Oleh Iroy
Terima kasih atas perkenalan yang meneguhkan keyakinan diri bahwa perempuan harus tahu perjuangan kaumnya dan meneruskan perjuangan itu di mana, kapan, dan siapa saja.
Sebagai seorang dari kampung yang datang berkuliah ke Yogyakarta, gerakan perempuan membuat saya menyadari bahwa perjuangan perempuan dan para pahlawan emansipasi lebih daripada sekadar foto Cut Nyak Dhien atau Kartini yang dipajang di dinding-dinding sekolah.
2013 adalah tahun pertama saya mengikuti aksi IWD dan aktif bersama kawan-kawan perempuan yang melakukan perlawanan terhadap penindasan. Tidak ada perlawanan yang dapat dilakukan seorang diri. Melalui gerakan perempuan, saya menyadari bahwa arti pahlawan itu dibentuk dalam gemuruh perjuangan yang dilakukan secara bersama-sama.
Di tahun itu pula saya berkenalan dengan film In the Time of the Butterflies. Film tersebut mengisahkan Mirabal bersaudara yang memutuskan berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan. Di bawah kepemimpinan diktator Rafael Trujillo di Republik Domika, mereka dibunuh. Tragedi Maribal bersaudara yang dikisahkan melalui film ini pun – membuka jalan bagi para penontonnya, termasuk saya, untuk mengenal banyak perjuangan perempuan di belahan dunia lainnya.
Perkenalan saya dengan berbagai gerakan perempuan misalnya, diawali dengan gerakan perempuan di New York yang melawan kesenjangan dan penindasan pada tahun 1908. Pada saat itu, sekitar 15.000 perempuan turun ke jalan menuntut jam kerja lebih pendek, upah yang layak, dan hak pilih dalam pemilu.
Selanjutnya, saya membaca beberapa tulisan, salah satunya dari internationalwomensday.com di internet tentang Konferensi Internasional Perempuan Pekerja yang diadakan di Kopenhagen yang konon menginisiasi Peringatan Hari Perempuan Internasional. Dari beberapa referensi, saya ketahui bahwa Hari Perempuan Internasional sendiri untuk pertama kalinya diperingati di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss pada tanggal 19 Maret 1911.
Di Indonesia sendiri, pergerakan perempuan diabadikan misalnya oleh Susan Blackburn dalam bukunya yang berjudul Kongres Perempuan Pertama. “Kongres Perempoean Indonesia, berlangsoeng pada hari boelan 22 sampai 25 Desember 1928 di Mataram dikoenjoengi oleh oetoesan-oetoesan dari 29 perhimpoenan Indonesia; a. telah mendengarkan pembitjara’an tentang hal pengadjaran oentoek anak-anak perempoean; b. menimbang, bahoea pada waktoe ini masih banjak orang-orang toea jang ta’ soeka memasoekkan anaknja perempoean kedalam sekoelah jang meoridnja perempoean dan laki-laki bertjampoer beladjarnja, sehingga dapat menjebabkan pada masa ini beleom banjak anak-anak perempoean bersekolah pada sekolah menengah dan sekolah tinggi,” (Susan Blackburn, 2007:22).
Perempuan Indonesia dengan sangat berani membuat kongres perempuan pertama dan mengumpulkan organisasi-organisasi perempuan yang berbeda latar belakang agar perempuan mendapatkan haknya dan menegakkan nilai-nilai kesetaraan.
Di era yang serba canggih ini, dapatkah kita sebagai generasi penerus melakukan hal yang lebih? atau paling tidak tetap menjalankan warisan para perempuan pendahulu kita untuk melakukan perlawanan – menjamin perempuan memiliki kebebasan hidup dan mendapatkan haknya sebagai manusia yang sama.