Selamat malam sahabat Marsinah, kembali hadir Perempuan Pelita, kisah perempuan di sekitar kita, hingga seluruh dunia yang menjadi pelita bagi perempuan dan menginspirasi. Perempuan Pelita hadir untuk sahabat Marsinah tiap Kamis jam 19 hingga jam 20 di Marsinah 106 FM, Radio Buruh Perempuan: Dari Perempuan Buruh untuk Kesejahteraan dan Kesetaraan. Kali ini kita akan bersua dengan salah seorang aktivis buruh perempuan yang berjuang hingga akhir hayatnya. Tentang dia akan kita dengarkan kisahnya setelah tembang yang satu ini, bersama saya Dias.
Hari itu, pada tanggal 11 September 2009, langit mendung menemani kesedihan dunia perburuhan. Ya pada hari itu, gerakan buruh dunia kehilangan sosok aktivis buruh perempuan yang gigih membela buruh. Semasa hidupnya, kisahnya sudah dituangkan dalam sebuah film Hollywood yang berhasil memenangkan beberapa penghargaan dunia seperti Aktris terbaik dan lagu terbaik dalam Academy Award (akademi eword), nominasi Gambar Terbaik, Penulisan Terbaik Academy Award, nominasi film terbaik dalam festival Film Cannes, aktris terbaik di festival film cannes. Film yang menuangkan kisah hidupnya dan memperoleh banyak penghargaan berjudul Norma Rae. Norma Rae sendiri bukan nama ia yang sesungguhnya. Di dunia nyata, masyarakat dunia mengenalnya dengan nama Crystal Lee Sutton. Film Norma Rae menurut Crystal adalah film yang cukup menggetarkan, membuatnya menangis dan tertawa. Tentu saja, kata Crystal, film itu menghabiskan dana miliaran dolar dalam pembuatannya. Namun yang paling penting, sebuah film bertema buruh yang mendidik berhasil dibuat. “Aku ingin sebuah film bertema buruh yang mendidik, bukan opera sabun bertema cinta seperti yang kalian lihat setiap hari di tv”
Dialah Crystal Lee Sutton yang tutup usia pada usia 68 tahun karena kanker otak pada tahun 2009. Semasa hidupnya, ia aktif sebagai pengurus serikat buruh tekstil Amerika Serikat. Keberaniannya mengorganisir pemogokan di sebuah pabrik garment di Roanoke Rapids, N.C. tempat ia dibesarkan, merubah kondisi kerja di kota kecil tersebut. Tak hanya itu, keberanian Crystal telah merubah wajah kota kecil tempat ia tinggal. Untuk pertama kalinya, sebuah keadilan terbit di langit kota kecil itu. Maklum, selama turun menurun, masyarakat kota kecil di Amerika Serikat ini menggantungkan hidupnya sebagai buruh di pabrik garment itu. Sehingga tidak heran, penduduk kota ini sangat takut dengan perusahaan bernama J.P. Stevens Textile Plant tersebut. Sebuah ketakutan kehilangan pekerjaan yang selama ini memberi mereka hidup, meski hanya ala kadarnya dan tidak sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan untuk memproduksi beragam jenis handuk. Upah mereka sebulan saja belum tentu sanggup membeli satu lembar handuk yang mereka produksi sendiri. Perusahaan J.P Stevan textile plant kini menjadi bagian dari perusahaan West Point Home Conglomerat.
