Denyut nadi kota besar seperti Jakarta, tak lepas dari padatnya aktivitas kita sebagai warga. Mulai dari berangkat bekerja, berebut ruang di jalanan, berpacu dengan waktu agar bisa sampai tepat waktu di tempat kerja untuk mencari nafkah. Segala aktivitas kita itu ditopang dengan kebutuhan Bahan Bakar Minyak untuk mengisi tanki sepeda motor, mobil pribadi hingga angkutan umum. Industri pun bersandar pada kebutuhan Bahan Bakar Minyak untuk mengirim barang hasil produksi. Singkat kata, roda perekonomian kita hingga di level negara bersandar pada kebutuhan Bahan Bakar Minyak.
Kita, bersandar pada nafas hidup para sopir tanki Pertamina yang sehari – hari memasok BBM untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kita. Dalam hal ini, patutlah kita berterimakasih pada mereka. Namun, Di sela – sela kita mengantri membeli BBM di SPBU – SPBU, tahukah kita sedikit saja seluk beluk kehidupan mereka?
42 Tahun Mengabdi, Diberhentikan Tanpa Uang Pensiun
Sebagaimana seorang kakek bernama Muhali yang sudah 42 tahun mengabdi melayani penyediaan BBM bagi masyarakat. Sejak usia muda, tepatnya pada tahun 1974, Muhali sudah bekerja mendistribusikan BBM. Jam kerjanya tidak main main, bisa lebih dari 12 jam kerja. Ia bekerja dari jam 4 pagi mendistribusikan BBM hingga jam 10 malam. Dengan jam kerja sepanjang itu, rasa lelah tak terelakkan lagi, namun BBM harus sampai di SPBU untuk memenuhi kebutuhan masyarakat beraktivitas. Dalam kondisi lelah, ancaman kecelakaan lalu lintas hadir setiap saat. Muhali bukan tidak menyadari itu, tapi apa daya, ia dan rekan – rekannya tak kuasa menolak.
Ketika usianya sudah menginjak angka 65 tahun, Muhali mengalami kecelakaan kerja di Sukabumi. Saat itu, dia hendak menutupi mobil tanki Pertamina dengan terpal agar terlindung dari derasnya hujan. Tak dinyana, Muhali jatuh dan masuk Rumah Sakit. Sengkurat sedih bercampur kesal tampak di raut muka Muhali yang sudah tidak lagi muda. Pihak Pertamina melepas tanggung jawab, ia diminta beristirahat karena sakit, tanpa digaji. Ketika menanyakan hal itu ke pihak keuangan, ia dinyatakan sudah tidak lagi bekerja. Muhali berkisah, ia dinyatakan pensiun, tapi tidak ada uang pensiun,karenanya Muhali menolak dipensiunkan. Uang berobat pun tidak ada yang ditanggung Pertamina. Padahal, Muhali harus menanggung hidup dua anak dan lima cucu. 42 tahun melayani kebutuhan BBM masyarakat, tak dihargai dengan pemenuhan hak.
Namun, kehidupan Muhali kini penuh pengharapan sejak berserikat. Meski sudah tidak muda, Muhali rela menghabiskan waktunya untuk mengikuti rapat – rapat membahas perjuangan dirinya dan teman – temannya. Bukankah membahagiakan bila kita bisa berkontribusi untuk sesama? “Begitu saya masuk anggota serikat saya ikut rapat, saya ikut ke monas, ikut terus. Saya semangat berjuang mah,meski sakit.” Ucapnya dengan senyum merekah.
Kecelakaan, Menjadi Difabel, Uang Jasa Raharja Dicuri Perusahaan
Suhendra, mengikuti jejak ayahnya menjadi awak mobil tanki Pertamina. Nasih sang ayah yang kini terbaring tak berdaya di rumah, mendorongnya ikut berserikat.
Suhendra masih ingat betul kejadian pada bulan Mei 2013, mana kala sang ayah mengalami kecelakaan. Kelelahan yang menerpa tak lagi tertahan oleh ayahnya, rasa kantuk menyerang karena malam sebelumnya tidak tidur. Malam hari mendistribusikan BBM, dilanjutkan esok hari jam 9 pagi kembali mendistribusikan BBM. Rasa kantuk yang tak terelakkan menimbulkan kecelakaan yang hampir merampas nyawa ayahnya. Betul, sang ayah terselamatkan nyawanya, namun tubuhnya tak bisa lagi beraktivitas, ayahnya menjadi difabel (penyandang cacat) sehingga tidak bisa lagi mencari nafkah.
