Ketimpangan Sosial antara Rakyat dan Anggota Dewan= Bentuk Ketidakadilan
Ketimpangan Sosial antara rakyat Dan yang mewakilinya (DPR) semakin tajam Dan contoh nyata ketidakadilan. Tunjangan perumahan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat misalnya yang mencapai Rp 50 juta dinilai sangat berlebihan. Rincian tunjangan itu bisa dilihat sebagai berikut:
- Tunjangan Jabatan: Anggota DPR Rp.9.700.000,-; Wakil Ketua Rp. 15.600.000,-; Ketua DPR Rp. 18.900.000,-
- Tunjangan Komunikasi: Anggota bias Rp.15.554.000, Wakil ketua 16.009.000, Ketua Rp.16.468.000.
- Uang Sidang/Rapat Rp. 2.000.000
- Tunjangan Anak: Rp.168.000/anak.
- Tunjangan Istri/Suami: Rp. 420.000.
- Tunjangan Beras: 30.090/jiwa.
- Tunjangan PPH 21: Rp. 2.699.813
Pemberian tunjangan perumahan kepada anggota DPR memperlihatkan watak negara yang tidak peka terhadap kondisi rakyatnya. Padahal, banyak masyarakat yang tidak mempunyai rumah karena sistem pengupahan yang ditentukan oleh negara tidak cukup untuk membeli rumah. Tidak sedikit buruh yang terpaksa menitipkan anak-anaknya kepada orang tuanya di kampung, karena buruh tidak mampu untuk menyewa pengasuh, sementara negaratidak menyediakan tempat yang aman dan gratis untuk anak buruh. Ditambah lagi, masih banyak rakyat yang sudah bekerja, tapi hanya mampu membeli beras Rp.11.000 untuk 3 sampai 4 jiwa anggota keluarganya.
Gelombang Protes dan Mereka yang Dibungkam
Kondisi kesejahteraan anggota DPR dan masyarakat yang bak bumi dan langit inilah, yang memicu kemarahan dan protes dari masyarakat luas. Rangkaian protes dan aksi turun ke jalan dilakukan hampir oleh mahasiswa, gerakan buruh, petani, masyarakat miskin kota dan juga ada banyak pelajar. Aksi mayoritas dilakukan di depan gedung DPR dan DPRD di berbagai daerah.
Keadaan semakin memanas karena seorang ojek online dilindas oleh kendaraan taktis brimob pada tanggal 28 Agustus 20025 di DPR dan disaksikan oleh ribuan massa aksi. Kejadian tragis ini semakin memicu kemarahan masyarakat kepada lembaga negara khususnya kepolisian. Hal ini karena pihak kepolisian selalu menjadi garda terdepan dalam memukul mundur massa aksi.
Zaki dan Pasal Karet yang Menjeratnya
Zaki (23) adalah salah satu kawan muda yang ikut menyuarakan aspirasi dengan menggunakan akun sosial media tiktok.
Zaki salah satu dari 600 orang yang ditangkap di provinsi bandung oleh negara karena meminjamkan hp kepada teman nya dan melakukan siaran langsung di akun @jeckbonz yang memiliki sebanyak 1.158 pengikut ini adalah akun zaki.
“TAH TINGALI ANJING PATUT DIDURUK, INDONESIA SEDANG CEMAS MAKANYA BIAR GA CEMAS KITA BAKAR GEDUNG DPR, BOM MOLOTOV DIMANA MANA GUYS. DPR MEDAN JEBOL YOI, BAKAR BAKAR GEDUNGNYA, BAKAR ANJINGLAH”
Kata kata ini yang ucapkan oleh teman zaki saat live berlangsung dan ini juga yang mengakibatkan zaki saat ini sebagai tahanan politik dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kelas 1A- Bandung.
Zaki dijerat pasal berlapis seperti pasal 45a ayat (2) jo pasal 28 ayat (2), pasal 38 ayat (1) Undang-Undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), 160 KUHpidana. 161 KUHpidana, 55 KUHpidana dan 56 KUHpidana. Berikut penjelasan tiap pasalnya:
Pasal 45A ayat (1) berbunyi: Menyasar penyebaran berita bohong/menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, mengacu pada pasal 28 ayat (1).Pasal 45A ayat (2): mengatur sanksi untuk penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, mengacu pada pasal 28 ayat (2).
Pasal 34 ayat (1): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, menukar, mempromosikan, menyerahkan, mengadakan untuk disediakan, menyimpan, atau mengimpor Perangkat telekomunikasi dan/atau sistem Elektronik yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia
Pasal 160 KUHP mengatur tentang tindak pidana penghasutan dimuka umum yang berisi ajakan untuk melakukan kejahatan kekerasan terhadap penguasa, atau tidak mematuhi hukum/perintah jabatan dengan ancaman pidana penjara maksimal enam tahun. Pasal ini intinya terkait tindakan mendorong orang lain untuk berbuat sesuai dengan sengaja dan keras, lebih kuat dari bujukan tapi bukan paksaan, seperti dijelaskan dalam komentar.
Pasal 161 KUHP mengatur tindak pidana penghasutan melalui tulisan atau media cetak yang menyerukan perbuatan pidana, kekerasan terhadap penguasa umum, atau ketidakpatuhan pada peraturan/perintah sah, dengan ancaman pidana penjara 4 tahun atau denda Rp 4.500,00, serta sanksi tambahan pencabutan mata pencaharian jika dilakukan oleh pejabat dalam jabatannya. Pasal ini merupakan delik penyebaran yang mirip Pasal 160 KUHP, namun fokusnya pada penyebaran tulisan yang menghasut secara umum.
Pasal 55 KUHP mengatur tentang penyertaan (deelneming) dalam tindak pidana, yang mencakup pelaku yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, dan menganjurkan perbuatan pidana, sehingga mereka semua dipidana seolah-olah sebagai pelaku tindak pidana utamaPasal 56 KUHP : Barangsiapa yang sengaja memberikan bantuan pada saat kejahatan dilakukan atau sebelum kejahatan dilakukan dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan, diancam sebagai pembantu kejahatan.
Pasal-pasal 55,56,160 dan 161 KUHPidana dirasa sangat berlebihan.
Zaki tidak melakukan pengeroyokan dan juga bukan orang yang melakukan korupsi. Maka, pasal yang menjeratnya sangat tidak sesuai atau dipaksakan. Dia hanya anak muda yang muak dengan kondisi negara yang saat ini dinilai sedang tidak baik-baik saja.
Kebebasan Berekapresi adalah HAK
Semua Undang-Undang pasti mempunyai muatan “mengingat (dasar hukum). Begitupun UU ITE kalo kita mau membaca bunyi pasal 28F UUD 1945 :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Makna dari pasal di atas adalah untuk menjamin kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi yang merupakan dasar dari keterbukaan informasi publik di indonesia.
Kebebasan berekspresi di media sosial seharusnya mendapatkan perlindungan dan juga menjadi Hak Asasi Manusia yang tidak bisa diabaikan. ketika kritikan dan protes rakyat malah dianggap ancaman oleh negara lalu apa arti demokrasi yang katanya “kekuasan tertinggi berada di tangan rakyat”










