Search
Close this search box.

Surat untuk Kawan: Tentang Semangat Membangun

Oleh Sri Sulastri ( Adon)

Kawanku, sudah terbiasa memang kalau buruh bekerja itu untuk mencari sesuap nasi. Yaah, kalau sudah urusan perut apapun bisa dilakukan, bahkan sampai rela bekerja lembur tanpa dibayar, atau sitem kontrak yang berkepanjangan tanpa kepastian. Bahkan ada yang rela menyerahkan tenaganya kepada pengusaha, yang penting kerja dan diupah semaunya pun tak apa. Bagaimana nasib kita, mana kala tenaga kita sudah tidak bisa lagi kuat mengejar target yang sudah ditentukan tiap harinya oleh para pimpinan di area produksi. Situasi nyata yang tidak asing kita hadapi, pun bila kita sedang sakit dan dituntut tetap masuk kerja, duhh nyebelin banget pokoknya. Mau tidak mau kita harus memilih masuk bekerja dengan upah yang rendah.

Keadaan yang semacam ini pastinya sudah kita hadapi dan menjadi hal biasa buat buruh . Akhirnya ada situasi, dimana kawan buruh tidak selalu diam. Buruh pun mulai berkumpul, dari sedikit orang, satu per satu berkumpul saat jam istrahat makan siang dipabrik untuk ngobrol dan saling curhat dengan situasi yang sama yaitu normatif. Dengan seringnya buruh berkumpul untuk membicarakan permasalahan di pabrik maka mulai bermunculan ide atau gagasan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi saat ini. Tak hanya di tempat kerja, buruh mulai berdiskusi di kontrakan – kontrakan, untuk membangun serikat buruh yang benar – benar memperjuangkan dan membela hak buruh. Dari pintu ke pintu, kita mendatangi satu – satu kawan sepabrik untuk mendiskusikan dan mencoba memberi usulan tentang upaya membentuk organisasi serikat di dalam pabrik tempat kita berkerja. Kita belajar menyatukan tujuan dan target kita sebagai buruh yang bekerja yang mestinya diberi hak normatif sesuai aturan yang di dalam Undang – Undang Ketenagakerjaan

Tidak serta merta semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan dan apa yang kita mau. Banyak jatuh bangunnya, namun di saat yang sama proses ini menempa kita menjadi kolektif yang tangguh. Bila bisa melewati semuanya maka dari 1 orang, datang 3 orang, mengajak 2 orang serta diberi pendidikan – pendidikan kritis tentang hak kita sebagai buruh. Melalui pendidikan dua arah, kita saling belajar. Mulai dari belajar menghitung upah sendiri perharinya, kemudian belajar mengetahui kenapa harus ada target di line, apa kepentingan pengusaha menerapkan target yang menjulang tinggi, tetapi tidak mau membayar upah kita sesuai dengan ketentuan. Hari demi hari buruh terus belajar memahami dan belajar mengerti kenapa situasi seperti ini selalu saja buruh yang ditumbalkan demi kepentingan golongan.

Demikianlah proses kita berjalan, hingga tercapailah pertemuan besar dan kita mulai merutinkan pertemuan untuk membahas program dan arah juang. Tentang bagaimana membangun anak tangga menuju cita cita yang kita impi dan damba. Tentang sebuah kesejahteraan buat buruh, kesetaraan kita seluruh umat manusia. Ada kamu, aku, kita dan semua di bumi ini, tanpa penindasan. Kawanku, sudah sejauh ini kita berjalan, suka duka kita lalui. Semoga kita selalu bersama, di jalan ini, jalan perjuangan.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Surat Untuk Ibu di Hari Perempuan Sedunia (2)

Oleh Tinta Merah Baca juga http://dev.marsinah.id/surat-untuk-ibu-di-hari-perempuan-sedunia-1/   Embun terhisap mentari Ia tak menyesal apalagi iri Karena senja membawa hidup kembali Lalu fajar membuka pagi   Tapi

Membangun Media Alternatif

“Apa alasan mbak aktif di organisasi gerakan buruh?” “Halah pertanyaan mu itu seperti wartawan, lihat saja di youtube klo mau tau jawabannya”. Aku mengerutkan dahi

Norma Rae Dalam Film

Bagaimana Norma Rae berjuang  dan mendirikan serikat di dalam pabriknya dan bagaimana pergerakan buruhnya?  ketika penindasan datang melawan  yang terlintas, untuk melawan butuh alat perjuangan, mengorganisir buruh butuh kesabaran dan pendekatan  yang lebih di tengah rasa takut kawan buruh.

Ancang – Ancang

Kau bilang order sepi Kami buruh dipaksa ikut rugi Kamu bilang buyer hengkang Maka kami harus rela ditendang Tapi kau selalu diam ketika laba besar

Berjuang, Agar Korban Jadi Pejuang

Nama saya Ajeng Pangesti Anggriani, saya lahir di Bogor. Ibu saya berdarah Sunda asli dan bapak saya Jawa tulen tapi tidak satupun bahasa daerah yang