Kawasan Berikat Nusantara (KBN) adalah kawasan industri yang menjadi kawasan dimana para investor menanamkan modalnya untuk melakukan usaha dalam berbagai bidang. Di Jakarta sendiri ada 3 (tiga) Kawasan Berikat yang semuanya di bawah Pengawasan dan Pengelolaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), yaitu Kawasan KBN Cakung, KBN Marunda, dan KBN Tanjung Priuk. KBN Cakung sendiri adalah satu kawasan Industri yang terletak di jalan Cakung Cilincing (merupakan daerah Perbatasan antara Jakarta Utara dan Jakarta Timur) dengan jumlah investor adalah 94 investor bermodal asing dan 99% diantaranya adalah investor yang bergerak di bidang garment atau industri padat karya.
Di sisi, pekerja KBN Cakung adalah kawasan industri yang mempekerjakan sekitar 80.000 – 100.000 buruh, dan mayoritasnya (99% nya) adalah buruh perempuan, dan sekitar 80% nya adalah buruh kontrak. Artinya hanya sekitar 20% buruh yang masih menyandang status kerja tetap, itupun saat-saat ini para pengusaha masih terus berupaya untuk mengurangi jumlah Pekerja tetap dengan tawaran-tawaran “Pemaksaan” Pengunduran diri dan PHK seperti yang terjadi di PT KH International & PT KANG International, PT Megasari, PT Kyungsung, PT Myungsung, PT Makalot Industrial Indonesia, PT Hansoll Indo, dan lain-lain) , atau Pengusaha membuat buruh tidak betah bekerja sehingga keluar kerja dengan sendirinya (seperti yang terjadi di PT Amos Indah Indonesia) dan lain-lain.
KBN adalah contoh politik investasi yang tidak mensejahterakan
Dalam Perkembangannya, hingga saat ini KBN sudah berusia hampir 29 Tahun. Umur yang cukup dewasa untuk suatu pengelolaan usaha. Namun, apakah dalam usianya yang sudah 29 tahun, KBN Cakung bisa di simpulkan sebagai kawasan industri yang bisa mensejahterakan buruh atau masyarakat sekitar? Berikut uraian singkatnya. Hingga saat ini, pola hubungan kerja yang ada dan berlaku di KBN Cakung adalah “Bongkar pasang, atau keluar masuk”. Istilah ini tepat digunakan untuk menggambarkan situasi perputaran buruh yang selalu berpindah-pindah dari satu pabrik ke pabrik yang lain. Dari yang masa kerjanya 1 bulan sekali, 3 bulan sekali, 6 bulan atau 1 – 2 tahun bahkan 9 tahun lebih masih menyandang status kerja kontrak. Hal ini terjadi dan semakin marak dilakukan oleh pengusaha dan dibiarkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Pengawasan Suku Dinas Tenaga Kerja sejak tahun 2003, hanya karena untuk menghilangkan status kerja tetap, memberlakukan sistem kerja kontrak, bahkan borongan atau harian lepas.
Perilaku pengusaha dalam berinvestasi di KBN Cakung
Para pengusaha yang masuk ke KBN pun diberikan kemudahan-kemudahan dalam berinvestasi, mulai dari upah tenaga kerja murah, jalur transportasi yang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priuk, bahkan saat pengusaha tutup pabrik semena-mena tidak ada tindakan dari pengelola KBN terhadap pengusaha nakal itu. Juga oleh pihak Dinas Tenaga Kerja setempat, bahkan oleh Kementerian sekalipun. Sampai saat ini, dari tindakan pengusaha kabur atau menutup pabrik semena-mena yang terjadi di KBN, tidak ada 1 (satu) pengusahapun yang ditangkap oleh pemerintah secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perlakuan semena-mena terhadap buruh. Dalam situasi itu, dimana letak tanggung jawab Negara untuk melindungi buruhnya. Ribuan bahkan puluhan ribu buruh yang jadi korban tutupnya perusahaan dibiarkan menyelesaikan persoalannya sendiri. Negara benar-benar lepas tangan. Berikut adalah beberapa hal yang bisa kita simpulkan dari Politik Investasi selama 29 Tahun KBN ada :
- Dalam Aspek Lingkungan
Apakah pola investasi di KBN Cakung membawa dampak lingkungan yang baik untuk alam sekitar? Ternyata juga tidak. Proses pembuangan limbah pabrik mengalir ke Sungai di kawasan KBN, sehingga sungai menjadi hitam pekat dan tidak mengalir. Sehingga menjadi sarang nyamuk, dan berakibat banjir di musim hujan.
