Search
Close this search box.

PP 36/2021, Regulasi Pengupahan Minus Perlindungan Hukum dan HAM

Oleh: Jumisih – Wakil Ketua FSBPI & KPBI, Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

 

Upah adalah urat nadi kaum buruh atau pekerja. Ungkapan ini sering kita dengar baik dari buruh atau pekerja itu sendiri maupun dari masyarakat secara umum. Upah juga menjadi penanda tingkat kesejahteraan buruh. Dengan upah yang besar, sering diasumsikan buruh akan sejahtera. Upah juga penanda bagi tingkat daya beli masyarakat. Dengan upah yang tinggi, maka kenaikan daya beli akan linear dengannya.

Di sisi lain, aneka kebutuhan hidup manusia diproduksi untuk dipasarkan, dijual, agar pelaku bisnis memperoleh keuntungan. Artinya barang atau jasa yang diproduksi oleh buruh dari lintas usaha, diserap kembali oleh buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitulah perputaran ekonomi yang saat ini ada dan berlaku. Buruh sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen.

Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh. Secara hukum, upah ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah bahkan menjadi salah satu komponen yang “harus ada” dalam perjanjian kerja saat buruh dan pengusaha atau pemberi kerja memulai suatu hubungan kerja. Hal ini dikarenakan upah menjadi penentu tingkat kesejahteraan buruh, karena buruh telah menyerahkan tenaganya untuk melakukan suatu pekerjaan. Ia menjadi nilai tukar atas tenaga kerja.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), upah yang ditentukan berdasarkan Komponen Hidup Layak (KHL) disurvei oleh Dewan Pengupahan di setiap daerahnya masing-masing. Ini sebenarnya merupakan penanda bahwa nilai upah harus betul-betul dihitung dan dirumuskan berdasarkan kebutuhan hidup riil masing-masing buruh.

Upah juga menjadi penentu untuk menghitung upah lembur sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) UU 13/2003. Detail penghitungan upah lembur diatur dalam Kepmenaker 102/MEN/VI/2004. Upah juga merupakan penentu atau patokan untuk menghitung nilai pesangon. Semakin besar upah yang diterima, maka semakin besar juga pesangon yang diterima jika buruh diputus hubungan kerjanya.

Demikian pentingnya nilai upah terhadap kondisi buruh hingga undang-undang menentukan jika pun buruh sedang dalam posisi menggunakan hak istirahatnya baik itu berupa cuti haid, cuti melahirkan, istirahat karena sakit, cuti tahunan, dst., maka upah tetap harus dibayarkan secara penuh.

Namun sayangnya, sejak PP 78/2015 berlaku, kebutuhan hidup riil buruh dihitung hanya untuk lima tahun sekali. Sementara, untuk tahun-tahun selanjutnya, kenaikan upah digantungkan pada angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang dirumuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal kebutuhan hidup buruh harganya terus meningkat setiap tahun. Sementara, belum ada upaya serius dari Pemerintah untuk mengontrol harga kebutuhan di pasar agar terjangkau oleh buruh. Dari sinilah sebetulnya peran Dewan Pengupahan mulai berkurang. Sebelum PP 78/2015 berlaku, Dewan Pengupahan bertugas melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL) buruh setiap tahunnya. Namun setelah PP 78/2015 berlaku, Dewan Pengupahan hanya memberikan rekomendasi upah yang disusun berdasarkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Alhasil, harga kebutuhan hidup buruh meroket sepanjang tahun, tetapi kenaikan upah buruh hanya naik sekali dalam satu tahun. Dan dalam beberapa tahun terakhir, dapat kita saksikan bersama, bahwa kenaikan upah tidak cukup signifikan.

Begitu Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada Oktober 2020 lalu, pembuat undang-undang memberikan kewajiban bagi pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa terkait struktur dan skala upah harus ditentukan pengusaha berdasarkan “kemampuan dan produktivitas perusahaan”. Pasal 88C ayat (3) dan ayat (4) menentukan Upah minimum yang berlaku di provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Untuk upah di kabupaten atau kota harus berdasarkan kondisi tertentu yaitu pertumbuhan ekonomi daerah “atau” inflasi kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pertanyaannya, bagaimana cara melakukan atau menilai “kemampuan” dan “produktivitas” perusahaan, sementara laporan keuangan perusahaan hanya menjadi konsumsi para elit di perusahaan? Buruh sama sekali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat perusahaan yang mengambil keputusan terkait order dari brand atau buyer, menentukan target produksi, serta harga jual dari produk yang dihasilkan. Karenanya, ketentuan ini hanya akan menjadi peluang bagi pengusaha untuk menekan upah buruh serendah mungkin.