Ya, sahabat Marsinah, masih bersama saya, Dias di Perempuan Pelita, sebuah rubrik yang mengangkat kisah perempuan yang menjadi pelita bagi kaumnya. Kita tadi sudah berkenalan dengan Crystal seorang buruh perempuan yang kemudian menjadi aktivis karena tergerak hatinya melawan kondisi kerja yang buruk. Tapi ternyata perjalanan membangun serikat tidak mudah. Banyak sekali rintangan dari rasa takut buruh, hingga ancaman PHK bagi diri sendiri. (jinggle dan iklan acara)
Crystal memulai aksinya mengorganisir pendirian sebuah serikat buruh di pabriknya, pada awal tahun 1970an. Ia sendiri merupakan ibu dari 3 anak. Pada awalnya, Crystal mulai bekerja di J.P Stevans di usia 16 tahun, dan bekerja dari jam 4 pagi sampai tengah malam. Ayah – ibu Crystal juga bekerja di perusahaan yang sama, demikian juga tetangga dan teman-temannya. Di usia 19 tahun ia melahirkan anak pertama. Kemudian menjadi janda di usia 20 tahun, suaminya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, dan meninggalkan anaknya yang masih berusia 4 bulan. Setelah suaminya meninggal, Crystal mencoba hanya menjadi ibu rumah tangga biasa, namun itu membuatnya bosan dan akhirnya kembali bekerja di J.P Stevens. Pada usia 21 tahun ia menikah lagi dan melahirkan anak ke dua. Baru pada tahun 1965 ia melahirkan lagi anaknya yang ke-3. Kepada anak-anaknya, Crystal selalu mengajarkan bahwa tak seorangpun lebih baik dari anaknya, demikian sebaliknya anak-anaknya juga tidak lebih baik dari orang lain. Bahwa manusia tidak boleh memandang rendah orang lain, hanya karena orang lain tidak tinggal di rumah mewah dan tidak mengenakan baju mewah.
Tentang hidupnya, Crystal berujar dari kecil ingin menjadi tentara, pergi dari kota kecilnya Roanoke Rapids, dan berkeliling dunia. Akan tetapi karena ia terlahir di keluarga dan masyarakat yang turun menurun bekerja untuk J.P Stevens maka ia tak luput dari tradisi itu, bekerja di J.P Stevens. Bahkan, dalam kurikulum sekolah di Roanoke Rapids, anak-anak diajarkan keterampilan memintal yang dibutuhkan di perusahaan J.P Stevens. Kurikulum resmi di sistem pendidikan Roanoke Rapids dari generasi ke generasi ini telah membentuk para anak menjadi tenaga kerja bagi J.P Stevens. Maka tak heran bila seluruh masyarakat di Roanoke Rapids bekerja di J.P Stevens.
Merintis pendirian serikat buruh di sebuah perusahaan yang sudah terbiasa nyaman menindas buruh tanpa ada protes, tentu hal yang sulit dan penuh resiko. Namun justru tindakan merintis sebuah perubahan inilah yang diperlukan bagi kehidupan yang lebih baik. Crystal tidak surut melangkah meski ia juga disibukkan sebagai ibu rumah tangga dengan 3 anak yang masih kecil. Crystal datang pertama kali dalam sebuah pertemuan serikat yang diadakan di gereja kulit hitam, dimana hanya ada dua orang kulit putih hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan serikat itu adalah awal dimana Crystal mulai masuk dalam serikat buruh dan mengenakan pin yang bertuliskan “Apa yang sudah dikerjakan perusahaan untuk mu?”