Di dalam lingkungan pabrikpun seperti itu, ratusan atau ribuan buruh bekerja giat dengan sistem sirkulasi udara yang tidak memadai. Panas dan kipas angin yang disediakan tidak bisa menjangkau seluruh buruh. Bahkan tak jarang pabrik yang tidak menyediakan kipas angin, sehingga buruh kerja dalam situasi yang panas.
Di lingkungan tempat tinggal buruh misalnya, kontrakan-kontrakan buruh yang ada di sekitar kawasan KBN memadati perkampungan di sekitar Sukapura – Semper Jakarta utara. Ruangan ukuran 3×3 meter menjadi tempat tinggal buruh dan keluarganya, suami istri anak tinggal dalam satu ruangan yang juga sekaligus dapur, tempat bermain anak dan ruang tamu. Bagaimana buruh bisa hidup sehat dengan tempat tinggal yang sempit, kumuh, sirkulasi udara yang tidak sehat, WC dan kamar mandi yang sangat tidak memadai, dengan kebutuhan air yang minim dan antri.
Bahkan yang lebih miris lagi, tidak ada tempat bermain anak-anak, jadi anak-anak terpaksa bermain di gang-gang sempit. Dan tidak tanggung-tanggung, dalam 1 RT warganya bisa 10.000 buruh karena terlalu padatnya tempat tinggal di pemukiman buruh.
- Dalam Aspek kesejahteraan (upah)
Dari investor yang banyak menanamkan modalnya di KBN Cakung, yang menyerap tenaga kerja hampir 100 ribu buruh, apakah investor juga sanggup mensejahterakan kehidupan kaum buruh yang sudah membuat pemilik modal kaya raya? Ternyata jauh panggang dari api.
Buruh yang sudah bekerja puluhan tahunpun, tidak sanggup untuk membeli rumah, kecuali dengan kredit. Juga untuk membeli motor harus kredit, bahkan membeli baju yang sehari-hari dikenakan juga kredit.
Tak jarang dari mereka yang malah terjerat rentenir, karena upah mereka tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan Pelaku rentenir juga adalah buruh yang juga kawan kerjanya sendiri.
Selama dua tahun berturut turut (2013 _2014), buruh garment oleh Pemerintah atas pengajuan para pengusaha di KBN upahnya ditangguhkan. Siapa yang menerima upah di bawah UMP? Sebagian besarnya, yaitu sekitar 90% dari seluruh buruh yang ada di KBN, di tahun 2014 menerima upah Rp 2,1 juta sampai 2,3 juta padahal mestinya 2,4 juta. Itu artinya Pemerintah sendiri adalah Pelaku pemiskinan buruh di KBN Cakung dan sekitarnya.Saat ini pengusaha KBN masih mengajukan penangguhan upah 2015 sebesar 2,5 juta. Padahal UMP 2015 sebesar 2,7 juta.
Problem utama di KBN
Problem buruh kontrak, bahkan borongan dan harian lepas di KBN Cakung, menjadi problem utama yang kemudian melahirkan ketakutan-ketakutan di diri buruh. Para pengusaha telah berhasil mencetak karakter buruh menjadi buruh yang penakut dan pasrah. Hal ini karena buruh terus dibayang-bayangi ketakutan akan di PHK atau diintimidasi apabila buruh berani memperjuangkan haknya. Lebih tepatnya lagi, buruh takut berdebat (berkontradiksi) dengan atasan mereka.
Padahal kalau kita melihat Pasal 59 UUK 13/2003, KBN yang mayoritas Investasinya adalah buruh garment dan kini usianya sudah 29 Tahun, dari tahun ke tahun yang terus memproduksi garment, sebenarnya tidak layak menyandang status kerja kontrak karena jenis pekerjaan yang bersifat tetap dan terus menerus selama puluhan tahun.
