Sosok muda itu duduk sendiri di bangku kayu ruang kunjungan tahanan—sebuah ruangan besar yang terbuka, tempat para tahanan bertemu keluarga mereka. Di sana, percakapan berlangsung pelan, diselingi tawa singkat, isak yang ditahan, dan tatapan panjang yang seolah ingin menunda perpisahan. Udara terasa padat oleh rindu dan kewaspadaan yang sama-sama dijaga.
Ia anak muda dari Bali yang kini ditahan di Mabes Polri, Jakarta. Wajahnya tampak sedikit berbeda dari foto-foto yang pernah kulihat di poster-poster yang beredar di media sosial. Di tangannya tergenggam sebuah buku berjudul “Semua untuk Hindia”, dari caranya memegang seolah buku itu telah lama menjadi teman setianya.
Ia menunggu kami dengan sedikit gelisah. Mungkin ia sedang menebak-nebak, di antara orang-orang asing di ruangan asing ini, siapa yang datang untuknya. Tatapannya menyambut kehadiran kami, tetapi genggaman tangannya pada buku itu justru menguat—seperti sedang menahan sesuatu. Seolah sejarah yang ada di tangannya dan kenyataan yang sedang ia jalani hari ini saling bertumpang tindih.
Ketika buku itu berpindah ke tanganku, barulah jelas kulihat jejak-jejaknya. Halamannya ada beberapa lipatan, garis bawah, dan sudut-sudut yang tertekuk. Buku itu sudah dibaca—atau sedang dibaca—di ruang tahanan yang, menurut pengakuannya, ia tempati sendirian, tanpa teman sekamar. Ada ritme sunyi yang tertinggal di kertas-kertasnya, ritme malam-malam panjang yang dilalui seorang diri.
Aku langsung terpikir betapa janggal sekaligus tepat pemandangan itu. Seorang anak muda duduk di ruang kunjungan tahanan hari ini, memegang kisah-kisah tentang Hindia Belanda—tentang kekuasaan, pengawasan, penjara, dan nasib manusia di bawah kolonialisme.Sejarah, rupanya, tidak pernah benar-benar selesai. Ia tidak hanya tinggal di buku, tetapi muncul kembali dalam bentuk lain: di ruangan besar ini, di antara bangku kayu, bisik-bisik keluarga, dan tubuh-tubuh yang masih harus menunggu.
Sebagai orang asing yang baru bertemu untuk pertama kali, kami tak memiliki banyak bahan obrolan. Maka percakapan dibuka dengan pertanyaan paling sederhana: menanyakan kabarnya. Namun entah karena ia memang membutuhkan teman bicara, atau karena ruang tahanan terlalu sunyi untuk menanggung cerita sendirian, kisah itu mengalir begitu saja. Ia mulai bercerita tentang kasusnya—tentang penangkapan, tentang apa yang terjadi di antara dirinya, polisi, orang tua, dan lembaga bantuan hukum yang mendampinginya.
Kronologi Penangkapan
Jumat, 19 Desember 2025, sekitar pukul 11.00 WITA, ia bersama tiga orang lainnya berada di sebuah tempat di Jalan Sedap Malam, Denpasar. Suasananya biasa saja—hingga tiba-tiba sekitar lima puluh orang aparat datang. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, melainkan berpakaian preman dengan atribut buser—buru-sergap. Mereka mengaku berasal dari Polda Bali dan Bareskrim Polri.
Kepala Lingkungan (Kaling) setempat sempat diperlihatkan surat perintah penangkapan. Namun surat tersebut tidak pernah ditunjukkan kepada keempat orang yang ditangkap. Surat baru diperlihatkan setelah mereka berada di Polda Bali.
Sekitar dua puluh lima orang aparat masuk ke lokasi dan langsung melakukan penggeledahan. Dari tempat itu, mereka membawa sejumlah barang: buku-buku, gawai, dompet, dan sebuah laptop. Tidak ada penjelasan memadai mengenai dasar penggeledahan maupun penyitaan tersebut.
Kepada warga sekitar yang mulai bertanya-tanya, aparat justru memberikan keterangan yang tidak benar. Mereka menyebut adanya dugaan kasus terorisme dan narkotika. Di sisi lain, kepada Kaling, aparat menyampaikan bahwa target utama penangkapan adalah dirinya, serta menjamin bahwa tiga orang lainnya “tidak akan dibuat jelek namanya.”
