Search
Close this search box.

‌Buruh Hansae : Kami Masih Berjuang

Setelah pabrik Hansae 3 dan 6 di KBN Cakung, Jakarta Utara, tutup, masih tersisa 21 kawan yang memperjuangkan hak pesangon sebagai buruh tetap meski pihak pengusaha enggan mengakui.

Pilihan terakhir, kami mengikuti sidang PHI, yang penting kami tidak berhenti berjuang. Kami belum menyerah, biarlah kami terus jadi mimpi buruk bagi bos yang banyak duit tapi enggan membayar hak buruh itu.

Singkat kata, kami sudah dalam sesi keputusan. Tapi ditunda karena yang terhormat Bapak Hakim belum menyelesaikan draft keputusan.

Begini ceritanya.

8 Januari 2020

‌Pukul 09.00 WIB, kami sekitar 17 orang sudah berkumpul, ditambah para suami yang mewakili. Tak lupa kami ‌briefing dan berdoa bersama sebelum berangkat.

‌Tepat pukul 10.30 WIB , kami pun berangkat dan sampailah kami di gedung PHI pukul 12.00 WIB, karena jalanan Jakarta yang tidak pernah mengenal kata sepi ditambah dengan gerimis yang menyapa, tapi tidak menyurutkan, semangat juang kami, menghadapi persidangan.

‌Kami berkumpul di luar gedung Pengadilan Negeri yang terletak di Jl. Bungur, Jakarta Pusat. Sambil menunggu waktu sidang, dengan harap- harap cemas yang terlihat jelas di wajah teman – teman semua.

Keputusan apa yang akan kami dapat? Begitu suara – suara yang bergema di pikiran kami. Hampir 1 jam lebih kami menunggu, ‌tepat pukul 13.10 WIB, kami masuk ruang sidang. Hakim terdiri dari, hakim ketua 1 orang, hakim anggota 2 orang. Semua teman – teman langsung mengambil posisi duduk masing – masing. Pengacara dari pihak tergugat Hansae belum nongol. Nomor kasus ‌kami 311.

‌Mba Ita, sebagai kuasa hukum teman – teman mencoba menghubungi pihak tergugat, (PT. Hansae) namun telpon tidak diangkat, WA pun tidak berbalas, ada apakah gerangan? Risau, cemas, bercampur geram, kami rasakan semua.

‌Kami pun terus masih menunggu, sambil mendengarkan kasus – kasus yang lain sedang disidangkan. Waktu telah menunjukkan pukul 13:55 WIB. Hampir 3 jam, kami sabar menunggu dan kami semakin geram.

‌Sementara, sampai jarum jam menunjuk angka 2 siang lebih, pihak PT. Hansae belum juga datang. ‌Pukul 14.10 WIB, sidang dimulai. ‌Sambil terus menunggu, kami cari udara segar di luar ruangan sidang, selagi aku, bunda Sultinah dan Ari, berbincang di luar, Dian Septi selaku Sekjen kami pun datang dan ikut berkumpul, tak lama kawan kami Susan memanggil dari dalam, kalau  sidang putusan akan dibacakan. Kamipun bergegas masuk.

‌Kuasa Hukum pihak penggugat, 3 orang Mb Ita, sebagai kuasa hukum, didampingi Dian dan Sultina) siap duduk di kursi penggugat. Tanpa pihak dari tergugat, yang hadir. Sangat disayangkan.

‌Kami semua terkejut. ‌Di luar dugaan,
putusan tidak dibacakan, dengan alasan

‌1. Tergugat (PT Hansae) tidak hadir.
‌2. Draf keputusan belom selesai dibuat

‌Padahal semestinya, tidak masalah tergugat tidak hadir, putusan tetap bisa di bacakan, itu kata kuasa hukum mb Ita. Tapi nyata nya kami tetap harus menunggu.

Kami semua sangat kecewa. Sidang akan dibuka kembali, kembli. Minggu depan nya, 15 Januari 2020.

‌Dan kamipun masih harus menunggu, dengan nasib yang akan kami dapatkan. Akankah kebenaran dan keadilan akan berpihak pada kami, kaum kecil, yang hak – haknya selalu dikebiri.

‌Hanya selang 10 menit saja, kami semua keluar dari ruang sidang dengan rasa kecewa dan geram. ‌Sebelum pulang kami berkumpul untuk breafing terlebih dahulu untuk mengatur strategi, penekanan terhadap hakim dan Hansae.

‌Semoga kami dapatkan apa yang menjadi hak kami dan para perampok hak itu mendapatkan ganjarannya.
‌Semangat itu tak akan pernah surut.
‌Kami akan tetap menunggu minggu berikutnya, 15 Januari 2020

15 januari 2020

Seperti biasa, 1 minggu kami menunggu. Kami bersiap tuk melanjutkan sidang keputusan yang tertunda, Rabu sebelumnya.

