Demokrasi yang kita pahami adalah sistem politik dimana kekuasaan seharusnya berasal dari rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Sebuah sistem yang menciptakan ruang hidup bersama, dimana suara sekecil apapun layak untuk didengar. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi juga soal kesetaraan, kebebasan berpendapat. Pun, mempunyai hak untuk berpartisipasi, bermusyawarah dalam menentukan keputusan yang adil.
Namun saat ini, demokrasi menghadapi ancaman oligarki dan politik transaksional. Sehingga, kita harus mengingat kembali bahwa kekuatan rakyat ada pada keberagaman suaranya. Demokrasi tidak lahir dari suara yang besar, akan tetapi dari keberanian untuk mendengarkan suara yang beragam seperti suara ibu, suara perempuan, suara kaum muda, dan suara kelompok marjinal yang sering kali diabaikan dan bahkan tenggelam. Ragam suara itu, meski berbeda, tapi memiliki hak yang sama untuk menentukan arah bangsa.
Perempuan dan Ibu: Suara setara untuk indonesia.
Pada 30 September 2025 di Jakarta, Suara Ibu Indonesia menggelar diskusi panel bertajuk “Perempuan dan Ibu: Suara Setara untuk Indonesia”. Acara ini menghadirkan tiga narasumber: Aida Princessa Leonardo, Luviana Ariyanti, dan Hariati Sinaga.
Dalam diskusi tersebut, Aida Princessa Leonardo, mahasiswa STF Driyarkara, mengatakan bahwa sejak dahulu sampai sekarang perempuan masih diberlakukan sebagai objek. Salah satunya, di dalam ruang politik, dimana suara perempuan masih tidak dianggap. Perempuan masih belum mendapatkan keadilan kultural akibat konstruksi sosial dan budaya patriarki masih mengekang ruang gerak perempuan.
Memang benar adanya, sudah ada kebijakan tentang persentase perwakilan perempuan di dalam parlemen, akan tetapi baru 1 dari 100 perempuan yang menempati posisi strategis dalam pengambilan keputusan. Lalu bagaimana keadilan ekonomi akan diperoleh perempuan, di tengah ketimpangan upah, akses kerja, peningkatan kapasitas.Parahnya, posisi perempuan semakin dilemahkan dengan adanya beban ganda.
Arus Media Mainstream yang Anti Perempuan.
Seiring perkembangan zaman, banyak hal yang berubah, akan tetapi stigma negatif terhadap perempuan masih kekal. Stigma itu diperburuk dengan pemberitaan media yang sering menggunakan kalimat menyesatkan dan mempengaruhi cara masyarakat memahami realitas. Manipulasi bahasa dan gambar kerap merugikan perempuan. Luviana Ariyanti dari konde.co, juga memberikan contoh dari sekian banyak stigma negatif terhadap perempuan. Misalnya, ibu yang melahirkan dengan operasi sesar dianggap kurang keren dibandingkan yang melahirkan normal.
Ketika ada korban pelecehan seksual, perempuan korban selalu tidak mendapatkan privasi. Media dengan vulgarnya menulis nama, alamat yang melanggar privasi korban dan mengakibatkan mendapatkan korban semakin rentan tanpa perlindungan. Dampaknya, tidak sederhana, perempuan korban malah semakin mendapatkan stigma negatif dari para netizen. Yang jelas, narasi seperti ini bukan hanya bias, tetapi memperkuat diskriminasi terhadap perempuan.
Di tengah tantangan demokrasi saat ini, dari politik uang, minimnya representasi perempuan, hingga maraknya kekerasan berbasis gender, suara ibu dan perempuan sering kali dipinggirkan. Padahal, dari rahim dan tangan merekalah kehidupan sehari-hari rakyat dijaga. Fenomena tersebut dipertegas dengan Hariati Sinaga dari SPK (Serikat Pekerja Kampus), bahwa suara perempuan sering kali tidak didengar, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjunjung tinggi kesetaraan, seperti kampus.
Di berbagai sektor, perempuan masih dianggap pelengkap, bukan penentu. Padahal merekalah yang menopang banyak aspek kehidupan, dari ruang domestik hingga ruang akademik, dari buruh pabrik hingga pekerja administrasi kampus. Di kampus, banyak perempuan bekerja dalam posisi administratif atau peran-peran yang dianggap “biasa”, sehingga sering kali tidak diakui dan bahkan tidak dibayar layak.
Perempuan dan ibu dalam “Suara setara untuk demokrasi” mengajak semua kalangan untuk sama sama memastikan agar tidak ada lagi suara yang dianggap kecil, tidak penting, atau bahkan sampai diabaikan. dengan menyampaikan tentang kesetaraan berarti memberi ruang pada semua pengalaman perempuan mulai dari dapur hingga ruang sidang, dari jalanan hingga parlemen. Karena demokrasi hanya bermakna ketika setiap warga merasa diakui, didengar, dan dilibatkan.
Akhir kata, selama perempuan tidak diberikan ruang dan hak untuk setara, demokrasi kita akan tetap pincang dan hanya akan dikuasai oleh segelintir elite. Elit yang enggan mendengar suara mayoritas rakyat, yang sesungguhnya menopang kehidupan.