. Selanjutnya pertemuan demi pertemuan antar buruh diorganisir oleh Crystal di rumahnya, menembus ketakutan para buruh yang teramat besar. Bersama Eli Zickovich, aktivis TWUA (Serikat Buruh Garment Tekstile Amerika Serikat), Crystal mengorganisir buruh J.P Stevans. Tak semua buruh J.P Stevens bersimpati pada perjuangan Crystal. Tak jarang, Crystal dibenci oleh teman-temannya sendiri karena dianggap justru mengancam masa depan mereka. Bahkan sering kali Crystal disebut sebagai pelacur, perempuan tidak benar. Hal itu, karena buruh J. P Stevens sangat takut kehilangan pekerjaan, sehingga lebih memilih menyerang teman sendiri, dibanding perusahaan. “Ketika kau miskin dan merasa putus asa karenanya, pekerjaan yang buruk bahkan lebih baik dari pada tidak punya pekerjaan sama sekali”. Padahal kondisi kerja di J.P. Stevens Textile Plant amat buruk dengan jam kerja panjang dan upah rendah. Pada tahun 1973 saja, sebagai buruh perempuan beranak tiga, Crystal hanya diupah $2.65 per jam atau Rp 26.500 per jam (Di Amerika Serikat upah ini termasuk upah yang sangat rendah). Sebenarnya, sudah berulang kali ada upaya gerakan buruh untuk membangun serikat buruh di perusahaan tersebut namun selalu gagal. Pihak perusahaan sejak dari dulu merupakan perusahaan anti serikat dan selalu menjegal pembangunan serikat. Bahkan pendidikan di sekolah di Roanake Rapids selalu mengajarkan di sekolah pelajaran anti serikat buruh. Ya, dari kecil anak-anak di Roanake Rapids diajarkan untuk tidak berserikat. Di satu kesempatan Crystal pernah bercerita bagaimana para buruh tekstil sangat miskin sementara para pengusaha, dokter, pengacara begitu kaya. “Semasa hidupku, buruh tekstil selalu menunduk. Dokter dan pengacara dan manajer tidak ingin anak mereka bergaul dengan anak kami. Anak mereka selalu memiliki baju baru, selalu terpandai di sekolah. Mereka selalu menjadi Cheerleader atau penari suporter sekolah. Ya, mereka mayoritas berasal dari kelas atas”
Puncak perjuangan Crystal terjadi saat Crystal menyalin pengumuman perusahaan yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan Amerika Serikat, pada bulan Mei 1973. Pengumuman anti serikat tersebut ditulis ulang oleh Crystal, untuk digunakan menjadi bukti penting yang bisa dinyatakan kepada masyarakat luas bahwa perusahaan anti serikat dan bisa dihukum. Pengumuman perusahaan tersebut bukan hanya berisikan pernyataan anti serikat, tapi juga memuat rasisme karena terutama menyerang buruh kulit hitam. Pengumuman perusahaan itu sendiri adalah untuk menyikapi adanya kumpulan dan rapat-rapat buruh yang merencanakan pendirian serikat. Walaupun pendirian serikat buruh dilindungi oleh undang-undang Amerika Serikat, pengusaha bermaksud mengancam dan menyatakan menolak adanya serikat dalam perusahaan.
Menyalin atau menulis ulang pengumuman perusahaan tersebut, mengakibatkan Crystal di PHK. Tidak terima di PHK sepihak, Crystal tidak langsung keluar pabrik sebagaimana pada umumnya buruh yang di PHK. Dari kantor manajemen tempat dia dipanggil dan dinyatakan di PHK, Crystal malah berjalan masuk ke ruang kerja di mana semua buruh sedang bekerja. Diambilnya kertas agak besar, lalu dia tulisi dengan huruf besar: UNION, yang artinya serikat buruh. Lalu dengan keberanian luar biasa, Crystal naik ke atas meja, dan sambil berdiri menunjukkan kepada semua buruh, papan kertas yang telah ditulisi UNION itu. Walau ada rasa takut, Crystal tanpa ragu mengangkat tinggi-tinggi papan bertulis UNION, berputar dan ditunjukkan kepada semua buruh yang bekerja.