Kali ini, jumlah kami 21 orang plus beberapa kawan yang membawa anak. Bahkan 2 bocah kecil ikut, sementara satu buruh perempuan di antaranya sedang hamil.

Seperti biasa, menunggu adalah rutinitas kami. Pukul 12.00 WIB, kuasa hukum (Mb ita), masuk gedung PHI untuk mengisi daftar hadir. Pukul 12.40 WIB, kami semua masuk ruangan sidang. Dari pihak tergugat, ( PT. Hansae diwakili Bp Franki, juga hadir). Seperti biasa, hakim ketua 1 org dan 2 orang hakim anggota.

Pukul 14.00 WIB, sidang putusan ditunda,kami  istirahat terlebih dulu. Jam sudah menunjukkan angka 4 sore, tapi kasus persidangan kami dengan nomor 311, belum juga dimulai. Lelah dan kantuk sudah mulai terasa.

Kami sabar menunggu, Bunda Sultinah melawak, menghibur semua, karena kami harap – harap cemas tunggu putusan sidang.

Hingga sore hari, kami membenamkan diri dalam canda gurau untuk mengusir gelisah. Pukul 16.40 WIB, kamipun masuk kembali ke ruang sidang, tapi giliran sidang kami belum tiba.

Waktu terus bergulir, sidang demi sidang kami saksikan, tapi giliran kasus kami dengan nomor 311, belum juga dapat giliran.

Sambil tunggu giliran, kami menyimak beberapa kasus yang disidangkan. Ada satu kasus yang cukup menarik, yaitu kasus PT. GNA yang bergerak di bidang pemeliharaan hewan, bercabang di Bali, Dan pusat nya di Jakarta. Sidang saksi, dengan saksi 2 orang yang diantaranya adalah seorang paramedis dan seorang dokter hewan merangkap direktur cabang Bali. Diketahui, salah seorang saksi, seorang dokter sekaligus direktur itu adalah penggugat yang tidak memperoleh uang pesangon, sementara ia sering bekerja lebih dari 8 jam yaitu dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam, dengan gaji yang tak jelas jumlahnya alias di bawah UMP. Dengan lama bekerja selama 3 tahun, tanpa uang lembur, sungguh miris. Nasibnya, seorang dokter hewan tak lebih baik dari kami, buruh jahit.

Akhirnya, pada pukul 21.46 WIB, sidang putusan kami dibacakan. Pertimbangan dibacakan oleh hakim anggota.
dan hasilnya, tuntutan teman- teman ditolak semua. Kami semua lemas, nunggu dari jam 11, hingga hampir jam 10 malam, kantuk, penat juga lelah, semakin terasa, bahkan bercampur sedih dan kecewa, karena hasil putusan ditolak semua. Semangat kami terbang entah kemana, sebatas inikah keadilan? Sungguh sangat tidak berpihak pada kami, kaum buruh sudah memberikan loyalitas penuh pada pengusaha, akhirnya harus terhina seperti ini.

Usai sidang, pukul 22.40 WIB, kami briefing dengan ketua umum FBLP, Bu Jumisih dan mba Ita dan bunda Sultinah.

Kami semua kecewa dan marah. Meski demikian, keputusan kami tidak berubah, kami tetap maju hingga akhir dengan mengajukan kasasi

Berjuang itu memang menyakitkan,tapi setidaknya, kami membuktikan, kami punya harga diri, sekalipun kami buruh. Di depan hukum, di atas bumi ini, kami ingin menunjukkan bahwa kita semua sama apapun status sosial yang dilekatkan pada setiap manusia. Dengan berjuang, kami tidak hilang harga diri.

Kami Akan terus mencari keadilan.

Oleh Anggi

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Hidup, Tak Cukup Bertahan (1)

buruh masuk kerja di kbn cakung/putera/dok.dev.marsinah.id Oleh Muh Sanatiyusuf Aku tak tahu harus cerita mulai dari mana. Pengalaman hidupku penuh lika-liku. Sejak tahun 2001 aku

Teh Pahit di Kertamanah: Menipisnya Lahan dan Ketidakpastian Hidup Buruh

Sebagai buruh borongan, penghasilan Dedi bergantung pada jumlah pucuk teh yang bisa dipetik. Dengan sistem upah per kilogram, pendapatannya semakin menurun seiring berkurangnya luas lahan yang bisa digarap. Harga pucuk teh sendiri berkisar antara Rp500 hingga Rp800 per kilogram, tergantung kualitasnya. Total sebulan, Dedi hanya memperoleh sekitar Rp2 juta. Jika lahan semakin menyusut, penghasilannya pun bisa semakin tergerus.