Search
Close this search box.

Mengapa Israel Menganggap Pemerkosaan Terhadap Warga Palestina Sebagai Praktik Militer yang Sah

Pemerkosaan terhadap perempuan Palestina oleh tentara Israel juga dijadikan senjata selama perang 1948 dan sesudahnya, didorong oleh rasisme sadis yang serupa. Penyiksaan seksual dan kekerasan oleh tentara Israel terhadap pria dan perempuan Palestina telah berlangsung lama di Tepi Barat dan Gaza selama 10 bulan terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh PBB dan kelompok hak asasi manusia.

Oleh Joseph Massad

Sadisme dalam Penindasan Zionis: Perlakuan Seksual Terhadap Warga Palestina dan Akar Kekerasan Orientalistis

Kasus penyiksaan seksual oleh tentara Israel baru-baru ini berujung pada penangkapan sembilan tentara Israel pada 29 Juli 2024. Mereka ditangkap dengan tuduhan menyiksa tahanan Palestina secara fisik dan seksual. Hal itu mengguncang dunia internasional. Kasus ini diangkat oleh media Barat seolah-olah merupakan penyimpangan metode penyiksaan Israel yang menurut mereka biasanya tidak melibatkan pemerkosaan.

Empat dari tentara yang ditangkap kemudian dibebaskan setelah terjadi kerusuhan massal di Israel. Departemen Luar Negeri AS, seolah terkejut dengan tindakan ini dan menyebut video tentang pemerkosaan tersebut sebagai sesuatu yang “mengerikan” dan menuntut Israel melakukan penyelidikan penuh serta menghukum siapa pun yang bertanggung jawab. Uni Eropa juga mengungkapkan kekhawatiran serius atas insiden ini.

Namun, praktik kekerasan seksual ini bukanlah hal baru dalam rezim kolonial-pelaku pendudukan Israel. Tentara Israel telah secara sistematis menggunakan penyiksaan fisik dan seksual terhadap warga Palestina sejak setidaknya tahun 1967, sebagaimana yang diungkapkan oleh berbagai kelompok hak asasi manusia. Sadisme ini, yang sering disertai dengan penyiksaan seksual, berakar tidak hanya pada arogansi kolonial Eropa, tetapi juga pada pandangan orientalis yang menganggap orang Arab hanya “mengerti kekuatan” dan lebih rentan terhadap penyiksaan seksual dibandingkan dengan orang Eropa.

Praktik Biasa dalam Militer Israel

Penangkapan tentara yang diduga memperkosa tahanan Palestina tersebut memicu kemarahan di kalangan sayap kanan Israel, yang mayoritasnya merupakan elektorat. Puluhan pengunjuk rasa, bersama dengan anggota Knesset Israel, mencoba menyerbu fasilitas militer dan gedung pengadilan tempat para tentara tersebut ditahan dengan tujuan untuk membebaskan mereka. Beberapa menteri pemerintah Israel bahkan membela pemerkosaan tahanan Palestina dan menyatakan bahwa tindakan itu adalah “sah”.

Di televisi pagi Israel, presenter dan analis membahas cara terbaik untuk mengatur pemerkosaan terhadap tahanan Palestina, dan hanya mengkritik adanya “kekacauan” di dalam pelaksanaannya. Sementara diskusi seperti ini mungkin tampak biasa di Israel, dan pengamat Barat pura-pura terkejut. Padahal, organisasi hak asasi manusia Israel, B’Tselem, telah melaporkan bahwa Israel sudah mengikuti kebijakan penyiksaan sistematis terhadap tahanan sejak Oktober tahun lalu, yang melibatkan kekerasan dan pelecehan seksual.

Salah satu terduga pelaku pemerkosaan, diundang ke TV Channel 14 Israel untuk membela tindakannya, dengan wajah tertutup. Ia kemudian mengunggah video di media sosial dengan wajah terbuka, menunjukkan kebanggaannya terhadap unitnya dan cara mereka memperlakukan warga Palestina.

Torture Rasial dan Kekerasan Seksual: Fenomena Imperial yang Terus Berulang

Israel bukanlah satu-satunya negara yang melakukan praktik-praktik ini. Sejak terbongkarnya penyiksaan fisik dan seksual sistematis oleh Amerika terhadap tahanan Irak di penjara Abu Ghraib pada 2003, jurnalis veteran Amerika, Seymour Hersh, mengungkapkan bahwa “orang Arab sangat rentan terhadap penghinaan seksual” dan kemudian menjadi pokok pembicaraan di kalangan konservatif pro-perang di Washington.