Begitu juga ketentuan upah kabupaten/kota yang musti memilih antara pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi. Hal ini telah mengubah ketentuan PP 78/2015 yang mengakumulasi keduanya menjadi opsional atau alternatif sebagai standar perhitungan upah. Hal ini akan berdampak semakin merosotnya upah baik secara nominal maupun nilai yang berfungsi sebagai daya beli buruh.

Pasal 90B ayat (1) dan (2) Undang-undang Cipta Kerja juga memberi Ketentuan Upah minimum provinsi dan kota tidak berlaku bagi pengupahan di sektor usaha mikro dan kecil. Untuk buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil seperti konveksi, bengkel, start-up kecil bukan masuk dalam kategori pengupahan upah minimum. Ia dikecualikan dari deretan penerima upah minimum. Pengupahan pada jenis usaha ini cukup dengan kesepakatan antara buruh dan pemberi kerja. Kalimat ini menafikan kondisi bahwa posisi buruh dan pengusaha jelas tidak imbang. Pengusaha yang memiliki alat produksi, mempunyai modal dan kuasa jelas posisinya lebih kuat dibanding buruh. Inilah sebenarnya bentuk lepas tanggung jawab Negara kepada rakyatnya, dengan berkedok dibalik kata “kesepakatan” yang seolah memberikan ruang demokratis, tapi sebenarnya adalah melemparkan buruh dalam pertarungan yang tidak imbang.

Padahal, saat ini, kehidupan buruh masih jauh dari kata layak. Buruh kerap terpaksa tinggal di rumah petak berhimpitan dan kekurangan ventilasi udara. Pun juga mereka belum bisa mengakses kalori/nutrisi yang berimbang sehingga kesehatan buruh pun belum memadai. Dalam aspek pendidikan, masih banyak buruh yang tidak atau belum mampu mengenyam pendidikan. Anak-anak buruh tidak sanggup sekolah sampai di bangku SMA, apalagi sampai ke perguruan tinggi. Upah buruh belum dapat menjangkau sampai ke taraf pendidikan yang memadai.

Dari sisi jaminan sosial pun belum semua buruh mendapatkan akses BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Kalau pun sudah terdaftar sangat minim mendapatkan info yang memadai. Pengalaman beberapa kawan yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan dan hendak melakukan operasi, prosedurnya rumit dan membutuhkan kesabaran dan keberanian lebih untuk menggunakannya. Hal ini terjadi karena selain berhadapan dengan prosedur yang rumit, di lain sisi buruh juga mendapat tekanan dari management apabila meninggalkan waktu kerja terlalu lama. Padahal BPJS dikelola salah satunya juga dari upah buruh yang dipotong melalui iuran BPJS.

Alih-alih membuat regulasi pengupahan yang dapat semakin mendekatkan buruh dengan kehidupan yang layak, saat ini justru muncul PP 36/2021 sebagai ancaman nyata bagi buruh.

PP 36/2021 Memerosotkan Standar Hidup Buruh

Setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, telah disahkan pula PP 36/2021 tentang Pengupahan.  Menurut Pasal 4 ayat (2) peraturan pemerintah ini, kebijakan pengupahan merupakan upaya untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak dan merupakan bagian dari program strategi nasional. Berdasarkan Perpres Nomor 109 Tahun 2020 yang disahkan oleh Presiden Jokowi, terdapat 10 program strategi nasional salah satunya adalah pemerataan ekonomi. Beberapa materi pokok dan isian Perpres tersebut adalah untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja, sehingga mendorong adanya pertumbuhan ekonomi di daerah dan pusat.

Hal serupa sebenarnya juga telah disampaikan oleh Presiden pada saat pengesahan PP 78/2015 -yang ditolak oleh kaum buruh bahkan melalui mogok-mogok nasional- bahwa ekonomi akan tumbuh, bahwa pengangguran akan berkurang karena lapangan pekerjaan akan tercipta. Faktanya, pada tahun 2015 sampai tahun 2021 ini, apa yang disampaikan Presiden Jokowi tidak terbukti. Angka pengangguran per-Agustus 2021 masih di angka 9.1 juta jiwa dari data yang dikeluarkan oleh BPS.