Para buruh JP Stevens, yang adalah keluarga, tetangga dan teman-teman Crystal, melihat kenekatan Crystal menjadi sangat terkejut. Mereka yang sebelumnya sudah mulai mengenal pentingnya serikat buruh, kemudian menjadi takut karena diancam perusahaan, seperti menyaksikan mukjizat penuh keberanian yang ditampilkan oleh Crystal. Crystal yang adalah buruh perempuan biasa, dan diketahui semua orang bahwa pasti membutuhkan uang untuk menghidupi 3 anak itu, telah menunjukkan sikap berani, penuh harga diri, serta menyerukan serikat buruh yang diyakini akan menjadi alat perjuangan bagi semua buruh, bukan hanya alat perjuangan bagi Crystal sendiri. Karena keberanian Crystal inilah, sebelum polisi datang, perlahan para buruh JP Stevens memberikan dukungan pada Crystal. Satu-persatu para buruh mulai berhenti kerja dan mematikan mesin. Crystal terus berputar di atas meja tempat dia berdiri, sambil mengangkat papan bertuliskan UNION. Makin lama, sebagian besar buruh mematikan mesin dan semua pandangan tertuju hanya pada Crystal dan papan bertuliskan UNION itu. Akhirnya pada hari itu buruh JP Stevens berhenti bekerja, mereka mogok untuk mendukung Crystal dan menuntut kebebasan untuk buruh berserikat. Perusahaan tidak lagi bisa menahan protes buruh. Sekalipun polisi didatangkan oleh perusahaan, tapi hanya bisa menangkap Crystal. Sementara keberanian dan tuntutan buruh JP Stevens, baik berkulit putih maupun hitam, sebagian besar telah kompak untuk perusahaan memenuhi tuntutan buruh. Hari itu juga, Crystal ditangkap kepolisian dan dipenjara dalam sel selama satu hari.
Crystal dianggap membuat keributan, mengganggu ketertiban umum sehingga ia ditangkap dan dipenjara. Memang hanya sehari karena salah satu temannya membayar uang tebusan. Lalu bagaimana perjuangan Crystal selanjutnya? Berhasilkah? Kita lanjutkan kisahnya nanti setelah satu lagu persembahan marsinah 106 FM berikut ini.
Tidak ada perjuangan yang sia-sia, memang selalu benar adanya. Keberanian Crystal dan kekompakan teman-temannya, akhirnya berhasil memaksa perusahaan untuk mengakui berdirinya serikat buruh. Walau sebelumnya ada juga buruh yang dibayar perusahaan untuk melawan perjuangan pendirian serikat, bahkan ada juga preman yang disewa untuk menakut-nakuti. Tapi karena keberanian yang terus dibangun akhirnya sebagian besar buruh turut bersama Crystal, berjuang untuk mendirikan serikat. Sekalipun Crystal telah di-PHK dan tidak lagi bekerja di JP Stevens, keberanian dan kekompakan buruh JP Stevens tetap membuahkan hasil, dan berdirilah cabang serikat bernama ACWTU atau Gabungan Serikat Buruh Pakaian dan Tekstil di pabrik garmen JP Stevens. Dengan adanya serikat buruh, perjuangan belum usai, tapi baru dimulai. Baru setahun setelah PHK Crystal dan pemogokan, ACWTU di JP Stevens bisa memenangkan hak untuk mewakili pekerja pada tgl 28 Agustus 1974. Dan baru 6 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1980, serikat pekerja J.P Stevens dan perusahaan J.P Stevens menandatangani perjanjian bahwa upah buruh naik menjadi 5 dolar per jam atau 45 ribu per jam, adanya fasilitas keamanan kerja, dan jaminan kesehatan.
Tentu, semua buruh JP Stevens yang merasakan perbaikan sebagai buah perjuangan mereka, juga mengakui bahwa semua itu buah dari keberanian dan pengorbanan Crystal. Sementara Crystal sendiri tak ikut merasakan peningkatan kesejahteraan itu. Tanpa pernah merasa menyesal, dan malah selalu bangga dengan apa yang telah dilakukan, setelah di PHK dari JP Stevens kehidupan Crystal lebih buruk dari teman-temannya. Apabila dalam film Norma Rae diakhiri dengan akhir bahagia dimana serikat buruh yang ia dirikan akhirnya berhasil mewakili buruh dan mayoritas buruh mendukung serikat, namun di dunia nyata setelah dipecat dari J.P Stevans Textile, kehidupannya masih jua tak mulus. Setelah dipecat dari J.P Stevans, Crystal kembali mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya.
