Search
Close this search box.

Perjuangan Melawan Kekerasan di Dunia Kerja

“Kalau sakit jiwa gak usah kerja, mending di Rumah sakit jiwa aja,” ujar Erma menirukan makian yang kerap ia dengar. Umpatan ini akan selalu keluar apabila para pekerja tidak mendapatkan target dan juga target yang ditentukan oleh perusahaan selalu bertambah setiap kali para pekerja mencapai target tersebut. Erma juga sempat disebut “gila” dan diusir oleh atasanya lantaran melayani pendaftaran anggota baru serikat pekerja yang akan bergabung dan juga mengintimidasi pekerja yang akan bergabung ke serikat pekerja yang membuat pekerja tersebut takut dan batal bergabung dengan serikat pekerja.

Belakangan, buruh semakin sadar pengertian “kekerasan di dunia kerja”. Dengan meningkatnya pemahaman itu, para buruh semakin sadar bahwa para penggerak roda ekonomi tersebut, terutama pekerja perempuan sektor manufaktur (padat karya) dan pekerja domestik, sering menjadi sasaran kekerasan.

Kekerasan Verbal hingga Fisik

Menurut data dari media DPR RI, pekerja rumah tangga masih bekerja dengan upah di bawah standar kelayakan, tidak mendapat jaminan perlindungan ketenagakerjaan dan kesehatan, hak libur/cuti, serta rentan berbagai kekerasan. Sebanyak 62% pekerja rumah tangga mengalami berbagai kasus antara lain kekerasan fisik maupun psikis, ekonomi, dan bahkan perdagangan manusia.

Kekerasan di dunia kerja para PRT terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pemberi kerja dan pekerja. Pemberi kerja merasa kuasa yang dimiliki atas pekerja yang menjadikan pekerja terutama pekerja perempuan saat menjadi korban kekerasan dilingkungan kerja berupa kekerasan verbal (mencaci maki, melecehkan, mengancam dan sebagainnya) dan juga kekerasan fisik (meremas, memperkosa, meludahi, melempar benda, dan tindakan fisik lainnya) hanya diam karena ketakuan yang selalu direproduksi agar para korban kekerasan dilingkungan kerja diam dan takut apabila mereka bersuara akan kehilangan pekerjaan mereka dan pekerja perempuan juga takut karena banyaknya stigma buruk dari masyarakat yang salah satu contohnya menganggap bahwa terjadinya kekerasan fisik atau pelecehan seksual berupa pemerkosaan atau yang sering terjadi di industri garment adalah meremas bagian tertentu tubuh wanita itu terjadi karena pakaian yang dipakai pekerja perempuan terlalu menggoda laki-laki/pelaku. Padahal yang seharusnya disalahkan adalah pelaku bukan pakaian pekerja perempuan/korban pelecehan tersebut karena seharusnya pelaku bisa mengendalikan hasrat syahwat liar mereka atau jangan-jangan pelaku ini mempunyai gangguan jiwa atau fetish seksual tertentu yang merugikan orang lain.

Di dalam Talkshow Union di Marsinah FM dengan tema “Kekerasan Di Dunia Kerja, dari Intimidasi hingga aniaya”, Erma Oktavia pekerja perempuan dari daerah Jawa Tengah yang lebih tepatnya daerah Grobogan yang sempat viral di media sosial lantaran melawan kebijakan perusahaan PT Sai Apparel Industries Grobogan yang merugikan pekerja yang salah satunya adalah tentang jam molor atau lembur tetap tidak dibayar dan juga terafiliasi dengan Serikat Pekerja Spring yang tergabung dalam Persatuan Buruh Grobogan (PUBG) mengatakan kekerasan di dalam dunia kerja terutama industri garment terjadi antara pemilik jabatan yang lebih tinggi dengan pekerja operator atau pekerja biasa, yang sempat ditemui adalah kekerasan verbal dengan contoh para atasan sering kali mengumpat atau melecehkan dengan kalimat kasar. “Kalau sakit jiwa gak usah kerja, mending di Rumah sakit jiwa aja,” ujar Erma menirukan makian yang kerap ia dengar. Umpatan ini akan selalu keluar apabila para pekerja tidak mendapatkan target dan juga target yang ditentukan oleh perusahaan selalu bertambah setiap kali para pekerja mencapai target tersebut. Erma juga sempat disebut “gila” dan diusir oleh atasanya lantaran melayani pendaftaran anggota baru serikat pekerja yang akan bergabung dan juga mengintimidasi pekerja yang akan bergabung ke serikat pekerja yang membuat pekerja tersebut takut dan batal bergabung dengan serikat pekerja. Pernyataan Erma diatas mengungkapkan secuil kekerasan dan intimdasi yang pernah ia alami di sektor industri manufaktur.

