Sebuah refleski akhir tahun tentang kesehatan reproduksi buruh perempuan:
Bagian 2
(Sri Rahmawati – ketua Pengurus Basis FSBPI PT Amos Indah Indonesia)
Cerita ini adalah kelanjutan dari cerita saya di bagian 1 denan judul yang sama. Semoga kawan-kawan dalam keadaan sehat selalu, dan mari kita mewududkan itu.
Pada bagian pertama, saya dihadapkan pada situasi dimana saya tidak bisa melanjutkan pengobatan di RS swasta great C, karena biayanya tidak dikafer oleh BPJS sekaligus jika hendak menjalani 2 operasi.
Karena budget yang harus ditanggung itu separoh dari biaya operasi akhirnya saya menyepakati untuk dirujuk dan memilih RS pemerintah wilayah setempat dengan status great B. Pada 4 November 2021, saya mengunjungi RS pemerintah great B tersebut dengan membawa hasil rujukan. Saya melakukan proses BPJS sama seperti sebelumnya, hanya bedanya untuk pengambilan nomor antrian, kali ini melalui online/aplikasi yang sudah dibuat oleh RS. Dengan cara ini, tentu tidak terlalu memakan waktu yang panjang. Saat saya bertemu dokter spesialis kandungan, saya ditanya-tanya. Dokternya menyampaikan kenapa harus dirujuk? Menurut dokter semua prasyarat ini sudah lengkap, tinggal menentukan hari untuk operasinya saja. Saya pun menjelaskan hal yang sama seperti waktu itu ketika saya mendapat penjelasan dari dokter spesialis sebelumnya di RS swasta great C.
Di RS Pemerintah ini, saya menjalani pemeriksaan ulang, mulai dari awal. Tapi langsung ditentukan jadwal operasinya yaitu 12 November. Alur proses yang saya lakukan seperti sebelumnya, yaitu ke laboratorium, radiologi, paru, jantung dan penyakit dalam. Setiap hari harus bolak-balik dengan prosedur BPJS di RS tersebut karena untuk satu kali kunjungan hanya bisa ke satu klinik spesialis. Setiap hari saya berkunjung ke RS untuk melakukan proses pemeriksaan ulang. Alhamdulillah hasilnya masih sama dengan yang awal yaitu kondisi saya baik dan bisa dilakukan operasi.
Pada 10 November 2021 saya melakukan PCR. Lalu 11 November, hasil PCR saya negatif, jadi bisa langsung menjalani rawat inap untuk persiapan operasi esok harinya. Di loket pendaftaran rawat inap, suami saya disuruh menandatangani beberapa lembar kertas. Pertama yang disodorkan adalah 2 lembar kertas, yang diminta untuk dibaca utamanya adalah bagian nomor 10 dan 11, sementara yang lain tidak perlu dibaca karena hasil PCR saya negatif, ini hanya formalitas. Begitu penjelasan petugas.
Saya pun bercuriga dengan kata formalitas, tetapi suami meminta saya untuk segera menanda tangani kertas-kertas itu biar cepat mendapat penanganan. Saya menolak untuk langsung tanda tangan dan harus membaca dan mengetahui terlebih dahulu apa isi tulisannya karena itu ada tanda-tangan kita, artinya ada persetujuan jika saya tanda tangan.
Petugas lagi-lagi menyampaikan bahwa ini hanya formalitas saja kerena saya hasil PCR-nya negatif. Saya sedikit adu argumen. Saya mengambil kertas lembaran yang diberi petugas ke suami, karena saya ingin membaca. Saya marah karena di kertas itu saya dinyatakan sebagai pasien covid 19. Saya tidak terima, dengan kesal saya bertanya pada petugas loket, “ini maksudnya apa, untuk apa dan apa tujuan nya? Hal yang seperti ini kenapa dianggap formalitas? Apa ini kebohongan yang dilakukan oleh RS terhadap setiap pasien?”
Belum selesai saya berbicara 2 lembar kertas itu ditarik oleh petugas dengan nada yang merendahkan. “Ini hanya formalitas saja Bu tidak apa-apa, dan tidak akan disalah gunakan. Kalau ibu tidak mau tanda tangan juga tidak apa-apa, toch hasil PCR-nya sudah ada”. Saya pun masih ngomel saja dengan petugas itu dan menyampaikan “jangan sampai hal-hal seperti ini terulang ke pasien yang berikutnya, jangan membodohi orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok. Bisa-bisa nanti ada yang melaporkan RS”. “Coba sini kertas lembaran saya foto dulu”. Petugas tidak lagi mau menjawab omongan saya dan tidak mau kertas itu difoto.