Pekerjaan pertama yang ia peroleh adalah di sebuah restoran fried chicken yang ada di sebuah kota kecil. Menurutnya, itu adalah pekerjaan terburuk yang pernah ia dapatkan. Tentang pekerjaan di restoran fried chicken itu, Crystal berkisah “Para pekerja membawa ayam-ayam tersebut untuk didinginkan dan diproses. Kau harus masuk ke ruang pendingin dan mengatur suhu ruang pendingin tersebut menjadi sedingin mungkin, kamu harus memastikan temperaturnya sudah tepat, lalu kamu harus memeras lemak dari ayam yang sudah dingin. Setelahnya kau masih harus menaruhnya di sebuah baskom yang sangat besar, dan kamu kemudian harus memeras lemak keluar dari ayam itu dalam waktu yang tidak telalu lama. Setelahnya kamu masih harus menaruh ayam – ayam itu dalam tungku untuk diolah dan harus menungguinya semalaman. Setelahnya, kamu harus kembali ke freezer untuk mengambil lagi ayam-ayam berikutnya yang sudah dingin, serta memotongnya menjadi beberapa bagian. Selama bekerja kamu harus memakai sarung tangan agar bisa tahan terhadap dingin, sementara mata majikan terus mengawasi. Ya, kamu harus bekerja memasak ayam, mengolahnya sekaligus menggoreng ayam- ayam itu. Pekerjaan dimulai pada pagi hari sehingga para buruh harus berangkat sangat pagi untuk absen, menaruh ayam- ayam yang sudah masak ke dalam kotaknya. Selain itu, kamu juga harus mengepel lantai di malam hari dan memastikan peralatan memasak sudah bersih tercuci.” Yah, pada kenyataannya, J.P Stevan adalah pekerjaan yang paling baik meski juga bergaji rendah. Bagi Crystal sendiri, kenyataan itu tidak membuat dirinya menyesali keberaniannya berlawan di JP Stevens. Dia menyatakan tentang kenyataan lebih buruk di luar JP Stevens sebagai kesimpulan bagi dirinya dan para buruh, bahwa sebenarnya tidak ada pekerjaan yang benar-benar layak bagi buruh. Semuanya buruk.
Bagaimana kisah Crystal selanjutnya? Perjuangannya belumlah selesai, rintangan terus saja menghadang. Perusahaan JP Stevens terus melawan buruh dan serikat buruh, bahkan setelah Crystal di PHK. Kisah selanjutnya akan kita dengarkan setelah satu buah lagu berikut ini. Masih di Marsinah 106 FM, bersama saya Dias di Perempuan Pelita Edisi, tayang setiap Kamis malam jam 7 hingga jam 8.
Setelah itu, Crystal kemudian bekerja di ACTWU (Gabungan Serikat Buruh Pakaian dan Tekstil), serikat yang memenangkan perwakilan serikat pekerja di Roanake Rapids Plant pada 28 Agustus 1974. Selama 4 tahun terakhir ACTWU mengorganisir masyarakat untuk memboikot produk J.P Stevans dengan melakukan pemutaran film Norma Rae di berbagai tempat. Kampanye boikot ini dilakukan karena perusahaan J.P Stevens tidak juga memenuhi hak-hak pekerja. Perjuangan bagi pemenuhan hak buruh JP Stevens belum berakhir. Perusahaan dengan banyak keuntungan dan harta berlimpah selalu meremehkan dan berani menentang kewajiban terhadap pekerja. Masyarakat mulai menyoroti JP Stevens dan turut dalam aksi boikot tersebut. Solidaritas rakyat untuk pekerja JP Stevens terus mengalir, sebab pemerintah tak juga bertindak adil untuk membela hak buruh.
