempat di kota Malang. Ketujuh tempat tersebut adalah Warung Kelir, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Brawijaya, Universitas Machung, Komunitas Kalimetro, Warung Unyil dan Omah Munir. Menyusul intimidasi dari pihak tentara, hingga hari ini sudah 4 tempat yang membatalkan pemutaran film Senyap, yaitu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Warung Unyil, Warung Kelir dan terakhir adalah Wisma Kalimetro.

Intimidasi semacam ini sudah terjadi beberapa kali sebelumnya, tentu kita ingat dengan penyerbuan diskusi terkait Tan Malaka dan acara diskusi lainnya yang mungkin mengundang geram penguasa. Belum lagi data represifitas negara seperti yang terjadi pada rakyat Papua, buruh, tani, mahasiswa dan rakyat lain yang sedang berdemonstrasi. Represifitas menjadi hal lazim dan kadang dimaklumi dengan berbagai pembenaran. Seolah ada penganiayaan yang sah, yang boleh dan yang tidak. Sama- sama penganiayaan tapi menjadi berbeda sesuai dengan argumentasi yang lekat padanya.

Dalam hal Senyap, mari kita simak argumentasi Komandan Komando Distrik Militer 0833/Bhaladika Jaya Letnan Kolonel Gunawan Wijaya. “Saya bertugas menjaga stabilitas, keutuhan berbangsa dan bernegara,” menurutnya pemutaran film Senyap bisa menimbulkan dampak gesekan antar kelompok. Lebih lanjut, sebagaimana lagu lama Orde Baru, Gunawan menyampaikan film Senyap dilarang karena menyebarkan ideologi komunis “Paham komunis tak boleh hidup di negara ini. Saya tidak membenci garis keturunannya”. Ungkapan tidak membenci garis keturunan komunis, sambil mengatakan paham komunis tak boleh hidup, sama artinya sedang terus menghidupkan kekerasan pada korban dan keluarga korban. Ajaibnya lagi, Gunawan mengaku sama sekali belum menonton film Senyap. Lagu lama, mengintimadasi rakyat dengan tudingan komunis adalah politik Orde Baru yang akhirnya mengalun lagi mengiringi Senyap, yang semakin nyaring terdengar memekakkan telinga penguasa.

Pelarangan pemutaran Senyap oleh tentara mencerminkan ketidakmauan ada celah bicara soal catatan sejarah sebuah bangsa. Ketika ia dilarang, artinya Senyap punya pengaruh, mengganggu stabilitas penguasa. Kenapa? Karena di sana ada bau anyir darah yang menjadi jalan satu kekuatan menang jadi penguasa. Penguasa ini masih ada, ia berkuasa dan memiliki struktur yang tidak main – main, hingga tingkat desa. Ia bersenjata dan tidak kunjung membuat elit politik sipil berani berpaling darinya ketika bertarung dalam pemilu lima tahunan. Ia bernama militer dengan ismenya yang selama 32 tahun berkuasa penuh berjudul Orde Baru. Politiknya, politik Orde Baru masih tumbuh subur karena elit politik terlalu pengecut dan konsolidasi gerakan belum kunjung menguat untuk menantangnya.

Membela Senyap artinya membela kita, membela korban, membela sejarah kita sendiri. Bahwa ada sekian juta manusia terbunuh begitu saja oleh sebuah skenario keji. Mungkin Senyap bukanlah film yang menguak sebuah sejarah tragedi 1965 secara utuh. Tapi karya semacam Senyap, dibutuhkan sebanyak-banyaknya hadir, jadi bahan pendiskusian yang mematik semakin banyak karya lagi, lagi dan lagi. Agar pengetahuan tentang tragedi 1965 semakin bermunculan. Bila Senyap sepi dari pembelaan, maka semakin sulit untuk bicara soal tragedi pelanggaran HAM 1965 dan pelanggaran HAM lainnya. Maka, mari Membela Senyap. Agar ia semakin nyaring dan mematik sunyi – sunyi lain yang terbenam di balik relung jiwa –jiwa yang terluka dan marah.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Perjuangan Melawan Kekerasan di Dunia Kerja

“Kalau sakit jiwa gak usah kerja, mending di Rumah sakit jiwa aja,” ujar Erma menirukan makian yang kerap ia dengar. Umpatan ini akan selalu keluar apabila para pekerja tidak mendapatkan target dan juga target yang ditentukan oleh perusahaan selalu bertambah setiap kali para pekerja mencapai target tersebut. Erma juga sempat disebut “gila” dan diusir oleh atasanya lantaran melayani pendaftaran anggota baru serikat pekerja yang akan bergabung dan juga mengintimidasi pekerja yang akan bergabung ke serikat pekerja yang membuat pekerja tersebut takut dan batal bergabung dengan serikat pekerja.

Bodies that get better with age

At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas molestias excepturi sint occaecati

Kesehatan Ibu Hamil

Tiga hari lalu, tepatnya hari Selasa, pukul 13:00, langit gelap dan hujan deras. Tampak, beberapa relawan posko sudah sibuk dengan tugasnya menjadi panitia diskusi publik

Air Matamu Cahaya Bagiku.

http://www.druma.co/wp-content/uploads/2017/10/hands-painting-helping-hands-painting-suzy-norris-pictures.jpg “Kamu yang pakai ikat kepala merah sini, naik ke mobil komando”, sontak aku menoleh ke belakangku seperti orang bingung. “Sini kamu, iya kamu” teriaknya

Nasib Buruh Kontrak

Oleh Voni Dalam tulisan kali ini, aku mau menuliskan kisahku jadi buruh kontrak di sebuah perusahaan. Suatu kali aku melamar di sebuah perusahaan di KBN