Teh Pahit di Kertamanah: Menipisnya Lahan dan Ketidakpastian Hidup Buruh

Sebagai buruh borongan, penghasilan Dedi bergantung pada jumlah pucuk teh yang bisa dipetik. Dengan sistem upah per kilogram, pendapatannya semakin menurun seiring berkurangnya luas lahan yang bisa digarap. Harga pucuk teh sendiri berkisar antara Rp500 hingga Rp800 per kilogram, tergantung kualitasnya. Total sebulan, Dedi hanya memperoleh sekitar Rp2 juta. Jika lahan semakin menyusut, penghasilannya pun bisa semakin tergerus.  

Pagi itu, embusan angin dingin menyapu perkebunan teh di PTPN I Regional 2 Kebun Malabar, Unit Kertamanah. Hamparan hijau yang dulu rimbun kini tampak berubah. Sebagian lahan tak lagi dipenuhi pucuk teh siap petik, melainkan terlihat tandus akibat rusaknya lahan yang terus berlangsung. Sebagai buruh, ia menyayangkan perusakan lahan akibat konflik berkepanjangan. 

Dedi (22), bukan nama sebenarnya, seorang buruh pemetik teh yang telah bekerja selama empat tahun, menghela napas panjang. Baginya, berkurangnya lahan berarti berkurangnya peluang kerja dan penghasilan.  

“Dulu, saya bisa membawa pulang cukup uang untuk keluarga. Sekarang, lahan makin sedikit, pendapatan turun 30-40 persen. Awal tahun ini, banyak teman saya sudah berhenti bekerja,” katanya lirih.  

Sebagai buruh borongan, penghasilan Dedi bergantung pada jumlah pucuk teh yang bisa dipetik. Dengan sistem upah per kilogram, pendapatannya semakin menurun seiring berkurangnya luas lahan yang bisa digarap. Harga pucuk teh sendiri berkisar antara Rp500 hingga Rp800 per kilogram, tergantung kualitasnya. Total sebulan, Dedi hanya memperoleh sekitar Rp2 juta. Jika lahan semakin menyusut, penghasilannya pun bisa semakin tergerus.  

Di tengah situasi ini, buruh seperti Dedi dan kawan-kawannya dihadapkan pada dilema.  Mereka hanya bisa berharap ada solusi yang membawa perubahan yang lebih baik untuk masa depan buruh perkebunan dan lingkungan.

“Kami sering bertanya-tanya, bagaimana nasib kami ke depan? Kami ingin tetap bekerja, tapi kondisi saat ini membuat kami semakin khawatir,” ujar Dedi.  

Dampak dari rusaknya lahan ini tak hanya terasa pada pekerjaan mereka. Buruh juga merasakan perubahan lingkungan, seperti semakin seringnya banjir dan kesulitan akses air bersih. Beberapa dari mereka yang kehilangan pekerjaan bahkan terpaksa mencari nafkah di tempat lain demi keberlangsungan hidup keluarganya.  

“Kami berharap ada perhatian lebih terhadap nasib buruh seperti kami. Kami hanya ingin bekerja dengan tenang dan mendapatkan kepastian akan masa depan kami,” tambahnya.  

Di tengah kesejukan perkebunan teh yang kini menghadapi banyak perubahan, suara para buruh tetap menggema. Mereka berharap suara ini sampai kepada mereka yang bisa membawa perubahan, agar masa depan mereka tetap terjaga.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Buruh Perempuan Sadar Berani Melawan

Pagi itu, 04.30 WIB, kau telah membuka mata, menuju kamar mandi, memasak untuk sarapan pagi dan makan siang untuk keluarga kecilmu. Selanjutnya, mandi berkemas, siap

PERINGATAN HARI HAM

10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia. Kenapa Hari HAM se-Dunia diperingati setiap tanggal 10 Desember ? penetapan tanggal 10 Desember sebagai Hari HAM

Kronologi Kerusuhan Urut Sewu (Kebumen)

Sunu, Kepala Desa Wiromartan (kiri, kaos hitam) terluka akibat serangan TNI  Berikut ini adalah kronologi penyerangan TNI kepada warga Desa Wiromartan terkait sengketa Urut Sewu.

Hari Kelahiran dan Bunda Maria Itu

gambar : https://pin.it/5Lnlt7v Celia terlahir dari keluarga kaya yang bermukim di ibukota. Garis keturunannya cukup makmur, dia mewarisi silsilah perternak besar di Buenos Aires. Celia

Makna Skor (skorsing) di KBN Cakung

KBN (persero) adalah kawasan milik pemerintah yang sudah berdiri kurang lebih 29 tahun, namun sejumlah pelanggaran UU Ketenagakerjaan No.13/2003 masih saja ditemukan. Terutama yang marak