Oleh: Yuli Riswati
Lima Menit Terlambat, Satu Wajah Lebam
Sedang beredar viral di media sosial video seorang keluarga pelanggan menjambak dan memukul pacar dari kurir Shopee Food di Bantul. Kurir itu telat lima menit mengantar makanan. Ia membawa pacarnya naik motor saat mengantarkan pesanan, sebuah keputusan yang bisa jadi berangkat dari kebutuhan hidup atau keterpaksaan.
Namun alasan keterlambatan lebih dalam dari itu, kurir tersebut sedang menjalankan double order atau mengantarkan dua pesanan sekaligus dalam waktu bersamaan, sesuai sistem yang diberlakukan oleh aplikasi. Tentu saja ini bukan pilihannya, melainkan desain kerja algoritmik yang menumpuk tekanan waktu tanpa ruang negosiasi.
Pelanggan, yang mengaku bekerja di pelayaran dan mengagungkan “disiplin,” marah-marah, memaki, bahkan keluarganya menjambak rambut dan memukul pacar sang kurir. Bentakan dan pukulan itu bukan hanya reaksi emosional semata, tapi lebih kepada ekspresi kuasa yang dilestarikan oleh sistem digital yang menempatkan kurir sebagai pelayan tanpa martabat.
Teknologi, Potongan, dan Jerat Utang
Sistem kerja di aplikasi seperti Grab, Gojek, Maxim, hingga Shopee Food menjanjikan fleksibilitas dan kebebasan waktu dan kemerdekaan ekonomi atau penghasilan tanpa batas bagi jutaan mitra pengemudi di Indonesia. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan, dipenuhi tindak ekspoitasi dan manipulasi.
- Potongan Aplikasi Melebihi 20%
Dari setiap transaksi, para driver dipotong mulai 20%–30%, belum termasuk biaya administrasi tambahan. Untuk order makanan, potongan bahkan bisa lebih tinggi. Pengemudi bekerja 8–12 jam sehari hanya untuk membawa pulang pendapatan bersih Rp50.000–Rp100.000, itu pun kalau tidak hujan, tidak kena suspend, dan tidak habis pulsa.
- Double Order
Beberapa aplikasi mendorong sistem double order, satu pengemudi mengantar dua pesanan sekaligus. Secara logika sistem, ini efisien. Tapi yang terjadi sebenarnya untung bagi aplikasi, sedangkan bagi pengemudi berarti tekanan waktu ganda, risiko makanan rusak atau dingin, dan komplain pelanggan yang meledak tanpa ampun.
- Jerat Utang untuk Beli Atribut dan Ponsel
Agar bisa bekerja, pengemudi diharuskan membeli jaket, helm, dan bahkan ponsel khusus. Banyak yang terpaksa mengambil cicilan di koperasi mitra platform, yang bunganya tidak kecil. Bekerja belum mulai, uang belum didapatkan, banyak pengemudi yang sudah terjerat utang.
Kekerasan Struktural dan Relasi Kuasa Tak Terlihat
Dalam sistem kerja ojek online, relasi kuasa tidak terletak pada atasan langsung, tapi tersembunyi dalam algoritma. Dengan algoritma sebagai pengatur waktu, penilai performa, dan pemberi hukuman (lewat rating dan suspend), pengemudi bekerja dalam tekanan yang tak terlihat tapi sangat nyata.
- Sistem rating pelanggan → kontrol disiplin digital
- Sanksi auto-suspend → bentuk hukuman tanpa pembelaan
- KPI algoritmik → bekerja di bawah bayang-bayang ‘tak terlihat’
Pelanggan, seperti pria pelayaran dan keluarganya di Bantul itu, merasa berhak memukul hanya karena telat lima menit, karena mereka telah membayar dan seolah pengalaman kerja tertentu memberi justifikasi untuk merendahkan dan menganiaya orang lain.
Apa yang terjadi mengungkap satu hal penting: platform digital menciptakan ilusi relasi setara, padahal kuasa tetap timpang. Pelanggan merasa berhak marah karena merasa “membeli layanan.” Tapi layanan tersebut tidak dalam kuasa pengemudi, layanan dikendalikan oleh sistem yang tidak adil, yang menekan kurir untuk menerima order berlapis, memotong penghasilan, dan melempar beban pada individu yang tak berdaya secara struktural.
Kasus ini adalah penampakan nyata wajah kekerasan struktural, bahwa kekerasan terhadap pekerja aplikasi bukan hanya insiden personal, tapi konsekuensi dari desain sistem kerja yang eksploitatif. Para pengemudi berada di persimpangan antara tekanan ekonomi dan kontrol digital, di mana kesalahan kecil bisa berujung pada hilangnya mata pencaharian, atau dalam kasus ini, penganiayaan fisik.
“Gig Economy” dan Kapitalisme Digital: Siapa Untung, Siapa Hancur?
Sistem kerja aplikasi transportasi dan pengiriman berbasis gig economy ini menjanjikan fleksibilitas, tapi sebenarnya memindahkan semua risiko kepada pekerja:
1. Tanpa jaminan kesehatan atau kecelakaan,
2. Tanpa kontrak kerja yang jelas,
3. Tanpa hak untuk menuntut perbaikan sistem kerja.
Sementara itu, perusahaan platform meraup laba besar dari komisi, iklan, dan investor, dengan meminimalkan tanggung jawab terhadap mereka yang menjalankan sistem, yakni para pengemudi.
Regulasi Pemerintah yang Tegas dan Berpihak
Hingga kini, pengemudi masih diposisikan sebagai “mitra,” bukan pekerja. Artinya, perusahaan tidak diwajibkan memberi perlindungan upah minimum, cuti, atau jaminan kerja. Pemerintah harus segera meninjau ulang status ini agar sesuai dengan kenyataan hubungan kerja yang terjadi.
Edukasi Konsumen
Masyarakat pengguna juga perlu sadar bahwa memberi bintang satu atau marah karena telat 5 menit bisa berdampak besar bagi pengemudi. Konsumen mesti memahami bahwa di balik layar aplikasi, ada manusia yang sedang berjuang untuk hidup dan menghidupi keluarganya.
Dari Bantul ke Seluruh Indonesia
Kasus kekerasan terhadap kurir Shopee Food di Bantul bukan insiden terpisah. Ia adalah tanda dari sistem yang membuat manusia kehilangan martabatnya demi kenyamanan teknologi. Ia menegaskan: di balik kecepatan layanan digital, ada kerja yang pelan-pelan dihancurkan oleh potongan, beban, dan tekanan tanpa suara.
Kasus ini bukan soal satu pelanggan yang arogan, tapi soal sistem yang membiarkan pekerja bekerja dalam tekanan berlapis: potongan besar, waktu sempit, risiko tinggi, dan tak ada perlindungan.
Jika tak ada perlawanan bersama dari driver, publik, dan negara, maka kita semua menjadi bagian dari kekerasan itu. Jika tidak ada intervensi dari negara, media, dan publik, maka aplikasi yang seharusnya mempermudah hidup justru menjadi mesin penghisap tenaga, waktu, dan kemanusiaan para pekerja akar rumput. Dan lima menit keterlambatan akan terus dibayar dengan darah, bukan sekadar denda.