Dalam proses itu, aparat juga menanyakan keberadaan CCTV. Bahkan, pemilik rumah diminta menghapus rekaman kamera pengawas. Setelah itu, keempat orang tersebut diborgol menggunakan cable ties dan dibawa ke Polda Bali. Mereka diangkut terpisah menggunakan empat mobil pribadi dan belasan sepeda motor.
Sekitar pukul 20.00 WITA, Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi tiba di Polda Bali untuk melakukan pendampingan. Pada malam yang sama, tiga orang yang ditangkap bersamanya dilepaskan. Sementara itu, ia langsung dilimpahkan perkaranya ke Bareskrim Polri dan diterbangkan ke Jakarta.
Koalisi kemudian mengonfirmasi kepada beberapa perwira di Polda Bali, yang membenarkan bahwa perkaranya ditarik dan ditangani oleh Bareskrim Polri. Di Jakarta, ia diketahui ditangani oleh Subdirektorat I Dittipidum.
Dalam komunikasi awal dengan LBH Jakarta, penyidik menyampaikan bahwa orang tuanya telah diberi kabar, bahwa ia diberi akses menghubungi keluarga, dan bahwa keluarga telah menyatakan akan menunjuk penasihat hukum sendiri.
Namun setelah LBH Jakarta berkoordinasi dengan Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi dan berhasil menghubungi orang tuanya, fakta yang terungkap justru berbeda. Keluarga menyatakan sama sekali belum memberikan persetujuan apa pun untuk menunjuk pengacara. Pernyataan penyidik tersebut tidak sesuai dengan fakta dan diduga kuat merupakan keterangan tidak benar terkait pemenuhan hak atas bantuan hukum.
Tomy menceritakan semua itu dengan suara datar, nyaris tanpa jeda—seolah penangkapan, kebohongan, dan pemindahan dirinya dari Bali ke Jakarta telah menjadi rutinitas yang terpaksa ia terima. Di ruang kunjungan itu, cerita hukum berubah menjadi cerita manusia: tentang anak muda yang ditarik paksa dari kesehariannya, tentang orang tua yang tiba-tiba harus berhadapan dengan negara, dan tentang hukum yang sejak awal terasa tak pernah benar-benar berdiri di pihaknya.
“Mungkin aku akan dituntut lima tahun penjara karena tiga pasal yang dituduhkan padaku,” katanya lirih.
“Apa kamu tahu pasal apa saja?” tanya temanku.
“Tahu,” jawabnya.
“Ujaran kebencian, provokator, dan ajakan terhadap anak di bawah umur.” Ia lalu bercerita tentang unggahannya di akun Instagram Bali Tidak Diam. Juga tentang lima belas orang dari seratus demonstran yang ditangkap, yang kini sedang menjalani persidangan dan dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkannya—dengan mengatakan bahwa tindakan mencuri dan membuat kericuhan dilakukan karena terprovokasi oleh unggahannya.“
Dalam penyidikan, polisi juga menanyakan dua nama padaku,” lanjutnya. “Mereka ingin tahu apa hubunganku dengan mereka dan peran mereka dalam konsolidasi aksi. Belakangan aku sadar, dua temanku itu juga jadi target. Aku melihat yang dibidik hampir semuanya bukan penduduk asli Bali. Entah kenapa.”
“Menurutmu apakah ini cara untuk menjauhkan Tomy dari dukungan dan solidaritas warga Bali?” tanyaku pada temanku yang duduk di sebelahku.
“Bisa jadi,” jawabnya.
“Sekaligus untuk memastikan Bali tetap ‘aman dan nyaman’—sebagai etalase pariwisata.”
Kalimat itu menggantung di udara. Aman bagi siapa, nyaman untuk kepentingan siapa—pertanyaan itu tak pernah benar-benar terjawab, hanya dibiarkan tinggal di ruang kunjungan, bersama bangku kayu, buku sejarah, dan waktu yang bergerak lambat.
Polisi yang bertugas beberapa kali datang menyela percakapan kami. Pertama, seorang aparat berseragam menghampiri, matanya tertuju pada jemariku yang bergerak pelan di atas selembar tisu. Ia mengingatkanku—dengan nada datar namun tegas—untuk tidak mencatat apa pun. Menulis, rupanya, bukan bagian dari hak kunjungan.