Sekalipun demikian, tidak mudah untuk membuat perusahaan yang merasa berkuasa dan dibela pemerintah itu untuk menyerah. Bahkan dalam desakan boikot yang dilakukan masyarakat, JP Steves dengan keras kepala mencoba menutupi kerugian akibat boikot, agar tidak dianggap kalah. Juru bicara perusahaan malah menyatakan sebaliknya, bahwa boikot itu gagal dan keuntungan perusahaan terus meningkat dibanding tahun sebelumnya. Tidak itu saja, perusahaan juga menyerang gerakan serikat buruh yang menentangnya, dengan menyatakan bahwa serikat buruh tersebut telah menghamburkan dana 5 miliar dolar setiap tahun untuk mengirimkan orang semacam Crystal Lee Sutton untuk menyerang J.P Stevans “Jika boikot tersebut berhasil justru akan merugikan 34 ribu buruh yang bekerja di J.P Stevans.”
Begitulah JP Stevens, seperti pada umumnya perusahaan yang keras kepala. Tujuan utama sebenarnya adalah menghentikan boikot terhadap produknya, tapi dengan cara menyatakan tidak terganggu oleh boikot dan mencoba memberitahu masyarakat luas untuk curiga dan menghentikan dukungan pada serikat yang melawannya. Pihak ACWTU sebagai serikat yang diserang perusahaan JP Stevens tentu memberi penjelasan sebenarnya pada masyarakat. Bahwa perusahaan JP Stevens sebenarnya bermasalah dan telah dipanggil Dewan Tenaga Kerja Nasional, atas laporan dari serikat. Sejak 1963 JP Stevens sudah diadukan 23 kali, dan dipanggil 22 kali. Ini menjelaskan memang perusahaan senyatanya buruk dan melanggar hak buruh.
Pihak serikat juga menyatakan bahwa boikot oleh masyarakat sebenarnya berhasil. Keuntungan perusahaan JP Stevens meningkat, karena serikat hanya bisa kampanye boikot untuk dua produk JP Stevens, yaitu sprei dan handuk. Keuntungan perusahaan adalah dari di luar produk tersebut, sementara untuk handuk dan sprei terbukti ada penurunan besar dalam penjualan. Tentang beaya yang dikeluarkan serikat, dijelaskan juga sebesar 5 juta dollar, untuk pembeayaan 3 tahun, dari 1977 hingga 1979. Salah satunya adalah membuat film tentang perjuangan Crystal di JP Stevens, dalam film berjudul NORMA RAE. Pertarungan antara serikat dan perusahaan JP Stevens terus berlanjut. Semakin lama perusahaan semakin terpaksa menanggapi karena makin besarnya pengaruh serikat itu sendiri, juga semakin meluasnya dukungan masyarakat. Situasi yang jelas berbeda dibanding masa sebelumnya, ketika belum ada serikat di JP Stevens, saat itu segala penindasan buruh dijalankan perusahaan tanpa hambatan sama sekali.
Film Norma Rae sendiri dibuat untuk tujuan meningkatkan kesadaran publik terkait pentingnya pembangunan serikat. “Kau tak punya waktu istirahat untuk makan siang mu. Kau makan saat bekerja, kau letakkan sandwich mu di atas kain saat kau bekerja setelah kau serahkan seluruh hidupmu untuk perusahaan… saat kau menjadi tua…mereka kemudian membuangmu begitu saja.” Demikian kutipan dari film Norma Rae. Film Norma Rae menjadi alat perjuangan yang ampuh untuk membangun gerakan buruh dan menginspirasi gerakan buruh. Namun, kehidupan nyata tentu saja tidak semulus dalam film. Crystal tetap harus bekerja keras sepanjang hidupnya, karena memang demikianlah sistem yang berlaku. Semua orang harus bekerja keras dan tidak akan pernah menjadi kaya, sementara segelintir orang bisa menjadi kaya hanya karena menjadi majikan.
Luar biasa perjuangan Crystal dan organisasinya, tak pernah menyerah untuk membela hak buruh. Sekalipun berhadapan dengan perusahaan kaya yang terus mencari cara agar buruh tidak bersatu, juga agak masyarakat tidak mau membela perjuangan buruh. Semakin besar serangan perusahaan, malah semakin membesarkan pula perlawanan. Kisah perjuangan perempuan buruh satu ini belum berakhir. Tetap di Perempuan Pelita Edisi 13 di Marsinah 106 FM, sesaat lagi akan kita lanjutkan.