Selang enam tahun berjalan, Jokowi kembali menyampaikan kepada publik bahwa Undang-Undang Cipta kerja beserta turunannya, salah satunya yaitu PP 36/2021, adalah untuk membuka lapangan kerja. Bagaimana kita sebagai rakyat mempercayai dan mengimani jika regulasi serupa sebelumnya saja sudah terbukti gagal? Standar layak seperti apa yang menjadi tolak ukur pemerintah? Jika standar layak menurut pemerintah adalah buruh tinggal dalam pemukiman kumuh, kekurangan nutrisi, kesehatan dan pendidikan tak terjangkau, itu sudah terpenuhi. Tidak butuh regulasi untuk mengkondisikan buruh berada dalam arena kemiskinan.

Lebih lanjut dalam pasal 25 ayat (5) PP 36/2021 disebutkan bahwa data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah bersumber dari lembaga statistik yang berwenang. Dengan demikian, fungsi Dewan Pengupahan beralih ke Lembaga Statistik. Dewan Pengupahan secara fungsi dapat dikatakan telah “mati”. Sistematika pengupahan dikondisikan untuk meminimalkan peran serta buruh yang diwakili oleh Dewan Pengupahan. Padahal, analisa yang dibutuhkan untuk menentukan nilai upah yang katanya untuk hidup layak buruh seharusnya bukan sekedar angka, tapi bagaimana keseharian buruh hidup dalam arena yang tidak imbang di tengah himpitan sistem ekonomi yang kapitalistik.

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa regulasi demi regulasi dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur tentang pengupahan memiliki kekurangan yang fatal. Ragam regulasi tersebut tidak memperhitungkan asas kemanfaatan sehingga benar-benar menaikkan taraf kesejahteraan buruh dengan layak. Tampaknya, hal serius yang lebih diperhitungkan oleh pemerintah adalah hamparan regulasi untuk membuka peluang kemudahanan-kemudahan bagi para investor, bukan untuk para buruh. Jadi, wajar saja jika upah sebagai faktor penting dalam dunia ketenagakerjaan justeru tidak mendapat perhatian serius.

Upah dalam Konteks Hukum Hak Asasi Manusia

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan perlindungan terhadap harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan. Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 telah memandatkan kepada Pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dijelaskan oleh Ismail Suny, maksud dari pasal ini adalah “… bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberantas pengangguran dan harus mengusahakan supaya setiap warga negara bisa mendapat pekerjaan dengan nafkah yang layak untuk hidup, bukan hanya asal bekerja saja sekalipun dengan penindasan atau eksploitasi, melainkan harus layak untuk penghidupan”. Artinya, tidak hanya “kerja, kerja, kerja”, tetapi bagaimana agar setiap pekerjaan yang dilakukan oleh buruh dan pekerja dapat berkontribusi pada penghidupan yang layak bagi buruh atau pekerja.

Disamping itu, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menjamin bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Upah adalah salah satu komponen untuk meningkatkan taraf hidup buruh. Dengan upah yang layak, maka buruh dapat mempertahankan hidupnya dan juga keluarganya. Tanpa adanya jaminan pengupahan yang layak, sudah pasti, hak buruh atau pekerja akan terlanggar.

Pengesahan PP 36/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja merupakan wujud nyata dari tidak adanya perlindungan hukum dan HAM bagi buruh atau pekerja, dan sekaligus menunjukkan orientasi dari pemerintah yang semakin jauh dari negara hukum. Keberadaan hukum justru menjadi alat tekan untuk semakin melanggar hak asasi buruh untuk hidup secara layak dan merendahkan martabat manusia. Hal ini dikenal juga dengan legalisasi pelanggaran hak asasi manusia (legalized human rights violation). Oleh karena itu, sejatinya negara ini bukan lagi merupakan negara hukum (rechtstaat), melainkan negara kekuasaan (machstaat).

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Buruh Perempuan Melawan Pingitan Kerja

Pingit, budaya yang melarang perempuan aktif di sektor publik, ternyata masih ada hingga zaman modern. Budaya ini kembali muncul di zaman modern dalam bentuk belenggu

Dari Angka Menjadi Suara

Dari Angka Menjadi Suara Berangkat dari Konferensi Perempuan Jakarta bertajuk “Melawan dan Bebas Kekerasan Seksual” yang digagas oleh Perempuan Mahardhika pada 19 Oktober 2013, semangat

Suara Buruh Edisi 26 Desember 2015

Suara Buruh Edisi 26 Desember 2015 hadir dengan beragam berita tentang SPN PT. Panca Prima dan Pojok Laktasi, Cuti Hamil bagi Kelahiran Prematur Hanya Diberi