Kembali lagi kepada sistem pengawasan ketenagakerjaan yang lemah , sehingga para Pengusaha bisa bermain-main dengan hukum dan buruhnyalah yang terus menjadi korban.
Problem berikutnya adalah tentang persatuan yang tidak (belum) pernah kongkret di KBN.
Dari banyaknya persoalan di KBN Cakung, yang tentunya menjadi problem dari semua anggota Serikat Buruh di KBN, masih lemah persatuan yang sanggup dihimpun untuk bersama-sama menyerang musuh yang sudah sangat tersistematis. Dalam sejarahnya memang KBN Cakung bisa kita mogokkan secara massal yaitu Tahun 2010. Namun dalam momen-momen berikutnya, persatuan menjadi bersifat taktis dan tidak menyeluruh. Hal ini di sebabkan oleh minimnya kehendak bersatu di kalangan pimpinan Serikat Buruh sehingga tidak memberikan pembelajaran yang baik untuk anggota-anggota maupun massa buruh secara luas. Minimnya agenda bersama antar serikat yang bisa melibatkan massa luas sampai tingkat bawah. Intinya kita belum sanggup menembus persatuan sampai tingkat bawah.
Contoh orang terkaya dalam usaha padat karya
Dari minimnya hak-hak kesejahteraan yang didapat oleh buruh-buruh di KBN Cakung, kita bisa melihat bagaimana investasi di sektor garment yang merupakan sektor padat karya sanggup mencetak pemodalnya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.
Sebut saja Pengusaha garment Sri Prakash Lohia dengan total kekayaan US 3,4 milyar atau setara dengan Rp 33 Trilyun.
Sungguh Ironis, usaha padat karya yang katanya merugi, malah gemilang menumpuk kekayaan yang luar biasa. Berbanding terbalik dengan upah buruh di DKI Jakarta, khususnya sektor garment yang hanya menerima Rp 1.978.000,- dimana setiap tanggal gajian, upahnya hanya sanggup untuk menutup utang, dan kebutuhan makan saja.
Ada yang salah dalam sistem yang ada di Indonesia, yang kaya makin kaya yang miskin makin tertindas.
Politik investasi di luar KBN (Tanjung Priuk, Pelabuhan, Marunda)
Di sektor transportasi, kita bisa sampaikan di sini bahwa sopir juga bagian dari buruh yang tidak punya upah bulanan. Para sopir yang kerjanya membawa angkutan barang keluar masuk Pelabuhan Tanjung Priuk dengan bergelut kemacetan di Ibu kota, upahnya masih di bawah Upah minimum.
Juga dengan jaminan keamanan kenyamanan di jalanan, belum pernah dipikirkan oleh Pemerintah, sehingga banyak sopir yang menjadi korban dari Bajilo Jalanan.
Investasi di sektor lain, misalny PT Nipsie Nippon Paint yang memproduksi cat di kawasan Industri Ancol , perusahaan yang awalnya diinvest oleh pengusaha Jepang kemudian juga diinvest oleh pengusaha Singapura ini, produksi sukses menembus pasar dunia Internasional. Tapi apakah buruhnya sudah sejahtera? saya kira belum. Bahkan untuk membeli rumah tempat tinggalpun mereka harus lembur dengan tidak kenal waktu. Karena praktek kerja kontrak dan outsourcinglah yang berlaku di Nippon Paint.
Apalagi kemudian pekerjanya malah diupah dengan sistem all in, artinya lembur tidak lembur upahnya standar.
Juga pembangunan Dermaga Ro ro (Roll On Roll Of) di Kawasan Industri Marunda adalah untuk memudahkan jalur eksport – import supaya barang bisa langsung masuk ke Kapal RoRo, sehingga mengurangi kemacetan di jalur transportasi Pelabuhan Tanjung Priuk, karena terus terjadi peningkatan ekspor impor.