Jam 14.00 saya mendapat kamar dengan fasilitas kelas 3. Tentu saja saya tidak terima karena BPJS saya adalah fasilitas kelas 1. Pihak RS berdalih ini untuk sementara, khusus untuk sebelum operasi. Namun saya tetap belum terima. Petugas menjelaskan lagi bahwa setelah operasi nanti akan pindahkanke fasilitas sesuai BPJS. Akhirnya dengan berat hati saya menerima. Di kamar itu ada 2 pasien, meskipun ada 6 ranjang pasien.
Jam 19.00 datang suster untuk memasang jarum. Suster menyampaikan jarum ini nanti untuk infus, tapi tidak langsung dipasang infusnya. Saya dan suami hanya mengeluh tanpa mendapat penjelasan lebih. Karena jarum dipasang begitu saja saya tidak tahan untuk tidak bertanya. Akhirnya saya memanggil suster yang bertugas untuk meminta penjelasan. Suster menyampaikan bahwa jarum itu sengaja dipasang seperti itu supaya nanti memudahkan saat pemasang infus, biar lancar dan tidak ada kendala.
Tapi saya menilai ini hal yang tidak masuk akal. Teman sekamar saya pun pendapatnya sama. Dalam pikiran saya paling suster-suster ini tidak mau repot tengah malam karena bisa saja mereka tengah malam ngantuk takut salah melakukan sesuatu. Jam 04.00 pagi baru infus dipasang, kemudian jam 9 saya dipanggil untuk keruang operasi. Saya berdoa semoga operasi ini berjalan lancar, semoga saya selamat dan tetap hidup. Alhamdulillah jam 11.30 operasi selesai tetapi saya tidak langsung dibawa ke kamar rawat inap.
Jam 14.00, saya dibawa ke kamar yang semula. Tidak lama kemudian datang beberapa suster magang menanyakan keluhan-keluhan saya, termasuk kenapa saya berada di RS. Saya menolak untuk ditanya-tanya karena rasa sakit di luka operasi yang saya rasakan sungguh luar biasa. Saya pun meminta penjelasan, kenapa saya masih dibawa ke kamar yang kelas 3. Petugas menyampaikan bahwa sedang mencari kamar yang sesuai kelas BPJS tapi belum ada yang kosong. Saya tetap tidak terima dengan penjelasan itu karena saya merasa hak saya tidak sesuai dengan yang semestinya saya dapatkan. Saya tetap bersikeras untuk dipindahkan.
Akhirnya jam 16.00, saya dipindahkan ke kelas 1. Di sinilah saya merasa agak lega karena ruangan hanya berisi 2 pasien. Sementara itu, sakit yang saya rasakan sungguh luar biasa, saya bahkan belum boleh bergerak sama sekali. Pada Sabtu dan Minggu, tidak ada dokter yang bezuk memeriksa saya. Hanya ada suster jaga yang mengontrol saya. Saya bertahan dengan rasa sakit yang panjang.
Senin, 15 November dokter datang memeriksa keadaan saya dan menyampaikan bahwa saya sudah bisa pulang. Saya dikasih resep dokter dan diganti perban. Jam 14.00 saya pun pulang dari RS.
Pada 23 November, saya melakukan kontrol pertama. Hari ini saya tidak diperiksa oleh dokter yang semula menangani saya, tapi sepertinya dokter magang. Saya menduga begitu karena dia masih bertanya-tanya saya melakukan operasi apa dan keluhan-keluhan saya selama di rumah. Saya pun menanyakan apakah rahim saya diangkat? Dokternya malah bingung. Ia baru menjelaskan setelah melihat riwayat saya di handphone. Saya tidak tahu entah ia bertanya pada siapa atau memang ada grup riwayat pasien.
Saya merasa tidak puas dengan penjelasannya. Makin tidak puas lagi karena saya hanya dikasih obat penghilang rasa nyeri. Saya sempat ngotot, masa luka operasi hanya diberi obat penghilang nyeri. Bagaimana dengan kondisi saya nanti? Dokter menjelaskan bahwa luka saya bagus dan diminta mengkonsumsi makanan yang sehat-sehat, maka pasti sembuh. Hmmmmmm benar-benar saya tidak puas dengan penjelasan ini. Saya minta dipertemukan dengan dokter yang menangani saya, tapi memang tidak hadir hari itu walaupun memang sesuai jadwal praktiknya.