Sebenarnya, Crystal pernah tinggal di sebuah rumah yang menurutnya cukup mewah setelah ia menikah dengan suaminya yang kedua, Lewis Sutton. Namun, Crystal justru tidak betah. Kehidupannya yang selalu sederhana dengan seluruh keluarga turun-menurun menjadi buruh di J.P Stevan seperti warga yang lainnya membuat ia canggung dengan kemewahan. Memang suaminya mendapat pekerjaan yang lumayan. Hal itu kata Crystal karena serikat buruh di tempat suaminya bekerja selalu membela hak buruh sehingga hak buruh bisa terpenuhi
Beberapa tahun kemudian, Crystal didiagnosa mengidap penyakit kanker saraf yang disebut dengan meningioma. Penyakit ini berbahaya dan bisa membawa pada kematian. Tapi Crystal menghadapinya dengan kuat, konsentrasi hidupnya tetap pada perjuangan. Pada tahun 2007, ketika diwawancarai tentang hidupnya setelah dinyatakan terkena kanker parah, Crystal malah memberi jawaban tentang perjuangan hidup. Crystal menyatakan: “Berdirilah untuk apa yang kamu percaya, tidak peduli betapa hidupmu bertambah sulit. Jangan menyerah dan selalu nyatakan apa yang kamu yakini”. Pernyataan Crystal ini jelas menggambarkan bahwa apapun tidak boleh menghentikan perjuangannya.
Di tengah sakit kanker yang diderita, Crystal kembali mendapat pengalaman ketika menghadapi bahwa sistem asuransi di Amerika Serikat ternyata brengsek. Rakyat yang ikut asuransi kesehatan dan diwajibkan membayar iuran, ketika menderita sakit akan menghadapi penolakan dari perusahaan asuransi untuk membeayai pengobatan. Sehingga kanker Crystal tidak bisa langsung disembuhkan, akibat belum disetujui perusahaan asuransi. Crystal terpaksa menjalani hidup dengan kanker selama dua bulan dengan pengobatan seadanya. Tentang hal ini, Crystal mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pihak asuransi adalah salah satu bentuk penindasan terhadap pekerja. “Bagaimana mungkin di dunia ini kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk mencari obat ketika dihadapkan pada persoalan hidup dan mati” kata Crystal. Ia melanjutkan “Apa yang dilakukan oleh pihak asuransi sama halnya dengan melakukan pembunuhan”. Pada tahun 2008, Crystal memperoleh bantuan dana untuk pengobatan dari Cabang AFL – CIO di Carolina Utara. Crystal sendiri telah menjalani kemo terapi dan dua kali operasi.