Dari uraian singkat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pola investasi yang di bangun di Indonesia ada kesalahan dalam hal pengelolaan modal. Pengawasan Ketenagakerjaan yang lemah, dan sistem hukum yang memang tidak berpihak kepada kaum buruh.
Contoh kongkret bahwa Pemerintah abaikan TanggungJawab Negara terhadap buruh adalah :
- Kasus THR di KBN Cakung. buruh di bayar THR di bawah ketentuan, ini adalah pelanggaran normatif. Tetapi apakah ada tanggungjawab Negara untuk menindak pengusaha nakal ini? Dari pelaporan yang kita sampaikan di Kementerian (16 Perusahaan yang kita laporkan) sampai dengan sekarang tidak ada tindakan pemerintah. Muhaimin Iskandar selaku Menteri Tenaga Kerja tidak mempunyai ketegasan sikap, untuk menindak pengusaha-pengusaha nakal yang melanggar Undang-undang.
- Kasus Lamy, (buruh garment PT MYUNGSUNG di KBN Cakung, yang di larang sholat di ruang detektor), yang sampai saat ini THR nya belum di berikan karena dianggap mencemarkan nama baik perusahaan, terkait kampanye Lami di media yang menyebutkan bahwa Mr. Herry Kim melarang sholat di ruang detector. Saat ini, Lami di laporkan ke Polda Metro Jaya. namun Lami tetap terus berjuang menuntut haknya, karena bagi Lami keberanian dan kebenaran harus ditegakkan setinggi-tingginya.
- Kasus penangguhan upah buruh garment di DKI Jakarta. Jokowi Ahok yang sebelumnya sebagai kepala Pemerintahan DKI Jakarta justru mengetok palu untuk penangguhan upah di DKI Jakarta, dua kali berturut turut. Artinya Jokowi Ahok beserta Dinas Tenaga Kerja DKI adalah pejabat negara yang menyetujui kemiskinan terus ada di wilayah DKI Jakarta. Sementara saat kita menuntut kepada Pemerintah untuk memberlakukan upah sesuai dengan UMP dan UMSP, kita di hadapkan sama kekerasan polisi (seperti peristiwa 1 Juli 2013 di KBN Cakung). Betul, sekarang Ahok menolak penangguhan upah 2015, tapi apa perlindungan dari pemerintah mana kala buruh diteror, diintimidasi supaya sepakat penangguhan upah.
Apa yang harus kita lakukan ?
Uraian di atas adalah gambaran dari situasi buruh saat iniu. Upah murah telah membawa buruh dalam kehidupan yang sangat miskin, jauh dari kesejahteraan. Hidup kekurangan, gizi keluarga tidak terpenuhi, tinggal di pemukiman kumuh, tidak sanggup mengakses pendidikan yang baik, tidak sanggup mengakses kesehatan yang baik, apalagi menjangkau hiburan dan menabung masih jauh dari harapan. Apalagi untuk membeli motor atau rumah, mimpi itu masih bisa terwujud apabila dengan kredit.
Namun demikian, ketimpangan kehidupan ini bisa berubah apabila kita mau memperjuangkannya. Tak ada yang tidak mungkin kalau kita rakyat punya kehendak, dan sebaik-baik kita mewujudkan kehendak adalah dengan melakukan upaya semaksimal mungkin. Perubahan itu mungkin, dan kitalah gerakan buruh dan gerakan rakyat yang punya kekuatan untuk merubah sistem. Karena kekuatan mobilisasi massa dalam bentuk pemogokan-pemogokan massal dan serentak di seluruh Indonesia adalah uji kekuatan gerakan rakyat untuk memaksa pemerintah merubah kebijakan menjadi pro buruh dan rakyat.
Dan kehendak utama dan tertinggi kita adalah mengambil alih kekuasaan negara, tetapi tidak cukup dengan menempatkan orang-orang kita di parlemen, tidak cukup hanya dengan mensub ordinatkan diri ke partai-partai borjuis, tetapi melakukan pengambilalihan kekuasaan ke tangan rakyat dengan partainya sendiri, dan rakyatlah yang akan memimpin negara ini.
ditulis oleh Jumisih (Ketua Umum FBLP)