Sumber Hersh menyebut, buku orientalis Israel “The Arab Mind” terkait perilaku Arab, karya Raphael Patai, menjadi “kitab suci” bagi para neokonservatif Amerika. Dua tema utama yang muncul dalam diskusi ini adalah: “Satu, orang Arab hanya mengerti kekuatan, dan dua, kelemahan terbesar orang Arab adalah rasa malu dan penghinaan.”

Seks dan kekerasan dalam konteks imperial Amerika (atau Eropa atau Israel) yang diwarnai oleh rasisme dan kekuasaan mutlak adalah fenomena yang berulang. Selama Perang Teluk pertama pada 1990-1991, para pilot tempur dan pembom Amerika menghabiskan waktu berjam-jam menonton film porno untuk mempersiapkan diri mereka sebelum melakukan pengeboman besar-besaran di Irak.

Dalam Perang Vietnam, pemerkosaan terhadap perempuan gerilyawan Vietnam oleh tentara AS tidak hanya dinormalisasi, tetapi bahkan menjadi bagian dari instruksi latihan militer AS. Paradigma orientalis dan seksis yang sama yang mempengaruhi sikap Israel terhadap tahanan Palestina juga berlaku di mata Amerika di Vietnam.

Pemerkosaan terhadap perempuan Palestina oleh tentara Israel juga dijadikan senjata selama perang 1948 dan sesudahnya, didorong oleh rasisme sadis yang serupa. Penyiksaan seksual dan kekerasan oleh tentara Israel terhadap pria dan perempuan Palestina telah berlangsung lama di Tepi Barat dan Gaza selama 10 bulan terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh PBB dan kelompok hak asasi manusia.

Penutup: Legitimasi Kekerasan Seksual oleh Militer Israel

Pemerkosaan dan pembunuhan terhadap warga Palestina serta perampasan tanah mereka telah menjadi strategi Zionis sejak 1948. Oleh karena itu, seruan Departemen Luar Negeri AS agar Israel “menyelidiki” dirinya sendiri sangatlah tidak berarti. Hasil penyelidikan militer Israel terkait pemerkosaan yang baru-baru ini terungkap kemungkinan besar akan mengokohkan hak Israel untuk “membela diri” sambil tetap menjaga prinsip moral dan hukum menurut pandangannya sendiri- prinsip yang sama yang telah memungkinkan Israel sejak 1948 untuk mencabut dan menindas seluruh bangsa dengan impunitas.


Joseph Massad adalah profesor politik Arab modern dan sejarah intelektual di Universitas Columbia, New York. Ia adalah penulis berbagai buku dan artikel akademis serta jurnalistik. Bukunya termasuk Colonial Effects: The Making of National Identity in Jordan; Desiring Arabs; The Persistence of the Palestinian Question: Essays on Zionism and the Palestinians, dan yang terbaru Islam in Liberalism. Buku-buku dan artikel-artikelnya telah diterjemahkan ke dalam selusin bahasa.

Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Joseph Massad yang berjudul “Why raping Palestinians is legitimate Israeli military practice” dan dimuat di media online www.middleeasteye.net, pada 12 Agustus 2024

sumber: https://www.middleeasteye.net/opinion/why-raping-palestinians-legitimate-israeli-military-practice

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Arjuna  VS  Srikandi

 Oleh: Thin Koesna Siapakah Srikandi? Perempuan yang selain cantik juga gagah perkasa?  Sepengetahuanku nama Srikandi  adalah sesosok tokoh Perempuan tangguh, berwibawa, berparas cantik, alias  feminim,pintar

Buruh Kutuk Serangan Terorisme di Jawa Timur

Siaran Pers Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, 14 Mei 2018 Buruh Indonesia mengutuk keras rentetan tindakan terorisme yang terjadi belakangan ini. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)

Eyang Lestari, Berjuang Sepanjang Usia

Eyang Lestari (tengah). foto diambil dari http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/29/ignorance-helps-excuse-mass-killings.html Pejuang Perempuan Tangguh Itu Akhirnya Tiada Mugiyanto, seorang aktivis HAM sekaligus korban penculikan 1998  menuliskan untaian duka melalui akun

Mengadu ke Ombudsman

Oleh Dian Septi Trisnanti Pagi yang Sibuk  Pagi yang basah, deru mesin yang bising . Orang-orang yang tak bersabar, bergegas tanpa peduli sekitar. Pagi yang

Perjuangan Upah

Baru-baru ini, Pengurus Basis Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia – PB FSBPI yang juga bagian dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia- KPBI PT. Medisafe Technologies menyampaikan