Beberapa menit kemudian, seorang polisi lain datang. Ia tidak mengenakan seragam. Cara berdirinya berbeda: lebih tenang, lebih yakin. Dari cara ia berbicara, jelas ia adalah komandan. Tanpa banyak basa-basi, ia meminta pulpen yang kugenggam. Katanya, pulpen itu akan disimpan dan dikembalikan setelah aku keluar dari ruang kunjungan. Aku menyerahkannya.
Di ruang itu, obrolan diperbolehkan—selama ia tetap tinggal sebagai suara yang menguap di udara. Yang dilarang bukan sekadar merekam, melainkan juga mengingat. Tidak boleh ada jejak, tidak boleh ada arsip. Kata-kata boleh lewat, tetapi tidak boleh tinggal.Aku menatap Tomy Wira sejenak. Ia melihat adegan itu tanpa ekspresi berlebih, seolah sudah paham betul aturan tak tertulis ruang ini: bahwa negara tidak hanya mengurung tubuh, tetapi juga berusaha mengurung ingatan.
Ruang kunjungan itu mendadak terasa seperti perpanjangan dari ruang tahanan. Bangku kayu, tatapan aparat, dan larangan mencatat bekerja sebagai satu sistem pengawasan yang rapi. Segalanya berlangsung tanpa kekerasan terbuka, tanpa teriakan—hanya prosedur, hanya aturan. Namun justru di sanalah kekuasaan bekerja paling efektif.
Aku menyadari sesuatu: di tempat ini, bahkan ingatan pun dianggap berbahaya. Karena ingatan bisa menjelma menjadi kesaksian. Dan kesaksian, jika sampai keluar dari ruangan ini, bisa berubah menjadi cerita—sesuatu yang tidak pernah benar-benar bisa dikendalikan negara.
Percakapan kami pun berlanjut, dengan kehati-hatian baru. Kata-kata dipilih, jeda diperpanjang. Setiap kalimat terasa seperti sedang diuji sebelum diucapkan. Namun justru dalam keterbatasan itulah, cerita-cerita paling jujur sering menemukan jalannya sendiri.Dan aku tahu, meski pulpenku disita, meski tisuku tetap kosong, apa yang terjadi di ruang ini tidak akan benar-benar hilang. Ia telah berpindah tempat—dari kertas ke tubuh, dari catatan ke ingatan.
Sebelum kami bertiga berpamitan, Tomy sempat bertanya pelan, seolah tak ingin suaranya terlalu jauh menjangkau telinga-telinga lain.
“Di luar… bagaimana situasi pergerakan sosial sekarang?”
Pertanyaan itu tidak panjang, tetapi berat. Ia bukan sekadar ingin tahu kabar aksi atau konsolidasi, melainkan ingin memastikan apakah dunia di luar masih bergerak—atau sudah dibekukan oleh ketakutan yang sama seperti ruang ini.Kami menjawab sebisanya. Tentang solidaritas yang masih hidup meski terfragmentasi, tentang orang-orang yang terus bersuara meski tahu risikonya, tentang perlawanan yang mungkin tak lagi riuh, tapi belum sepenuhnya padam.
Sesaat sebelum kami berdiri dan penjaga memberitahu waktu kunjungan selesai, Tomy menyelipkan sesuatu ke tanganku. Dua lembar kertas, terlipat tidak rapi, dengan bekas kusut yang jelas menunjukkan bahwa ia telah berkali-kali dibuka, dibaca ulang, lalu dilipat kembali.
“Ini catatanku, boleh dipublikasikan,” katanya. Namun di balik salah satu kertas itu, ia menulis “ Teman-teman sila bantu dinilai apakah dapat dipublikasi. Aku membaca kata-kata yang isinya bukan pernyataan politik, bukan seruan, bukan pula pembelaan diri—melainkan keraguan. Tentang apakah suaranya masih layak didengar. Tentang apakah kata-kata dari ruang tahanan hanya akan menjadi beban tambahan bagi orang-orang di luar. Keraguan itu justru menjadi bagian paling jujur dari seluruh tulisan. Aku tanpa mengubah suara Tomy melakukan penyuntingan sangat minimal—hanya merapikan ejaan dan alur, tanpa menghaluskan makna dari surat anak muda berusia 21 tahun itu.
HINDIA 2025
Barangkali saya sisipkan sedikit karya tulis.
Maka melalui pena, dengan sepenuh rasa,sepotong doa dan harapan—harapan membangun bersama.