Ayah Suhendra menjalani dua kali operasi, biayanya pun tidak sedikit. Uang sebesar Rp 132 juta pun terkuras untuk biaya operasi dan pengobatan. Uang sebanyak itu, keluarga berkeras mengupayakannya. Sementara, pihak perusahaan hanya memberi Rp 10 juta. Biaya pengobatan dan operasi itu tidak tercover oleh BPJS. Usut punya usut, ternyata gaji Awak Mobil Tanki Pertamina yang tiap bulannya dipotong oleh perusahaan, tidak disetor ke BPJS. Alhasil, ayah Suhendra dan rekan- rekan AMT lainnya tidak mendapatkan manfaat dari BPJS seperti yang seharusnya.
Rasa sedih bercampur marah, makin menumpuk mana kala gaji ayah Suhendra tidak keluar lagi. Terakhir, gaji sang ayah adalah di bulan Juli 2013. Tidak berhenti sampai di sana, uang Jasa Raharja yang mestinya menjadi hak ayah Suhendra, ternyata tidak sampai ke tangan keluarga. Uang Jasa Raharja itu diambil oleh Pak Azhari, dari pihak manajemen.
Penghargaan atas kerja keras ayahnya mendistribusikan BBM dengan resiko nyawa layaknya mendapat penghargaan, namun hak justru dipangkas habis tak bersisa. Suhendra hanya meminta apa yang sudah menjadi hak ayahnya selaku pekerja, sebagai manusia yang punya hak atas hidupnya yang kini tidak lagi seperti dahulu. Sang ayah harus terbaring di atas pembaringan karena tubuh tak lagi bisa berdaya seperti semula. Suhendra hanya ingin, pihak perusahaan melek matanya, untuk memberikan uang Jasa Raharja yang telah diambil tanpa permisi. Suhendra dan keluarga hanya ingin perusahaan menanggung biaya operasi dan pengobatan, uang santunan, uang pensiun yang memang selayaknya diperoleh. Bukankah manusia berhak hidup selayaknya manusia?
Rosidin dan Keluarga: Idul Fitri Tanpa Baju Baru untuk Anak
“Sekarang anak saya dikurung sama mamanya karena dia ga mau anak- anak lihat teman temannya beli baju baru untuk lebaran” ucap Rosidin dengan mata berkaca kaca.”
Hari Raya Idul Fitri atau lebaran tahun ini dirasa berbeda bagi Rosidin dan keluarga. Bila tahun lalu, Rosidin bisa membahagiakan kelima anaknya dengan baju baru seperti kebanyakan orang tua, tahun ini terpaksa Rosidin tidak memberikan apa apa. Ia hanya bisa memberikan doa dan harapan. Berkumpul bersama keluarga tentu tetap tak tergantikan dengan baju baru. Namun, namanya anak – anak tentu mereka sulit mengerti. “Anak saya lima, yang kecil masih ada dua, 4 tahun dan 9 tahun, tahunya kita pulang bawa duit. Sampai istri saya keluar air mata, saya bilang sabar saja, sampai sekarang gaji nggak keluar, kalau gaji keluar bisa lah untuk nyambung kebutuhan”
Sakit hati Rosidin sudah tak terbilang, ketika bulan puasa tiba, setiap orang tua sibuk mengumpulkan uang untuk pulang kampung, sekedar berkumpul dengan keluarga dengan sedikit uang untuk baju baru buat anak – anak, Rosidin justru diputus sumber nafkahnya. Rosidin, diputus kerja tanpa pesangon, tanpa peringatan. Padahal ia sudah bekerja sejak tahun 1990an. Gaji selama 4 bulan pun belum dibayar. Bisakah kita terbayang, dengan apa kelima anaknya mendapat penghidupan?