Akhirnya setelah dua bulan berjuang menuntut klaim pengobatan atas dirinya, Crystal berhasil mendapatkan klaim asuransi. Namun sesaat setelah menjalani pengobatan, Crystal menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jumat, 11 September di Burlington, N.C, hospice. Bahkan hingga akhir hayatnya pun, Crystal tak lelah berjuang untuk memperoleh haknya. Kematian Crystal menjelaskan bukan saja mati karena kanker yang dideritanya, namun akibat sistem dan perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang selalu mengatasnamakan penyelamatan hidup, senyatanya tidak berbeda dengan perusahaan pada umumnya, yaitu mencari untung sebesar-besarnya, tak peduli dengan cara mengorbankan masyarakat kebanyakan. Bahkan terhadap seorang Crystal yang begitu terkenal di Amerika Serikat karena perjuanggannya itu, perusahaan asuransi tak ragu menolak klaim untuk membeayai pengobatan. Tak terbayangkan bila yang sakit adalah masyarakat umum, pasti lebih mudah lagi bagi perusahaan asuransi untuk mengabaikannya. Itulah sebabnya, pada waktu akhir menjelang kematiannya, Crystal menyatakan perlunya jaminan kesehatan bagi pekerja dan masyarakat miskin. Sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Crystal, Eli Zickovich. Kovich ingat terakhir kali ia berbicara dengan Crystal, “Itu sekitar 10 hari yang lalu di rumah sakit, dan dia berbicara tentang perlunya untuk menyediakan perawatan kesehatan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Bagi yang miskin dan pekerja miskin”
Selama hidupnya, Crystal pernah berujar bahwa ia bangga telah berhasil menjadi dirinya sendiri. Dan diri Crystal akan selalu dikenang oleh orang lain sebagai pejuang buruh. Berjuang untuk buruh berorganisasi, dengan keyakinan bahwa melalui serikat akan lebih mungkin bagi buruh menghadapi berbagai masalah dan penindasan. Crystal mengatakan, “Meskipun tidak semua serikat berfungsi sebagaimana seharusnya, namun serikat buruh adalah cara terbaik bagi para buruh untuk mencapai keadilan dan meningkatkan martabat. Crystal meninggal dunia pada umur 68 tahun, meninggalkan seorang suami yang telah menikah 30 tahun, yaitu Lewis Preston Sutton Jr, juga meninggalkan dua putri, tiga putra, dua saudara perempuan, serta sembilan cucu dan enam cicit.
Kisah hidup dan perjuangan Crystal Lee Sutton telah menyebar menjadi inspirasi para buruh, terutama buruh perempuan. Karena Crystal sebagaimana buruh lainnya yang berkeluarga dan memiliki anak, berhasil menjadi pendobrak bagi kekejaman perusahaan tekstil tempatnya bekerja. Crystal Bersama Preston suaminya banyak mengalami kesulitan, keluarga mereka juga adalah keluarga miskin dengan beragam kesulitan sebagaimana keluarga yang lain. Dan karena prinsip serta perjuangannya, keluarga ini sering mengalami kesulitan yang lebih besar. Namun, segala kesulitan tersebut tidak pernah mengubah pusat perhatian pada pasangan keluarga ini, untuk selalu membela yang miskin dan pekerja miskin. Kekaguman atas perjuangan Crystal telah membuat orang menuangkannya dalam menjadi film dan buku. Satu kalimat dalam buku tentang Crystal yang menggambarkan tentang Crystal dituliskan: “Dia adalah seorang buruh pabrik dan putri buruh pabrik. Tapi dia memiliki keberanian untuk melangkah keluar dari peran biasa untuk membela apa yang dia percaya. Pengucilan tidak bisa menakut-nakuti dirinya. Dia tegas menyatakan: Tidak akan ada yang berhenti cukup hanya di sini”
Sahabat Marsinah, itulah satu sosok perempuan hebat yang membawa pelita bagi kita pada malam ini. Crystal Lee Sutton, seorang buruh perempuan dari sektor garmen, sebagaimana kebanyakan buruh perempuan di KBN Cakung. Kisah awal perjuangan Crystal yang dijadikan film berjudul Norma Rae, juga tersedia di Studio Marsinah FM. Sahabat Marsinah yang ingin nonton atau memiliki film apik berjudul Norma Rae, silakan datang langsung ke Studio Marsinah FM. Sungguh film bagus, Norma Rae bisa membuat kita terharu, tertawa, tertegun dan bangga menjadi buruh perempuan garmen yang berani.
Perempuan pembawa pelita siapa lagi yang akan kita kenal? Terus ikuti kisah-kisah perempuan hebat, hanya di PEREMPUAN PELITA setiap Hari Kamis jam 19 hingga jam 20, di Radio Buruh Perempuan, MARSINAH 106 FM, dari perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.
Lagu penutup segera kita putarkan, dan saya (nama penyiar) undur diri, salam kesetaraan dan sampai jumpa kamis depan.
https://soundcloud.com/radio-marsinah/perempuan-pelita-13-marsinah-fm-crystal-lee