Saya pulang dari RS dengan rasa kecewa. Saya hanya bisa meminta saran dari teman-teman yang pernah melakukan operasi. Saya disarankan untuk membeli obat pengering luka. Beberapa kawan lain yang pernah melakukan operasi penyampaiannya pun sama. Mereka membeli obat sendiri di luar RS. Akhirnya saya melakukan hal yang sama karena khawatir luka ini akan lama sembuhnya. Apalagi saya adalah buruh pabrik, kalau meninggalkan pekerjaan di pabrik harus ada keterangan resmi dari dokter kalau sakit, sementara dokter hanya memberikan keterangan sakit selama 3 hari. Selebihnya saya disuruh datang kembali apabila masih sakit. Padahal dokter sendiri yang menyampaikan bahwa luka operasi saya akan sembuh total dalam jangka waktu 6 bulan. Untuk mendapatkan keterangan sakit harus bolak-balik setiap 3 hari. Berarti saya harus bolak balik RS setiap 3 hari? Sungguh mahal proses ini.
Pada 10 November saya melakukan kontrol ke-2. Saya belum juga bertemu dengan dokter yang menangani saya operasi. Pada 7 Desember, saya melakukan kontrol ke-3. Hari ini awalnya saya ditangani oleh dokter yang berbeda dan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang kondisi saya. Dokternya kebingungan. Saya juga meminta dokter tersebut untuk melihat luka jahitan saya dan ia kebingungan. Ia malah bertanya “ini luka bekas apa?” Sungguh mengherankan. Dalam hati saya bertanya, ini dokter apa bukan? Bekas luka operasi kok ditanya kenapa? Dengan rasa kesal saya menjawab, justru saya kontrol ke sini karena ingin tahu bagaimana kondisi dan luka saya. Kemudian dokter itu menyampaikan akan konsultasi dulu dan saya diminta menunggu di luar, nanti akan dipanggil lagi.
Selama 1 jam saya menunggu di luar, akhirnya dipanggil untuk masuk di ruangan yang berbeda. Kali ini saya bertemu dengam dokter yang melakukan operasi saya. Ia menanyakan keluhan saya dan menjawab pertanyaan saya dengan baik. Saya dikasih resep obat dan menyampaikan bahwa selama tiga bulan tidak boleh melakuakan kerja berat. Saya bilang bahwa saya ini buruh pabrik garmen, setiap hari kerjanya berdiri sambil gosok dari jam 07.00 – 16:00. Itu pekerjaan berat. Lalu bagaimana? Apakah dokter akan memberikan keterangan tertulis untuk disampaikan ke perusahaan tempat saya bekerja? Dokter menyampaikan akan memberi keterangan istirahat sakit hanya untuk tiga hari. Setelah itu kalau masih belum bisa bekerja, silahkan kembali lagi ke sini untuk diperiksa dan diberi keterangan istirahat 3 hari. Begitu seterusnya. Sebenarnya yang saya butuhkan adalah keterangan dokter yang menyatakan bahwa saya tidak tidak boleh bekerja berat selama 3 bulan, karena itu adalah bukti. Tapi dokter tidak bersedia. Saya pun pulang dengan kecewa. Tapi saya tetap bertekad, saya harus sehat.
Berangkat dari situasi yang saya alami, saya belajar untuk tidak pernah mengenal kata tua atau muda. Jangan lelah untuk belajar. Itu adalah pembelajaran penting untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar kita. Sungguhpun rumit, berbelit dan penuh tantangan dalam proses pengobatan, saya menjalaninya dengan berani dan penuh tanggung jawab. Saya terus meyakinkan diri saya: saya ingin sehat!
Saat ini, saya sudah kembali bekerja di pabrik. Saya menjadi lebih peka atas situasi kesehatan saya dan juga kawan-kaan saya. Mari kita belajar teman-teman, supaya tidak ada lagi pembodohan bagi kita kaum buruh dan masyarakat pada umumnya. Mari kita berorganisasi menyatu dalam pemikiran-pemikiran yang terbuka untuk pembebasan kelas buruh dan rakyat miskin termarjinalkan.
Salam sehat. Salam pembebasan. Salam setara untuk kita semua. Terima kasih.