Bukan tanpa resiko Rosidin bekerja di Pertamina, mendistribusikan BBM ke SPBU – SPBU. Ia pernah mengalami kecelakaan, mobil tanki Pertamina yang ia kendarai mengeluarkan percikan api. Tepatnya di Cawang, Jakarta Selatan, ban meletus, Rosidin pun ke belakang dan sempat melihat percikan api. Ia coba memadamkan percikan api tersebut yang kemudian menyusul percikan api ke dua yang lebih besar. Mengetahui bahaya mengancam dirinya dan masyarakat sekitar, ia mencoba menyetop mobil supaya berhenti dan tidak melewati jalan (TOL) tempat mobil tanki tersebut nyaris terbakar. Di tengah marabahaya, Rosidin masih teringat dengan masyarakat sekitar. “Jadi saya selamatkan diri, saya lari ke belakang, sambil ke tengah, nyetop mobil jangan ke tengah, jangan sampai kena imbasnya.”
Pak Presiden, Ayo Turun Tangan
Derita sudah sampai ke ujung leher, segala upaya perundingan diabaikan. Hasil kesepakatan bersama pada pemogokan sebelumnya di tahun 2016 diabaikan PT. Patra Niaga tanpa ampun. Dengan tekad bulat, AMT Pertamina di Jawa, Sumatera, Sulawesi bersepakat mogok, setelah di bulan fitri PT. Patra Niaga Pertamina justru memutus nafkah hidup pekerjanya.
Sejak 19 Juni 2017, AMT Pertamina memulai pemogokannya. Negosiasi pun kembali digelar, namun pihak PT. Patra Niaga Pertamina bersikukuh tidak ada hubungan kerja antara pihaknya dan para pekerja. Hasil Nota Pengawas Sudinaker Jakarta Utara diabaikan begitu saja. Sebuah perusahaan milik negara, yang menjadi topangan ekonomi negara, tak disangka, abai terhadap nasib pekerjanya, nasib rakyatnya sendiri, di bumi pertiwinya sendiri.
“Mogok, pada prinsipnya bukan kehendak kami” Ucap Galyta, sebagai pendamping advokasi AMT Pertamina. “…Kami terpaksa mogok karena patra niaga bersikukuh terus melakukan penindasan di lingkungan perusahaan migas yang ada di indoensia, tetaplah kembali fitrah dan bersemangat untuk perjuangan” lanjut Galyta
Galyta, selaku Ketua Departemen Advokasi FBTPI (Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia) menuturkan, Pak Jokowi, selaku Presiden Indonesia sebaiknya segera bertindak karena hal ini terjadi di perusahaan milik negara.
“Harapan kami dari FBTPI pihak pemerintah, dalam hal ini presiden bisa mengambil peran untuk menangani situasi ini.”
Bagaimana Dengan Kita, Konsumen BBM?
Untuk menopang aktivitas kita sehari – hari, kita tidak lepas dengan kebutuhan mengkonsumsi BBM. Tanpa BBM, kita tidak tahu apakah kita bisa pulang ke kampung halaman di hari raya yang fitri ini. Tanpa BBM, kita tidak bisa berangkat bekerja baik dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Tanpa kerja keras para Awak Mobil Tanki Pertamina yang sudah mendistribusikan BBM sejak pukul 4 pagi, kita tidak tahu apakah kita bisa beraktivitas di hari ini ataupun esok.
Sembari mengejar waktu di tengah padatnya lalu lintas, mungkin kita tidak terpikir bahwa di waktu yang sama, di jam yang sama, para Awak Mobil Tanki Pertamina sedang bertarung nyawa di jalanan demi pemenuhan kebutuhan BBM untuk masyarakat.
Di tengah Hari Raya yang fitri ini, ketika kita berkumpul bersama keluarga, coba sedikit sematkan ucapan maaf lahir dan batin atas abai kita pada nasib saudara kita AMT Pertamina. Lantunan doa, di tengah hiruk pikuk baju baru, limpah ruah makanan dalam perayaan Lebaran. Itu selemah – lemahnya iman. Alangkah baiknya kita bisa berbuat lebih, sekedar mampir di tenda tenda juang mereka, bertegur sapa, bertanya kabar, menyampaikan kepedulian. Karena peduli dan empati itulah yang tak ternilai harganya. Ia mulia. (dst)