Tatap kembali tanah lapang yang dulu dinamai Hindia.
Tanahnya emas,
namun kita kerap diperolok oleh penguasa pada masanya.
Bukankah bumiputera adalah pemilik tanah Hindia?
Dari tulang-belulang pendahulu
hingga tangan penerus zamannya.
Dari neraca yang seharusnya setaradengan buku keadilan.
Tanahnya subur,
tetapi tak mampu menyuapi perutnya sendiri.
Dari rasa memiliki bersamahingga menjadi asing—seperti suguhan Kafka.
Bukankah seharusnya Indonesia?
Bukankah seharusnya demikian?
Lalu mengapa yang tetap kulihat adalah Hindia?
Memorandum Politik Lanjutan
Saya, Tomy Wiria, tidak lagi berjuang sendiri atas nama keadilan,
melainkan bersama demi kebenaran dan keadilan.
Dengan degup kencang, ditemani dentang jeruji besi, kerinduan itu tetap hadir:
untuk berkontribusi lebih banyak lagi.
Hari ini, saya sangat merindukan Pulau Dewata tempat saya tumbuh,
berkembang,dan bekerja bersama masyarakat kecil.
Dalam kerinduan itu, saya berharap tetap dikaruniai spirit jiwa zaman (Zeitgeist)
dan turut membangun mandat-mandatnya (Volksgeist).
Semuanya akan tumbuh,
menyebar,
sebagai tugas bersama membangun tatanan rakyat yang adil dan makmur.
Kawan-kawan semua, tetap menyala.
Abadilah.
Terbangunlah.
Membangunlah
Tomy bercerita bahwa ia tahu pengacaranya dan kawan-kawannya berencana datang berkunjung, sekaligus melakukan aksi damai di sekitar Mabes Polri. Nada suaranya tidak bersemangat berlebihan; justru ada kekhawatiran yang ia sembunyikan setengah-setengah. Ia mengaku sudah mengingatkan teman-temannya sejak awal—agar apa pun bentuk solidaritasnya, jangan sampai mengganggu pengunjung tahanan lain.
“Di sini banyak orang sedang menunggu keluarganya,” katanya pelan.
“Masing-masing punya cerita dan bebannya sendiri.”
Kekhawatiran itu terasa ironis: seseorang yang ditahan negara justru masih memikirkan ketenangan orang lain. Seolah ia paham benar bahwa ruang kunjungan ini bukan hanya tempat bertemu, melainkan ruang rapuh yang dipenuhi kecemasan bersama.
Ketika waktu kunjungan berakhir dan kami keluar dari gedung Mabes Polri, pemandangan di luar seolah menjawab cerita Tomy barusan. Di depan pintu masuk tamu, beberapa kawan dari Front Mahasiswa Nasional dan warga Kampung Kebon Sayur berdiri membawa poster dan spanduk sederhana. Tidak ada teriakan berlebih, tidak ada orasi panjang, hanya kehadiran, hanya tubuh-tubuh yang memilih berdiri sebagai tanda bahwa Tomy tidak sendirian.
Solidaritas itu berlangsung singkat. Langit Jakarta tiba-tiba runtuh dalam hujan deras. Satu per satu orang menyingkir, poster diturunkan, kertas-kertas basah dilipat tergesa. Aksi itu tidak dibubarkan dengan kekerasan; ia bubar oleh cuaca—oleh air yang turun tanpa komando.
Namun justru dalam kebubarannya yang sunyi itu, aksi tersebut terasa utuh. Tidak spektakuler, tidak heroik, tidak abadi. Ia hadir sebentar, lalu menghilang—seperti banyak solidaritas hari ini yang harus bernegosiasi dengan ruang, waktu, dan pengawasan.
Aku teringat kekhawatiran Tomy di dalam tadi. Bahwa solidaritas, bagi dirinya, bukan soal seberapa keras suara diteriakkan, melainkan seberapa jauh kita masih mampu menjaga kemanusiaan satu sama lain—bahkan di hadapan negara yang bersenjata, bangunan yang dingin, dan hujan yang jatuh tanpa ampun.
Di antara gedung tinggi, genangan air, dan langkah-langkah yang berpisah arah, satu hal terasa pasti: meski ruang kunjungan melarang pencatatan, dan hujan membubarkan aksi, ingatan tentang hari itu tetap berjalan pulang bersama kami.
Jakarta, di Penghujung Tahun 2025











