Search
Close this search box.

Layar

‘Layar’ berupa pembacaan karya sastra pendek tentang persoalan dan perjuangan buruh perempuan, dari sastra popular atau karya kiriman pendengar. Mengudara tiap hari Rabu dan Sabtu malam jam 8 sampai 9 malam. Lamoy Farate, dari Sanggar Tipar, adalah pengelolanya.

lami

Lamoy, demikian nama udaranya. Tak hanya gemar membaca naskah novel di program siaran Layar namun juga gemar berteater, membaca puisi, menulis puisi dan lain sebagainya. Jadi tak perlu heran, bila tengah malam anda terbangun karena terkejut mendengar suara Lamoy berteriak. Bukan karena sedang marah atau histeris, tapi itu sedang latihan vokal.

Lamoy sempat mewarnai media massa dengan aksinya melawan bos di tempat kerja ketika tidak diperbolehkan sholat di ruang detektor. Akibat dari aksinya, ia kehilangan pekerjaan. Namun buat Lamoy itu bukan hal memalukan yang harus disesali. Lebih malu lagi kalau tak bisa melawan kebengisan para bos yang semena-mena pada kaum buruh.

Novel yang paling digemari Lamoy adalah karya Pram, tak heran Lamoy senang sekali ketika mendampu program siaran layar yang merupakan program membacakan novel, puisi dan karya sastra lainnya. Ia sudah pernah membacakan novel Bumi Manusia dan kini sedang membacakan novel Arus Balik. Harapannya, ia tetap bisa berkarya dan berjuang meski banyak hal menghadang. Selain berkarya, anak semata wayang adalah kesayangannya. Anak lelaki yang kini berusia 9 tahun tersebut ia harapkan bisa menikmati hidup yang jauh lebih baik.

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Mengenang Sosok Munir

Sudah 17 tahun, kasus Munir belum kunjung terungkap, namun sosoknya terus menjadi semangat dan inspirasi bagi siapa saja yang mencintai kebenaran dan hak asasi manusia.

Berbagi Kebaikan di Tanah Papua (1)

Bersama anak – anak Papua Cerita ini ditulis oleh Suster Maria Pietronella, FCh yang kini sedang mendampingi buruh perempuan di Palembang. Sebelum ke Palembang ia sempat

Teh Pahit di Kertamanah: Menipisnya Lahan dan Ketidakpastian Hidup Buruh

Sebagai buruh borongan, penghasilan Dedi bergantung pada jumlah pucuk teh yang bisa dipetik. Dengan sistem upah per kilogram, pendapatannya semakin menurun seiring berkurangnya luas lahan yang bisa digarap. Harga pucuk teh sendiri berkisar antara Rp500 hingga Rp800 per kilogram, tergantung kualitasnya. Total sebulan, Dedi hanya memperoleh sekitar Rp2 juta. Jika lahan semakin menyusut, penghasilannya pun bisa semakin tergerus.