Fattimatuz: Berekspresi Melalui Film Dokumenter

Keterangan gambar, Fattimatuz berdiri di sebelah kiri (berjilbab)

Fattimatuz, remaja perempuan dari Pekalongan ini terheran – heran dengan teman sekolahnya yang selalu bersandal jepit setiap kali berangkat ke sekolah. Suatu hari, Fattimatuz memberanikan diri bertanya pada teman sekelasnya itu, mengapa tidak mengenakan sepatu seperti teman – teman yang lain.

“Rumahku banjir” jawab teman sekelasnya itu. Fattimatuz mengernyitkan dahi. Fattimatuz yang tinggal di sebuah desa di Pekalongan juga kerap mengalami banjir, air sering merembes keluar dari lantai rumah. Bahkan ia sudah terbiasa dari kecil dengan lantai yang selalu basah. Tapi, ia masih merasakan lantai mengering. Sementara, temannya ini setiap hari tidak bersepatu.

“Sudah lama air tak surut” jawab temannya itu. Tak tanggung – tanggung, banjir di desa temannya tidak surut selama 3 tahun akibat tanggul yang jebol. Baru pada tahun 2016 pemerintah memperbaiki tanggul itu, itupun ternyata retak lagi akibat hujan badai.

Keprihatinan Fattimatuz makin mendalam ketika melihat langsung pemandangan di ke empat desa yang banjir itu. Keempat desa itu adalah Karangjompo, Mulyorejo, Jeruk Sari, Tegal Dowo. “Saya merasa Iba akan masyarakat yang begitu sabar dan kuat dengan kondisi yg memperihatinkan seperti itu” Desah Fattimatuz. Dari rasa keprihatinan itulah, Fattimatuz bersama rekan – rekan sekolahnya yang masih duduk di SMA kelas 3 memproduksi sebuah film dokumenter untuk memotret situasi tersebut. Bagaimana tidak, akibat banjir itu, anak – anak pun terpaksa berangkat ke sekolah yang juga dalam kondisi banjir tanpa surut selama 3 tahun. Permintaan untuk mengatasi banjir di sekolah pun tak kalah ribetnya dengan permintaan supaya tanggul di 4 desa segera diperbaiki. Akhirnya, anak – anak bersekolah dengan sepatu bot yang dikucurkan dari dana Dinas Pendidikan setempat. Tak terbayang bagaimana perasaan anak – anak tersebut, yang tentu sangat ingin kembali bersekolah sebagaimana anak – anak lain dengan menggunakan sepatu sekolah. Warga desa pun tak kalah sendunya, ada yang stres karena rumahnya terus tergenang banjir, rentan penyakit dan tidak bisa melangsungkan aktivitas sebagaimana mestinya.

“Tujuan saya membuat film ini adalah untuk membantu masyarakat keluar dari masalah tersebut secepatnya, serta agar penduduk diluar sana ikut tahu bagaimana rasanya andaikan mereka yang mengalami itu”

Membuat film dokumenter kaya dengan tantangan, namun tak membuat Fattimatuz menyerah. Di awal, Fattimatuz dan teman – temannya menemukan kesulitan karena nara sumber susah diajak untuk bekerja sama. Fattimatuz memahami hal itu dan terus mengajak berdialog. Hasilnya, nara sumber bersedia diwawancara. Selain itu, kendala terbatasnya dana dan peralatan.

Pembuatan film dokumenter bukan yang pertama bagi Fattimatuz. ROB adalah karyanya yang ke dua. Film dokumenter pertama berdujul “Sholat Pemersatu Umat”. Menurut Fattimatuz, film bisa menjadi wadah untuk mencurahkan isi hati siapapun secara real tanpa ada rekayasa.

Tentu Fattimatuz bangga sudah membuat dua film dokumenter dan akan terus berkarya. Dari karya – karyanya itu, Fattimatuz sudah mengikuti beberapa film festival. ROB sendiri sudah mengikuti 3 festival film, diantaranya Denpasar Festival Film, Festival Film Dokumenter dan Festival Film Pelajar Jogja.

Fattimatuz berharap dengan makin banyaknya ROB diputar diberbagai festival dan di khalayak luas, maka akan menarik perhatian masyarakat lain untuk membantu warga korban banjir, terutama sekali dari pemerintah agar lebih  bisa cepat bertindak mengatasi persoalan banjir di 4 Desa Pekalongan yang sudah terendam selama 3 tahun.

Buat sahabat Marsinah yang tertarik dengan film dokumenter ROB, bisa lihat trailernya di https://www.youtube.com/watch?v=5BL_cQZMZNo

 

 

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Mewarisi Pemikiran Kartini, Berani Mengembangkan Gagasan Progresif 

Di balik dinding pingitan, Kartini mengembangkan gagasan yang berani dan progresif melampaui jamannya. Di tengah kultur sosial masyarakatnya yang kolot, mengecilkan makna gagasan dan pemikiran apalagi dari seorang perempuan, Kartini punya keberanian menggoreskan pena. Lalu apakah menggoreskan pena, jauh lebih tidak berani dari pertarungan gagah berani di medan perang? Medan perang pun butuh siasat dan strategi, sebuah pemikiran yang jitu untuk memenangkan pertarungan. Demikianlah, perjuangan dengan pena adalah sama tajam dan beraninya dengan aksi di medan perang.

 B A M B U P E R E M P U A N

Dalan pergolakan Ibu Pertiwi  Membanjiri asa yang haus kemerdekaan  Menerpa sanubari untuk kesejahteraan Dalam serbuan bambu yang akan menyatu Gerakan bambu ada persatuan Teruskan bunyi

Buruh Belajar Berserikat

Oleh Atly Serita  Berserikat untuk Hak  Beberapa hari lalu,  aku menerima sms dari salah satu kawan yang bekerja di KBN Cakung. Dulu, aku dan ia

Oleh Rahmad

Mak Batu Ampar Membela Ruang Hidup

25 Oktober 2023 adalah kebangkitan yang mendorong perlawanan mak-mak. Mereka secara spontan bergerak meluapkan kemarahan dan melawan ketertindasan.