Oleh Samira
Ketika pelaku kekerasan dan korban di sistem yang sama disebut dalam satu napas penghormatan, maka bangsa ini sedang kehilangan arah moralnya.Sejarah Indonesia tidak hanya dibangun dari kisah kemenangan dan kepahlawanan. Di balik parade kemerdekaan dan monumen kebanggaan, ada halaman yang robek dan belum dijahit kembali. Halaman tentang pembunuhan massal, penghilangan manusia, dan pembungkaman suara yang dimulai pada tahun 1965.
Kini, wacana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, disanding bersama Marsinah, bukan hanya ironi melainkan peringatan keras bahwa bangsa ini sedang kehilangan kemampuan membedakan mana kekuasaan dan mana keberanian.
Awal dari Luka: Malam yang Mengubah Sejarah
Malam 30 September 1965 menjadi titik balik paling kelam dalam sejarah Indonesia modern. Enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Peristiwa itu kemudian dijadikan dalih oleh Angkatan Darat, di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto, untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Narasi resmi negara menyebut PKI sebagai dalang di balik tragedi tersebut. Namun, penelitian dari sejarawan John Roosa dalam Pretext for Mass Murder (2016) dan Ben Anderson menunjukkan banyak kejanggalan dalam versi itu.Fakta-fakta lapangan memperlihatkan adanya manipulasi politik dan penggiringan opini publik yang sengaja diciptakan untuk menyingkirkan kekuatan kiri dan melemahkan posisi Soekarno.
Gelombang Pembunuhan dan Teror
Setelah peristiwa itu, kekerasan meledak di seluruh negeri.Dalam waktu kurang dari setahun, antara 500.000 hingga 1 juta orang dibunuh tanpa pengadilan. Korban bukan hanya anggota PKI, tapi juga petani, buruh, guru, seniman, mahasiswa, hingga warga biasa yang sekadar dicurigai.
Laporan Komnas HAM (2012) menyebutkan adanya pembunuhan massal, penyiksaan, kekerasan seksual terhadap perempuan, serta pembuangan paksa ke kamp tahanan Pulau Buru.
Militer bekerja sama dengan kelompok sipil, ormas, dan pemuda untuk melancarkan pembasmian, digerakkan oleh propaganda bahwa “komunis tidak beragama” dan “harus dibasmi demi keselamatan bangsa.” Di banyak daerah, darah mengering lebih cepat daripada kebenaran bisa diucapkan.
Propaganda dan Penghapusan Ingatan
Selama lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, kebenaran dikubur di bawah propaganda. Film Pengkhianatan G30S/PKI diputar wajib setiap tahun memaksa rakyat menelan satu versi sejarah yang hitam putih.
Para penyintas 1965 hidup dengan stigma “eks-tapol.” KTP mereka ditandai huruf “ET,” membuat mereka tak bisa bekerja, menikah, atau sekadar bersekolah. Negara menulis mereka sebagai pengkhianat, padahal mereka hanya manusia yang tak sempat membela diri. Kita semua diajari untuk melupakan dan melupakan dianggap bentuk patriotisme.
Mencari Kebenaran di Tengah Kabut
Enam puluh tahun berlalu, negara belum pernah meminta maaf. Belum ada pengadilan bagi pelaku, belum ada pengakuan bagi korban. Setiap upaya rekonsiliasi selalu kandas di hadapan tembok politik dan militer yang menolak bercermin.
Namun di luar struktur kekuasaan, gerakan masyarakat sipil terus menyalakan api kecil kebenaran.Karya para peneliti, film dokumenter seperti The Act of Killing dan The Look of Silence, serta kesaksian para penyintas menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa selamanya disembunyikan di bawah slogan “demi stabilitas nasional.”
Tragedi 1965 bukan hanya luka politik, tetapi juga luka kemanusiaan dan gender. Perempuan-perempuan disiksa, diperkosa, dan dicap tanpa bukti. Tubuh mereka dijadikan alat untuk menaklukkan ideologi.
Ketika Pelaku Disebut Pahlawan, dan Korban Dihapus dari Keadilan
Kini, wacana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali menguji nurani bangsa. Soeharto adalah arsitek sistem kekuasaan yang menindas kebebasan berpikir, membungkam pers, dan menyingkirkan lawan politik. Dan ironinya, nama itu disebut bersamaan dengan Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh di bawah sistem represif yang sama.
Marsinah tidak pernah berperang untuk kekuasaan. Ia hanya menuntut keadilan bagi buruh. Namun ia diculik, disiksa, dan ditemukan tak bernyawa. Kasusnya tak pernah tuntas, seperti ragam kasus pelanggaran HAM lain di era Orde Baru.
Jika Soeharto adalah simbol kekuasaan yang membungkam, maka Marsinah adalah simbol keberanian yang ditakuti. Menempatkan keduanya dalam satu ruang kehormatan bukan penghargaan terhadap sejarah, melainkan penghinaan terhadap nurani bangsa.
Negara yang Takut Mengingat
Sejak 1965, Indonesia hidup dalam dua bayangan: Bayangan kebesaran yang ditulis dalam buku sejarah, dan bayangan ketakutan yang diwariskan lewat bisik-bisik di meja makan keluarga.Anak-anak diajari untuk takut pada “bahaya laten,” padahal bahaya sebenarnya datang dari kekuasaan yang takut pada kebenaran.
Soeharto mengajarkan bangsa ini bahwa pembangunan bisa menebus darah, bahwa kemajuan bisa dibangun di atas kuburan. Padahal jalan tol tak bisa menutupi lubang kubur massal, dan gedung tinggi tak bisa menenggelamkan jerit mereka yang hilang.