Hal serupa juga terjadi di sektor pekerja domestik. Yuni Sri Rahayu dari Jaringan Avokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga atau kerap disebut Jala PRT (SPRT Sapu Lidi) juga menguak tabir kekerasan di dunia kerja para pekerja rumah tangga yang sering kali disebut bukan pekerja karena mereka dianggap bukan sektor formal (diinformalkan). Yuni Sri Rahayu mengungkapkan bahwa dilingkup pekerja rumah tangga sering kali mengalami berbagai bentuk kekerasan berupa kekerasan verbal, fisik dan pelecehan seksual. Ia juga menyebutkan bahwasanya ada beberapa kawan-kawannya yang menjadi korban kekerasan seperti dianiaya, dirantai, diberikan kotoran hewan, kaki disetrika dan disiram air panas oleh majikannya dan Yuni sendiri juga pernah mengalami hal-hal yang tidak manusiawi ketika bekerja sebagai pekerja rumah tangga seperti tidak diperbolehkan duduk dikursi yang sama degan majikan dan tidak diperbolehkan menggunakan lift majikan, harus menggunakan lift barang serta beban kerja pekerja rumah tangga yang sangat tinggi dengan upah murah yang sering dicari oleh majikan atau pemberi kerja dengan cara mencari pekerja rumah tangga dari desa untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga serta jarang sekali pekerja rumah tangga mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan, dengan resiko kerja tinggi. Jaminan sosial seharusnya juga diberikan kepada pekerja, ujarnya. Menurutnya kesadaran melawan ketidakadilan tersebut ia peroleh karena ia pernah merasakan dan melihat kawan-kawannya menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan trauma berkepanjangan dan alasan itulah yang menjadikan Yuni tetap berjuang dengan kawan-kawan Jala PRT untuk mendesak disahkanya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi Undang-Undang yang sudah mangkrak hampir 20 tahun di Senayan.

Pekerja Berjuang Melawan Kekerasan

Dilihat dari dua pernyataan dengan sektor yang berbeda tersebut, membuktikan bahwa kekerasan di dunia kerja memang nyata adanya dan tidak mengenal sektor. Sebenarnya masih banyak sekali kasus-kasus kekerasan di dunia kerja yang tidak tersorot atau terekspos oleh media dan mungkin juga, kekerasan di dalam dunia kerja ini terjadi dan dirasakan oleh para pekerja tetapi pekerja menganggap bahwa kekerasan itu adalah hal biasa karena sebagian masyarakat juga menganggap kekerasan itu wajar terjadi karena bekerja ikut dengan orang (bos, Pengusaha) dan menjadi pengilhaman bahwa tindakan kekerasan di dunia kerja itu sudah hal yang wajar, Sedangkan menurut Konvensi ILO (International Labour Organization) 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan didunia kerja adalah jalan terbaik dalam upaya membangun budaya kerja yang sehat, budaya kerja yang saling menghormati, dan membangun martabat kemanusiaan para pekerja yang berkeadilan gender. Maka dari itu perlunya keseriusan pemerintah menangani kekerasan dan pelecehan didunia kerja serta segera ratifikasi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan seksual guna melindungi pekerja dari kekerasan dan pelecehan seksual selama berada di dalam dunia kerja dan agar dunia kerja menjadi ruang aman untuk semua pekerja ragam gender, sektor dan juga disabilitas serta juga segera disahkannya Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga guna melidungi pekerja rumah tangga yang sampai saat ini masih termarjinalkan dan sangat rentan dilanggar haknya karena negara harusnya hadir untuk melindungi seluruh masyarakat/negara tanpa terkecuali.

Erma Oktaviani juga berpesan untuk gerakan buruh bahwasanya sebagai buruh jangan pernah takut melawan apa yang sudah menjadi hak kita karena semakin kita takut untuk meminta hak kita, mereka akan lebih bertindak sesuka hatinya. Maka pentingnya buruh/pekerja harus berorganisasi agar buruh tahu kondisi kerjanya serta serikat buruh juga berguna untuk memperjuangkan kita, menyalurkan aspirasi kita kepada pengusaha tanpa rasa takut dan ragu.

Yuni Sri Rahayu juga menyerukan dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendesak dan mendukung DPR agar segera membahas Undang-undang PPRT sebagai prioritas dan segera disahkanya Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang hampir 20 tahun tidak dibahas bukan malah mengesahkan Undang-undang Omnibuslaw yang baru dimunculkan malah disahkan terlebih. Seharusnya negara ini melindungi pekerja rumah tangga karena pekerja rumah tangga sama seperti pekerja dan manusia lainnya.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Orde Baru Ditolak. Orde Bau Bertindak

foto diambil dari http://media.nationalgeographic.co.id/daily/640/0/201505210903343/b/foto-pisowanan-agung-rakyat-yogyakarta-20-mei-1998.jpg Oleh Ambar Catatan buruh 18 tahun reformasi Seingat kita, dulu gerakan 1998 meledak perlawanan untuk menolak korupsi, kemiskinan, dan lainnya, termasuk

Mengenal Paralegal dan Fungsinya

Mengenal Paralegal dan Fungsinya   Bagi masyarakat awam, mungkin istilah Paralegal masih asing di telinga. Berbeda dengan istilah pengacara yang lebih dikenal. Karena itu saya

NABUR (Dua), Arena Buruh Berekspresi

Oleh Jumisih NABUR, Menebar Benih Perjuangan Arena Buruh (NABUR) yang ke 2 kali ini di selenggarakan tanggal 26 April 2015, tepat di hari Minggu. NABUR itu

Sebuah Rangkuman: Femisida di Pusaran Tragedi 1965

“Bangsa kita melakukan kekejaman yang luar biasa pada kaum perempuannya sendiri. Femisida itu terjadi pada ibu – ibu kita, ibu Gerwani adalah mereka yang melawan poligami, melawan buta huruf, melawan kemiskinan perempuan dan itu perjuangan perempuan yang penting sampai hari ini”, ujar Ita F Nadia, peneliti sejarah perempuan RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan)