Merasa kepentingan rakyat dikorbankan untuk kepentingan modal, berbagai organisasi atau lembaga yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi pada Kamis, 30 April 2020, melayangkan gugatan terhadap Keputusan Presiden untuk Pembahasan RUU Omnibus Law bersama DPR melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Dalam konferensi pers yang dilangsungkan pada Minggu, 3 Mei 2020, Arif Maulana selaku DIrektur LBH Jakarta menyampaikan gugatan tersebut dilakukan karena RUU Cilaka tidak partisipatif, dimana pemerintah tetap melanjutkan pembahasan meski sudah menuai banyak protes dan kritikan.
Bagi kaum buruh sendiri, menurut Jumisih, Wakil Ketua Umum KPBI, RUU Cilaka dinilai sangat merugikan karena tidak dilibatkan dan hanya diundang untuk mendapatkan sosialisasi tanpa didengar masukan – masukannya. Pun pemerintah lebih mendengarkan kepentingan pengusaha yang tampak dari dibentuknya satgas RUU OmnibusLaw yang meluaskan sistem kontrak dan outsourcing dengan menghilangkan pasal 59, UU Ketenagankerjaan No. 13/2003. Bahkan, lanjut Jumisih, RUU Cilaka Omnibus Law akan memperbanyak praktek – praktek PHK tanpa proses pengadilan. Artinya, PHK semena – mena menjadi hal yang sah di mata hukum. Belum lagi penghapusan semua ayat di pasal 93 yang menjamin pembayaran upah buruh ketika cuti hamil, melahirkan, haid, dan lain – lain. Dari sejak pemunculannya,RUU ini sudah menimbulkan konflik dan keresahan masyarakat, namun di tengah pandemic COVID 19, pemerintah justru membutakan nurani dengan terus melakukan pembahasan.
“Kalau menurut saya seandainya RUU Omnibus LAW tetap dijalankan mending pemerintah dihapuskan saja karena sudah tidak ada gunanya. Lebih baik pemerintah jadi pengusaha saja! Seharusnya pemerintah lebih fokus membahas pandemi ini!” Seru Merah Johansyah, aktivis JATAM. Merah geram, pasalnya selama ini dampak kerusakan lingkungan hidup tidak dievaluasi dan berpotensi semakin hancur dengan hadirnya RUU Omnibus Law yang mana 15 pasal UU Minerbadihapus dan ditambah 6 pasal baru yang justru tidak membatasi perusakan lingkungan hidup baik daratan maupun dasar laut.
Dewi Kartika, Sekjen KPA pun menegaskan menolak dan menuntut RUU ini tidak disahkan. Banyak pertentangan dalam RUU CIlaka, bukan hanya bagi buruh namun juga bagi nelayan dan petani. RUU Cilaka, menurut Dewi, disinyalir memudahkan penggusuran, perampasan tanah, dan memperparah monopoli pengusaha atas tanah dan membuat petani dan masyarakat adat makin rentan dikriminalisasi.
Asfinawati, Direktur YLBHI menegaskan praktek – praktek pelanggaran dalam proses pengesahan RUU CIlaka Omnibus Law mulai dari menyembunyikan draft RUU CIlaka, memanipulasi informasi ketika berkas RUU dikirimkan ke DPR dan cenderung diam – diam, menerabas putusan – putusan MK dalam prosesnya, kesemua itu melanggar prinsp negara Indonesia sebagai negara hukum.
Dengan demikian, gugatan yang dilayangkan terhadap keputusan presiden terkait RUU CIlaka Omnibus Law merupakan bentuk partisipasi aktif warga untuk kepentingan perlindungan HAM dan kelestarian lingkungan hidup, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 92 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Oleh Kiki