Search
Close this search box.

“Aku, Mamak dan Pak Lekku”

Begonia 203 :
Hari ke-4 (30 maret 2016) menemani mamak yang terbaring sakit di Rumah Sakit, akibat tumor otak di kepalanya.

Pak Lek datang bersama isterinya menjenguk mamak. Pak Lek adalah PNS yang sekarang bekerja di BLK (Balai Latihan Kerja) Kabupaten Pati. Istrinya juga PNS, guru di 2 SD yang berbeda. Pak Lek bisa menyekolahkan ke 2 anaknya sampai Universitas, rumahnya ada 2, sapinya sudah beranak pinak. Dari sisi ekonomi, Pak Lek tergolong sukses. Keluarga besar kami bangga punya Pak Lek yang “bisa di lihat sukses” oleh saudara-saudaranya.

Setelah ngobrol kesana kemari, mempertanyakan penyakit mamak, Pak Lek juga meyakinkan mamak untuk tidak ragu menjalani operasi. “Hadapi ! Ojo wedi, ojo ragu karena hidup mati kita Allah sing nentukan.” (Hadapi ! Jangan takut, jangan ragu, hidup mati kita Allah yang menentukan)”. Begitu kata Pak Lek. Sekilas ku amati wajah mamak, mulai ada kepercayaan diri terpancar di raut muka mamak yang sudah keriput.

Sekarang tiba giliranku untuk di nasehati oleh Pak Lek. “Kowe iku nyambut gawe opo nong Jakarta, kok amene demo wae nong tipi, ngono iku entok bayaran opo ora”? (Kamu itu kerja apa di Jakarta, kok sering demo di tv, kaya gitu dapat bayaran apa ga?).

Sambil tersenyum aku berusaha menjelaskan dengan menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, agar mamak bisa paham. “Pak Lek, demo iku, tidak satu-satunya penggaweanku nong Jakarta, aku karo teman-temanku di Jakarta yo ono pekerjaan yang lain, kadang pendidikan, pelatihan, advokasi, bahkan kami punya radio Marsinah FM, saiki kami malah merintis untuk nggawe Tempat Pengasuhan Anak Buruh”.

Pak Lek terdiam, mungkin sedang mencerna penjelasanku. Sebenarnya kumisnya yang tebal, badannya yang tinggi tegap, sorot matanya yang tegas, agak membuatku takut untuk menatapnya. Tapi ku beranikan diriku, kapan lagi aku bisa menjelaskan pilihan hidupku. Pikirku dalam hati.

” Tapi Pak Lek ora seneng, kowe numpak nong nduwur mobil bengok-bengok, wong wedok ora pantes, ngono iku njaluk opo? Ngko ndak malah investor do lungo kabeh , Toshiba, Sharp, kae malah do PHK karyawane, malah nambah Pengangguran”. ( Tapi Pak Lek ga suka, kamu naik di atas mobil teriak-teriak, perempuan ga pantas, kayak gitu nuntut apa? Nanti malah investor pada pergi semua, Toshiba, Sharp itu malah pada memPHK karyawannya, malah nambah pengangguran).” Pak Lek berusaha lagi meyakinkanku untuk tidak demo-demo.

Kali ini, malah mamak yang menjawab Pak Lek. “Ponakanem iku malah wani kok, omongane iku trampil ora ono sing salah nek nong nduwur mobil nong ngarepe wong akeh. koyo kowe nopo Lek. Wong mbeloni karyawan sing do di telantarno Pengusaha kok, malah bok arani nggawe pengusaha bangkrut, piye leh?. (Ponakanmu itu malah berani kok, ucapannya trampil ga ada yang salah kalau di atas mobil di depan orang banyak. Kaya kamu Lek. Membela karyawan yang di telantarkan Pengusaha kok malah kamu bilang membuat bangkrut pengusaha, gimana sich?)” Mamak membela aku dengan bangganya.

Duch, mamak bangga dengan yang ku lakukan di Jakarta. Mamak mengerti yang ku lakukan itu tidak salah. Baru kali ini ku dengar mamak menyampaikan hal itu, ku mendengar dan melihatnya sendiri. Aku bangga padamu mamak. Aku jadi teringat, tahun 2003 saat aku mulai belajar menjadi organiser fulltime, mamak sering menangis kalau melihat aku demo di tv, takut aku ditangkap polisi katanya.

Mamak sekarang terbaring di Rumah Sakit KSH Pati, Ruang Begonia 203. Mamak bertarung melawan penyakit tumor otak yang dideritanya, Samangatnya sangat besar untuk sembuh. Mohon doa untuk kesembuhan mamak dari kawan-kawan semua.

Terima kasih.
Jumisih

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Menilik arti kemerdekaan dari ilusi Kekerasan Simbolik

Saya memaknai langsung, bahwasannya narsisme pejabat di jalan dalam bentuk sampah visual, hingga lenggak-lenggok mereka dalam balutan baju adat berharga selangit tak lebih dari kekerasan simbolik negara yang terus-menerus mengiritasi. Kekerasan yang  tidak hanya merusak pandangan kita namun juga nurani kita. Bagaimana tidak, setiap perayaan demokrasi, direduksi menjadi ‘coblosan’. Rasanya kita dibuat mati rasa, dan mati nurani karena terus-menerus dibombardir dengan banyaknya laku narsis para calon yang mengaku akan mewakili suara kita di arena pemilihan umum.

Panggil Aku, Kakak Ari Saja

keterangan foto: bersama kedua mentor ku, Aam (kiri) dan Papang (kanan) Kadang cita-cita dan kenyataan sering sekali jauh dari harapan. Tapi tidak perlu menyesal ketika

Perjuangan Buruh Melawan Nasib Buruk

Sejak Covid masuk ke Indonesia, dampaknya luar biasa bagi rakyat, terutama kaum buruh. Dua juta lebih buruh ter-PHK. Apalagi pemerintah mengeluarkan peraturan yang menguntungkan para

Gelombang Perlawanan Perempuan Iran, Tentang Mereka yang Menolak Redam

Kematian Amini memicu gelombang aksi protes di berbagai kota. Di sepanjang aksi – aksi protes,  pengunjuk rasa meneriakkan slogan “Perempuan, Hidup dan Kebebasan” (Woman, Life, Freedom). Slogan ini mengejewantahkan amarah pengunjuk rasa kepada rejim yang sibuk merepresi perempuan dan abai mengeluarkan kebijakan yang lebih fundamental seperti perbaikan kesejahteraan rakyat, padahal satu dari tiga warga Iran hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih jauh lagi, slogan tersebut berasal dari gerakan pembebasan perempuan Kurdish di Turki dan Syria yang mengalami penindasan berbasis etnik selama puluhan tahun.

Sebuah Tragedi: Lagi, DPR RI Tidak Mengesahkan RUU PPRT

Endang Yuliastuti dari Institut Sarinah mengeluhkan aturan ketat yang diterapkan terhadap PRT dan Koalisi Sipil selama lima tahun terakhir. Menurutnya, tata kelola DPR semakin menjauh dari rakyat dan membatasi partisipasi masyarakat, khususnya PRT, meskipun mereka hanya ingin memantau jalannya sidang.